Selasa, 09 Desember 2008

wisata kemilau

Kemilau Sumatera Dipusatkan di Palembang

Palembang:
Kemilau Sumatera yang merupakan bagian dari program pariwisata Visit Indonesia Year 2008, tahun ini dipusatkan di kota Palembang , ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Ada 10 provinsi di Sumatera yang mengikuti acara ini dengan menggelar stand untuk mempromosikan tempat-tempat wisata di daerah masing-masing.
Misalnya, Provinsi Nangro Aceh Darussalam, (NAD), Sumatera Barat, Provinsi Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Riau, Bangka Belitung, dan Sumatera Utara. Lima belas kabupaten dan kota di Sumatera Selatan, Musi Tourism Board ( MTB ), PHRI, dan Asita, turut ambil bagian dalam ajang Kemilau Sumatera ini.
Direktur Promosi Dalam Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Fathul Bahri mengatakan selain Kemilau Sumatera, pihaknya juga akan menggelar Kemilau Sulawesi untuk menunjang sukses Visit Indonesia Year 2008.
"Kemilau Sumatera ini memberi wadah bagi pemerintah daerah se wilayah Sumatera untuk melakukan promosi pariwisata perdagangan dan ninvestasi terpadu setrta membantu percepatan pembangunan kepariwisataan di kawasan Sumatera dan sekitarnya," ujarnya didampingi Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel, Rachman Zeth.
“Kemilau Sumatera merupakan salah satu bentuk komitmen kami untuk menyukseskan progaram Visit Indonesia Year 2008. Dipusatkan di. Palembang, dengan pertimbangan untuk membangun sinergi dan keterpaduan program, khususnya membangun citra yang lebih kuat mengenai kepariwisataan Indonesia,” kata Fathul di sela-sela lounching Kemilau Sumatera, yang berlangsung di areal Palembang Square 17-20 Juli 2008 mendatang.
Tahun ini, katanya, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menargetkan jumlah kunjungan wisata nusantara sebanyak 223 juta orang dan 7 juta wisatawan mancanegara. Untuk mencapai target ini, pihaknya sudah mempetakan sebanyak 10 daerah unggulan yang ada di Indonesia .
Daerah unggulan tersebut, diantaranya, Sumatera Barat, Sulawesik Selatan, Sulawesi Utara, NTB, NTT , Riau Sumatera Selatan, Papua Barat dan Kalimantan Timur.
Di sisi lain, melakukan pola penjualan objek wisata dengan sistem gerilya marketing. Pola gerilya marketing ini dilakukan dengan merangkul pihak swasta terutama yang bergerak di bidang pemasaran produk.
“Seperti saat ini, kita melakukan peluncuran di areal mall. Ini merupakan salah satu tempat yang sangat strategis, dan efektif untuk memperkenalkan tempat-tempat wisata di tanah air, kepada pengunjung yang berbelanja di mall,” katanya.
Dia mengakui, potensi wisata Indonesia , sebetulnya tidak kalah dengan negara-negara lain, hanya saja sistem packeging nya yang perlu dibenahi. Di sisi lain pembenahan infratsruktur merupakan bagian yang penting yang perlu dibenahi untuk menunjang suksesnya Visit Indonesia Year 2008. (sir)

Wisata Musi, Rumah Kapitan

Kampung Kapitan, Bukan Sekadar Perkampungan Cina










Kampung Kapitan memang salah satu bentuk bangunan peninggalan China. Namun, bukan cirri khas Cina yang melekat di sana melainkan perpaduan perpaduan antara budaya Palembang, Cina dan Belanda, terasa kental di kawaan yang terletak di pinggir Sungai Musi ini.



Menurut budayawan dan sejarawan Palembang, Djohan Hanafiah, munculnya Kampung Kapitan berkaitan dengan runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad XI dan munculnya Dinasti Ming di Cina pada abad XIV. Saat itu, Dinasti Ming membatasi jumlah pedagang Cina yang akan berdagang ke arah selatan (Kepulauan Nusantara), dengan membentuk semacam lembaga dagang negara.

Lembaga dagang itu menjadikan Palembang sebagai salah satu basis dagang yang besar. Sebagai kota perniagaan, banyak orang Cina yang datang dan menetap di Palembang.

Sebagian dari mereka berinteraksi dan menikah dengan gadis Palembang yang beragama Islam. Salah satu kepala kantor dagang Cina yang terkenal saat itu, kata Djohan, yakni Liang Taow Ming. Liang mampu mengikat persatuan yang kuat antar masyarakat Cina sehingga mereka menjadi komunitas yang kuat dan cukup diperhitungkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Ketika di masa itu, kekuasaan kolonial menjadi lebih kuat atas Kesultanan Palembang Darussalam, Belanda mulai mengangkat perwira Cina untuk mengatur wilayah 7 Ulu dan sekitarnya. Perwira tersebut semula bertugas mengatur komunitas Cina saja. Akan tetapi, seiring makin kuatnya Belanda, perwira Cina juga mulai memegang kendali atas masyarakat pribumi.

Menurut Tjoa Kok Lim alias Kohar (72), cucu kapitan terakhir, Tjoa Ham Hin, dua perwira Cina pertama berpangkat mayor. Mereka dikenal sebagai Mayor Tumenggung dan Mayor Putih. Nama asli keduanya sulit untuk dilacak kembali, tetapi mereka berasal dari marga Tjoa.



Sejak zaman Sriwijaya, dan hingga kini, Sungai Musi telah menjadi urat nadi jalur transfortasi air yang berfungsi sebagai salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi di Kota Palembang sekitarnya.

Aktivitas di Sungai Musi cukup padat, alur mudik jenis kapal perahu, getek, tongkang, tag boat maupun speed boat yang membawa hasil bumi pun dapat terlihat. Namun dibalik padatnya aktivitas di Sungai yang membela Kota Palembang menjadi dua, yakni Seberang Ulu dan Ilir ini, ada hal yang lebih menarik perhatian dan berpotensi untuk menarik minat wisata mancanegara maupun domestik.









Kampung Kapitan merupakan kelompok 15 bangunan rumah panggung ala Cina yang terletak di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1, Palembang. Kampung itu, pada awalnya, merupakan tempat tinggal seorang perwira keturunan Cina berpangkat kapitan (sekarang disebut kapten) yang bekerja untuk Pemerintah Kolonial Belanda.


Adopsi Rumah Tradisional

Peruntukkan lahan di Seberang Ulu ini memang ditujukan bagi pendatang dari luar Palembang. Uniknya bahwa bentuk rumah mengadopsi bentuk rumah limas–rumah tradisional Palembang– yang memang diperuntukkan untuk para bangsawan Palembang.

Tipologi tampang rumah Kapitan adalah tipologi tampang rumah limas. Namun pada
denah rumah tersebut masih mengadopsi tipologi rumah masyarakat China dengan courtyard pada bagian tengah rumah, yang berguna bagi penghawaan dan masuknya cahaya.

Mereka juga tidak meninggalkan tradisi, dan nampak pada interior rumah yang dilengkapi dengan meja altar pemujaan bagi leluhur. Perpaduan ini dapat dipahami sebab pada masa akhir pemerintahan Kesultanan Palembang masyarakat Tionghoa mulai membaur dengan masyarakat asli Palembang melalui perkawinan atau memeluk agama Islam. Pembauran tersebut juga mereka wujud nyatakan dalam bentuk rumah tinggal mereka.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Tionghoa mengalami perubahan dari masyarakat yang diawasi menjadi masyarakat yang mempunyai kedudukan istimewa. merupakan bukti hubungan yang dibangun oleh masyarakat Tionghoa– dalam hal ini pemimpin mereka–terhadap pemerintah Kolonial Belanda.











Kolom penyangga pada bagian teras depan yang pada rumah pertama berbahan kayu berganti menjadi sebuah kolom bata dengan style klasik Eropa, walau dengan proporsi yang disesuaikan dengan tampang bangunan. Kebudayaan Eropa tidak hanya terungkap dalam elemen arsitektur berupa kolom, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari pun mereka – Kapitan -mencoba berinteraksi secara aktif terhadap penjajah Belanda, yaitu dengan penggunaan jas, yang merupakan pakaian masyarakat Eropa.

Penggunaan baju bergaya Eropa dimaksudkan sebagai identitas bahwa mereka mempunyai relasi yang cukup dekat dengan pemerintah Belanda.

Pada masa itu, seorang kapitan bertugas untuk memungut pajak dari masyarakat Cina dan masyarakat pribumi yang berada di Wilayah Seberang Ulu Palembang. Kapitan juga bertugas untuk menjaga keamanan wilayah dan mengatur tata niaga candu di wilayah terbatas.

Bangunan inti di Kampung Kapitan terdiri atas tiga rumah, merupakan bangunan yang paling besar dan menghadap ke arah Sungai Musi. Rumah di tengah merupakan rumah yang lebih sering difungsikan untuk menyelenggarakan pesta dan pertemuan-pertemuan dengan banyak orang. Sementara kedua rumah di sisi timur dan barat lebih banyak difungsikan sebagai rumah tinggal.

Dari arah darat hanya ada satu jalan masuk ke Kampung Kapitan, yang berjarak sekitar 800 meter dari bawah Jembatan Ampera. Di jalan masuk terdapat dua gerbang yang daun pintunya hilang.


Muhammad Saleh alias Ujang (74), Ketua di Kampung Kapitan, menuturkan, interaksi antara masyarakat keturunan Cina dan masyarakat pribumi berlangsung dengan baik. Banyak warga keturunan Cina, terutama dari keluarga besar kapitan, yang menikah dengan pribumi.

Dalam melaksanakan tugasnya untuk menarik pajak dan menjaga keamanan, kapitan juga bekerja sama dengan para demang (setingkat lurah) yang merupakan penduduk pribumi. Mayoritas pegawai kapitan juga berasal dari masyarakat pribumi dan mereka membangun rumah kecil yang menempel di sisi rumah utama.

Meskipun hubungan kapitan dan pegawainya adalah atasan dan bawahan, kata Ujang, Kapitan Tjoa Ham Hin sering berlaku seperti tetangga kepada para pegawainya. Mereka saling membantu. Kerukunan antara masyarakat pribumi dan keluarga kapitan terlihat dalam berbagai upacara hari besar keagamaan.

Kini, keanggunan Kampung Kapitan sudah nyaris hilang. Hanya bangunan-bangunan kuno yang masih tegak berdiri, meskipun banyak kerusakan kecil di berbagai sudut.

Selain itu, bagian bangunan yang terbuat dari kayu juga tampak kusam dimakan usia. Namun, dinding kayu tidak rusak karena terbuat dari kayu unglen yang mampu bertahan selama ratusan tahun.

Di dalam rumah, meja abu dan altar sembahyang yang dihiasi patung beberapa dewa, juga terlihat berdebu dan dikotori sarang laba-laba. Hampir tidak ada lagi meja kursi atau lemari yang dapat menggambarkan situasi masa lalu. Hanya ada beberapa foto kapitan masih terpampang di ruang tamu rumah sebelah timur.

Taman bagian tengah kampung juga sudah berubah menjadi tanah lapang yang tidak terurus. Dua patung singa, lambang rumah perwira Cina, yang dulu pernah menghiasi bagian depan rumah inti juga hilang.

Menurut Tjoa Kok Lim, Kampung Kapitan menjadi tidak terurus dengan baik setelah ditinggalkan para keturunan kapitan. Tjoa Kok Lim menjaga rumah itu karena keempat saudara perempuannya mengikuti suami mereka ke luar Palembang.

Pudarnya ketenaran Kampung Kapitan juga membuat anak-anak Tjoa Kok Lim memilih bekerja di Jakarta dan Lampung. Ia kini hanya ditemani seorang anak perempuan untuk menjaga kedua rumah inti, setelah rumah ketiga dijual kepada orang lain. Rumah-rumah kecil di Kampung Kapitan juga sudah dikuasai para penghuninya, dan tidak lagi dalam kepemilikan keluarga kapitan Tjoa Ham Hin. (sh/muhamad nasir)

wisata kuliner, maksubah











Lebaran Tak Lengkap Tanpa Maksubah


Palembang:

Sudah mahfum, makanan khas Palembang adalah pempek dan kemplang plus makanan turunan lainnya, seperti tekwan, model, dan lenggang. Makanan gurih yang berbahan dasar ikan ini pun disukai orang-orang di luar Palembang.

Jika Anda menyempatkan diri berkunjung ke Palembang saat lebaran, ternyata bukan cuma pempek dan beragam turunannya yang menjadi sajian khas. Ada sajian yang khusus dibuat pada waktu-waktu tertentu, seperti lebaran atau untuk menunjukkan tanda bakti anak-menantu kepada orangtua dan mertua, sekaligus suguhan penghormatan kepada tamu.

Makanan itu diberi nama kue maksubah. Ketika Anda disuguhi kue maksubah, itu pertanda tuan rumah menghormati Anda dan menganggap Anda sebagai tamu kehormatan.

Kue ini memang tergolong rumit pembuatannya. Bahannya memang tak macam-macam, cukup telur bebek, susu, gula dan mentega. Hanya saja, kelezatannya bisa membuat lidah ingin terus mencicipinya.

Diakui Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) III, Rms Syafei Diraja, kue maksubah memang tergolong penganan yang disajikan pada acara–acara khusus. ”Umumnya disajikan untuk menghormati tamu,” ujar Syafei Diraja.

Maksubah juga dikenal sebagai kue tanda bakti pengantin baru kepada orang tua dan mertua. "Apalagi bagi pengantin baru, ada semacam keharusan memberi antaran ke mertua saat lebaran. Yang paling bagus, ya, maksubah itulah. Kalau dulu biasanya bikinan sendiri. Tapi, sekarang, bisa juga dipesan kepada pembuat kue,” terang Wiriantini (35), seorang pembuat kue tradisional di Palembang.
Ibu tiga anak itu kini hanya memproduksi maksubah saat menjelang Lebaran. Menjelang Lebaran, dia bisa menerima pesanan sekitar 20 hingga 30 loyang kue maksubah untuk konsumsi keluarga maupun pesanan pelanggannya.
Begitu juga diungkapkan Halimah Yunus, seorang pembuat kue tradisional yang saat lebaran menerima pesanan tak kurang dari seratus loyang khusus untuk kue maksubah saja. Belum termasuk kue jenis lainnya.
"Kalau mau cari yang enak betul memang harus pesan ke pembuat maksuba yang tulen. Dijamin lemak nian buatannya (dijamin enak sekali rasanya, red) ," ujar Ny Siti Romlah, ibu rumah tangga di Palembang.
Tetapi yang harus dijaga, kue maksubah, selain lemak nian, tergolong makanan yang berkadar kolesterol tinggi. Karenanya, yang berpenyakit darah tinggi mesti hati-hati mencicipinya.

Telaten
Meskipun bahan-bahan yang diperlukan tidak beragam, harga maksubah tergolong mahal. Ini wajar karena proses pembuatan maksuba memang memerlukan ketelatenan. Di situlah keistimewaan yang membuat maksuba menjadi "makanan kehormatan".
Maksuba biasanya dicetak dalam sebuah loyang segi empat berukuran 21 x 21 x 7 cm. Untuk setiap loyang maksuba itu, disiapkanlah adonan 28 butir telur bebek, satu kaleng susu kental manis, seperempat kg mentega, dan sekitar delapan ons gula pasir.

Tahap pertama, telur, gula, dan mentega yang dicairkan dikocok hingga bercampur tanpa perlu mengembang. Setelah itu dicampurkan pula susu. Aroma kue dapat ditambahkan jika ingin mengurangi aroma telur dan susu yang sangat kuat. Berbeda dengan bahan adonan yang terkesan sederhana, pemanggangan kue ini memang lebih rumit. Pemanggang yang digunakan biasanya panggangan tradisional. Semacam oven terbuat dari tanah dengan pengapian di bagian bawah dan atas yang dinyalakan secara manual.

Harus terus dijaga agarnya arangnya tetap membara selama proses pemanggangan.
Adonan maksuba dimasukkan dan dipanggang sedikit demi sedikit sehingga kue yang dihasilkan berlapis-lapis. Untuk setiap lapisan, dituangkan sekitar 250 ml adonan ke dalam loyang. Setelah lapisan yang dipanggang matang, adonan dituangkan kembali di atas lapisan maksubah untuk membuat lapisan berikutnya.

Dengan komposisi bahan yang cukup mahal dan rumitnya pengerjaan, tak heran harga satu loyang maksubah pun mencapai Rp100 ribu hingga Rp150 ribu.
Namun demikian, soal harga ini sebenarnya cukup bervariasi. Untuk pemesanan di kampung-kampung, tarif pembuatan maksubah ini ada juga yang berkisar Rp45 ribu hingga Rp60 ribu saja. Sementara untuk upah pembuatannya saja, berkisar Rp20 ribu hingga Rp 35 ribu. Maksudnya, bahan dari pemesan, pembuat hanya memasaknya saja. Tinggal pilih, sesuai ”dalamnya” kantong.

Sebenarnya masih ada beberapa kue tradisional di Palembang yang hampir menyamai "kelas" maksuba, yakni kue delapan jam, engkak ketan, dan bolu lapis. Komposisi bahan kue delapan jam sama seperti maksubah. Namun, seluruh adonan kue ini dikukus sekaligus selama delapan hingga sepuluh jam.

Untuk mengimbangi rasa manisnya yang lekat, maksubah biasa disajikan bersama pempek, tekwan, atau model yang menonjolkan rasa gurih.

Pempek, tekwan, maupun model yang sama-sama dibuat dari paduan adonan terigu dan ikan.
Bedanya, kalau pempek digoreng dan disantap dengan cuko, kuah pedas terbuat dari asam dan cabai, sementara kalau tekwan, adonan sebesar ibu jari yang dimasukkan ke dalam kuah khusus terbuat dari bumbu kepala udang. Dan model, kuah sama dengan tekwan, bedanya kalau model bentuknya lebih besar dan biasanya diisi tahu lalu dipotong-potong saat akan menyantapnya. Kuahnya bisa lebih nikmat kalau ditambah irisan bangkuang dan jamur.
Usai menyantap pempek, tekwan, atau model yang pedas, tak salah memang kalau diimbangi dengan sajian kue maksubah yang manisnya lekat di lidah.

Istana

Memang tak ada catatan tertulis mengenai sejarah maksubah. Meski demikian, tetap diyakini kalau maksubah ini sesungguhnya merupakan sajian istana kesultanan. Paling tidak, kalau Anda bertamu dan menerima sajian maksubah, itu artinya Anda menjadi tamu kehormatan.
”Tak ada sejarah tertulis mengenai kue maksubah ini. Namun, kue ini merupakan makanan khas layaknya pempek, kemplang, model ataupun tekwan,” ujar Syafei Diraja. Hal sanada diungkapkan budayawan Palembang, Djohan Hanafiah. Menurutnya, tradisi Palembang memang terus lestari. Hanya bedanya, kalau dulu sajian istana ini hanya ada di lingkungan kesultanan, sekarang justru sudah menyebar ke masyarakat. Dulu, menu maksubah ini hanya menjadi rahasia juru masak istana. Kini, siapa pun bisa mencicipinya. Anda mau, silakan datang ke Palembang saat lebaran nanti. (sh/muhamad nasir)

Musi Wisata, Visit Musi 2008

Wisata

Musi Menunggu Wisatawan



Oleh
Muhamad Nasir

PALEMBANG - Sungai Musi bagi warga Palembang merupakan salah satu land-mark. Keindahan dan objek yang tersedia alami dan membawa pengunjungnya ke wisata nature, kembali ke alam.

Julukan Palembang dengan “Sungai Musi, Venesia dari Timur” pun sudah tak asing lagi.
Keindahan Musi juga dijadikan inspirasi lagu berjudul “Sebiduk di Sungai Musi”. Lagu ini menggambarkan pesona sungai yang membelah Kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) ini.
Atau bacalah kembali novel Dian Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisyahbana, di sana ada juga kisah tentang keelokan sungai ini.
Sungai dengan panjang 460 kilometer dan lebar rata-rata 300 meter itu, memang menjanjikan nuansa tersendiri. Makanya tak salah kalau dijadikan salah satu alternatif untuk dikunjungi wisatawan.
Menikmati suasana Sungai Musi bisa dengan berbagai cara. Pertama, lewat darat atau kedua, langsung “mencebur” ke Sungai Musi menggunakan perahu ketek atau kapal pesiar. Yang pertama, bisa lewat Jembatan Ampera.
Dari atas Jembatan Ampera yang dibangun dengan biaya pampasan perang Jepang, rumah rakit, dan aktivitas keseharian warga Palembang di Sungai Musi bisa dinikmati dengan gratis.
Akan lebih eksotik kalau malam hari. Sungai Musi yang bertabur lampu dari rumah rakit yang berjajar di sepanjang tepi sungai yang tak berpantai, memberikan ketenangan tersendiri. Begitu pun terangnya lampu di Jembatan Ampera.
Orang-orang memancing ikan juaro dari Jembatan Ampera juga menjadi pemandangan tersendiri. Atau, kita pun bisa ikut memancing dari jembatan itu. Hingga pukul 23.00 WIB, suasana malam hari di Jembatan Ampera masih bisa dinikmati.
Bisa pula kita menikmati keindahan Jembatan Ampera dari kawasan Benteng Kuto Besak (BKB). Kawasan ini berupa lapangan terbuka dengan dermaga bagi kapal maupun perahu. Kalau siang hari, bisa dijadikan tempat menikmati suasana lalu lintas dan kesibukan warga Palembang di atas air Musi. Pun malam hari, bersama pengunjung lainnya, bisa memandang Jembatan Ampera.
Restoran Terapung
Kalau perut sudah lapar, kita juga bisa menikmati deburan ombak Sungai Musi dari atas warung makan. Namanya, Warung Legenda.
Kalau dulu berada di seberang ulu dekat eks terminal 7 Ulu, kini sudah dialihkan ke sebelah ilir (di bawah Jembatan Ampera dekat dermaga), dengan menu masakan khas Palembang, seperti pindang patin, berengkes ikan, atau udang bakar. Setidaknya ada lima pondok terapung.
Usai mengisi perut, di seputar Ampera ada empat objek wisata yang bisa dikunjungi, yakni Benteng Kuto Besak yang dulu jadi benteng pertahanan Kesultanan Palembang Darusalam yang menurut cerita dibangun menggunakan putih telur.
Dan kini di dalamnya ada Rumah Sakit AK Gani, pahlawan Palembang yang tahun ini dinobatkan menjadi pahlawan nasional. Ada pula museum peninggalan Kesultanan Palembang Darusalam, yang dulunya Istana Sultan Mahmud Badaruddin (SMB).
Dan di belakangnya, ada Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera). Bagi umat Muslim, objek wisata religius juga tersedia, yakni Mesjid Agung yang dibangun zaman Kesultanan Palembang Darusalam. Oleh mantan Presiden Megawati Soekarnoputri ditetapkan sebagai Masjid Nasional.
Cara kedua adalah lewat Sungai Musi dengan perahu ketek, perahu yang dilengkapi mesin. Suaranya memang ketek-ketek sehingga disebut perahu ketek.
Bisa juga dengan menumpang kapal wisata. Ada dua kapal wisata berukuran besar, yakni Sigentar Alam dan Putri Kembang Dadar. Selain itu, masih ada perahu jukung yang cukup besar.
Kalau memakai perahu ketek, dengan uang Rp 50.000 sudah bisa menikmati satu kali jalan wisata Musi untuk 2-4 orang. Sementara dengan kapal wisata atau kapal jukung, tarifnya Rp 50.000 hingga Rp 70.000 per orang, dengan fasilitas karaoke dan makan siang atau makan malam plus kudapan.
Objek yang dilintasi biasanya memakan waktu sekitar dua jam di atas Musi. Dengan melihat objek-objek dari atas kapal, seperti Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS), di sepanjang perjalanan rumah-rumah rakit terlihat, plus pabrik-parik karet.
Lalu memutar dan menuju ke arah Pulau Kemaro. Selain rumah rakit, akan ada perumahan kapitan, tempat permukiman pecinan yang kini sedang direhab.
Tak jauh dari Jembatan Ampera ada Dermaga Boombaru, pabrik Pupuk Sriwijaya, dan terakhir Pulau Kemaro. Di pulau ini terdapat Kelenteng Hok Ceng Bio yang selalu ramai saat peringatan Cap Gomeh, puncak perayaan Tahun Baru Imlek.
Nuansa Musi sesungguhnya barulah sebagian objek wisata yang bisa dikunjungi di Sumsel karena masih ada rangkaian objek lainnya.
Untuk meginap, hotel berbintang dan melati juga tidak menjadi masalah. Hanya saja, jumlah pemandu wisata masih terbatas. Saat ini, menurut Ketua Perhimpuan Hotel dan Restoran Susmel (PHRI) Iwan Setiawan, baru ada sekitar 80 orang.
Idealnya, padahal 250 orang. Terlebih menyambut “Visit Musi 2008 mendatang”, tentunya harus ada perhatian khusus untuk menyediakan pemandu yang memadai. n

Sinar Harapan edisi, Kamis, 15 November 2007

visit musi 2008

”Visit Musi” Tak Sekadar Wisata Sungai

Oleh Muhamad Nasir Palembang -

“Visit Musi 2008” dibuka Sabtu (5/1/2008) ini. Meski tak dihadiri Presiden Yudhoyono, gaung peluncuran ajang wisata yang menjual ikon Sungai Musi yang memang sudah terkenal akan keindahannya itu, tak berkurang meriahnya. Apalagi, tiga menteri ditunjuk langsung oleh Presiden Yudhoyono untuk hadir, yakni Menteri Koordinator Perekonomian Budiono, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Jero Watjik, dan Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa. Jembatan Ampera yang merupakan land mark Kota Palembang bersolek demikian rupa, di Benteng Kuto Besak, hamparan luas di sisi jembatan yang dibangun dengan biaya pampasan perang Jepang itu bakal menyedot perhatian warga Palembang. Selain itu, tentunya wisatawan nusantara (wisnu) maupun wisatawan mancanegara (wisman). Keseriusan menggarap “Visit Musi 2008” memang tidak sebatas peluncuran yang memakan dana mencapai lebih dari Rp 2 miliar. Lebih dari itu, berbagai acara dipersiapkan sepanjang tahun sehingga diharapkan bisa memancing animo wisawatan berkunjung ke daerah ini. Fasilitas hotel berbintang hingga melati juga dijamin takkan mengecewakan. Hotel berbintang lima pun ada di Palembang. Belum lagi, hotel dan penginapan serta wisma, sehingga wisatawan tinggal memilih sesuai dengan kemampuan kantongnya. Kalaupun ikon yang dipilih, “Visit Musi 2008”, menurut Gubernur Sumsel H Syahrial Oesman bukan berarti yang dijual hanya sepanjang Musi itu. “Itu hanya mewakili saja. Karena sesungguhnya paket wisata yang bisa dikunjungi tersebar di wilayah Sumsel. Sebut saja, Gunung Dempo di Pagar Alam yang tak kalah dengan suasana Puncak di Jawa Barat. Lalu, ada Danau Ranau di Ogan Komering Ulu (OKU), atau Danau Teluk Gelam di Ogan Komering (OKI),” ujarnya. Selain itu, wisata sejarah berupa tempat-tempat sejarah, terutama berkaitan dengan Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Palembang, bahkan perkampungan religius tempat awal tumbuhnya Islam juga melengkapi objek wisata yang bisa dikunjungi. Guna menunjang program wisata ini, menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Sumsel Rachman Zeth, peran serta masyarakat juga terlihat, dengan terbentuknya Musi Tourism Board (MTB) yang bakal mendukung agar sepanjang tahun Sumsel tak sepi dari berbagai kegiatan. Berbagai stakeholder dilibatkan dalam organisasi ini. “Harus diyakini pula, memang Palembang telah menjadi alternatif untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat nasional, apakah itu simposium, rapat kerja, dan kegiatan lainnya dari pemerintahan, BUMN, ataupun perusahaan swasta yang biasanya memiliki waktu tinggal lebih dari dua hari. Secara tidak langsung, memberikan angin segar bagi pertumbuhan ekonomi, baik itu di bidang rumah makan, hotel, bahkan cendera mata, baik berupa pernik-pernik maupun makanan khas,” ujar Ketua Musi Tourism Board Ahmad Rizal. Perlu Pembenahan Potensi dan peluang yang ada memang menjanjikan bisa menunjang pertumbuhan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Sumsel. Tetapi, objek yang ada tentu juga perlu dibenahi. Bagaimana misalnya kondisi objek Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TKPS) yang diharapkan bisa menjadi sumber informasi sejarah Kerajaan Sriwijaya di Gandus bisa membuat pengunjung ingin kembali. Atau, kondisi kampung kapitan, bekas perkampungan ornag-orang China di zaman Belanda bisa membuat pengunjung bercerita kepada teman-temannya di tempat asalnya untuk juga mengunjungi tempat monumental itu. Begitu juga, objek-objek seperti Pulau Kemaro, bisa menambah alternatif objek yang bisa dihampiri selama di Palembang. Bagaimana kondisi objek-objek tersebut, mudah tidaknya akses ke sana. Bagaimana perlakuan tukang becak, pengemudi taksi, pedagang makanan khas, penjual cendera mata tentu juga bisa mempengaruhi keinginan wisatawan untuk kembali lagi. Jumlah pemandu wisata dan kualitas pemandu yang selama ini menjadi persoalan bagi dunia pariwisata juga harus mendapat perhatian. “Selama ini, profesi pemandu wisata hanya menjadi alternatif karena tak ada pekerjaan lain. Ini membuat pemandu kurang memenuhi standar,” ujar Ketua PHRI Sumsel, Iwan Setiawan. Jalur masuk ke Sumsel sendiri bisa melalui udara yang disambut dengan Bandara Internasional atau lewat darat dengan mobil dan kereta api. Atau lewat laut, melalui Sungai Musi. Ini tentu merupakan peluang dan potensi yang mestinya ditindaklanjuti dengan kesiapan objek-objek yang tidak membuat wisatawan kecewa. n Copyright © Sinar Harapan 2003. dimuat di Sinar Harapan. halaman Nusantara, edisi Sabtu (5 Januari 2008)

Midang Kayuagung





“Midang”, Ritual Remaja Seusai Lebaran


Oleh Muhamad Nasir Kayuagung - Diiringi musik tanjidor, ratusan pasang pengantin remaja melakukan tradisi ritual seusai Lebaran di Kayuagung, Ibu Kota Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), dengan berjalan sejauh 15 kilometer. Tradisi itu disebut midang, morge siwe. Selain menyusuri jalan di sepanjang Sungai Komering yang membelah kota yang terletak sekitar 120 km dari Palembang, Ibu Kota Sumatera Selatan, barisan pengantin remaja itu juga menyeberangi Sungai Komering dengan perahu ketek. Ini memberikan gambaran betapa mulianya ritual perkawinan yang merupakan pertanda berakhirnya masa bujang dan gadis. Tradisi ini sudah digelar turun-temurun oleh masyarakat Kayuagung yang terdiri dari sembilan marga. Hanya saja, ritual itu kini dilakukan untuk melestarikan tradisi. Sebab, masyarakat yang menggelar pesta perkawinan tak mungkin lagi bisa menyelenggarakan upacara sebesar itu. Dalam tradisi midang ini, spontanitas warga kota yang berpenduduk sekitar 150.000 keluarga ini memadati sepanjang jalan yang mereka lalui. Oleh karena banyaknya pasangan pengantin remaja yang ikut meramaikan ritual midang, kini ritual itu digelar selama dua hari, yakni pada Senin (15/10) dan Selasa (16/10). Puncaknya pada hari kedua, karena tahun ini bersamaan dengan peringatan HUT ke-62 Kabupaten Ogan Komering Ilir. Dalam ritual itu digambarkan bagaimana perkawinan itu dimulai dari perkenalan antara bujang dan gadis, lalu ada acara melamar, atau bahkan kawin lari dan diakhiri dengan perkawinan yang diwarnai arak-arakan sepasang pengantin keliling kota untuk memberi tahu warga bahwa sepasang remaja itu kini sudah berubah status. Pada ritual itu, setiap marga diwakili satu pasang pengantin inti yang berpakaian lengkap pengantin khas Kayuagung, diiringi puluhan bahkan ratusan pengantin remaja sebagai pengiring. Oleh karenanya, dari sembilan marga saja, pegantin pengiring bisa mencapai 900 orang, belum termasuk pemain musik tanjidor. Kalau ditambah arak-arakan dari kecamatan di Ogan Komering Ilir, iring-iringan pengantin ini bisa berjumlah sedikitnya dua ribu orang. Bisa dibayangkan arak-arakan ini berjajar sepanjang dua kilometer. Banyaknya jumlah pengiring ini, menurut Ketua Pemuka Adat Kayuagung Rahman Ahmad, bergantung pada besar kecilnya keluarga. Semakin besar keluarga, semakin banyak pengantin pengiring. Arak-arakan ini juga diiringi musik tanjidor yang membawakan lagu daerah. Berselendang Handuk Pengantin inti lelaki dan pengantin pengiring mengenakan handuk sebagai selendang. Sebagai pertanda bahwa seusai arak-arakan, mereka akan mandi di Sungai Komering. Saat mandi itu mereka tidak mengenakan apa-apa, kecuali handuk yang dilepas begitu tubuh masuk ke air. Mereka mesti melewati pendopoan, karena waktu zaman penjajahan, pemerintah Belanda mengharuskan para pengantin melewati pendopoan yang kini ditempati bupati. "Itu sebagai bagian dari pengontrolan pemerintah Hindia Belanda," ujar Rahman Ahmad. Tapi tahun ini, iring-iringan ini melewati panggung hiburan di lapangan sepakbola.






Zaman dahulu, dalam arak-arakan juga dibawa bong (tempat mandi dari kayu yang mengapung) yang biasanya ditempatkan di sungai. "Itu pertanda ada keluarga baru, ada bong baru. Tetapi karena sekarang sulit mendapatkan kayu besar yang mengapung, bong itu ditiadakan," papar Rahman Ahmad. Selain itu, arak-arakan juga diramaikan juli, yakni gerobak yang dihiasi berbagai bentuk yang kemudian ditandu. Pengantin inti ini pun dinaikkan di atas juli saat melewati pendopoan. Kini, meski midang tanpa bong, ritual tahun ini disemarakkan juga dengan dua juli. Pasangan Gubernur Syahrial Oesman bersama istri dan Bupati OKI Ishak Meki dan istri dipandu sejauh 15 km di atas juli berbentuk naga raksasa. Sementara satu pasang pengantin remaja lainnya diangkut juli berbentuk burung. Menurut Bupati Ogan Komering Ilir Ishak Meki, pesan yang ingin disampaikan adalah tradisi arak-arakan ini tetap harus dilestarikan. "Apalagi, kalau menunggu ada perkawinan mabang handak (bawang putih) yang mampu menggelar midang, rasanya cukup sulit karena membutuhkan dana sangat besar. Oleh karenanya, sejak puluhan tahun lalu, tradisi yang dikenal sejak kesultanan Palembang tahun 1800 Masehi lalu, digelar seusai Lebaran," ujarnya di sela-sela midang. Masyarakat Kayuagung yang menetap di kota itu ataupun para perantau yang mudik saat Lebaran kini memang dapat menikmati midang tanpa perlu menggelar perkawinan. Dengan biaya swadaya masyarakat, seusai Lebaran, Kota Kayuagung akan selalu ramai. Mereka tumpah di sepanjang jalan yang dilewati peserta midang. Gubernur Sumsel Syharial Oesman bersam Bupati Ogan Komering Ilir Ishak Meki, menggantikan peran pemerintah kolonial, memberikan sambutan di pendopo didampingi para pejabat dan anggota DPRD. Barisan midang pun berlalu untuk kembali lagi tahun depan. Tradisi ini, oleh Gubernur Sumsel Syahrial Oesman dimasukkan dalam paket wisata Visit Musi 2008. n

Dimuat di Sinar Harapan, Jumat 19 Oktober 2007 Copyright © Sinar Harapan 2003

Minggu, 23 November 2008

wisata gunung dempo



Menyeruput Secangkir Teh di Gunung Dempo



Oleh
Muhamad Nasir

PALEMBANG - Menikmati dinginnya pegunungan dengan pemandangan kebun teh yang terbentang luas, ternyata tidak hanya dapat dilakukan di Puncak, Jawa Barat.

Di Sumatera Selatan, tepatnya di Gunung Dempo, suasana serupa bisa Anda dinikmati. Kelebihannya, Anda tidak harus stres menghadapi kemacetan di jalan raya.
Menyeruput secangkir teh manis panas yang dipetik dari lereng Gunung Dempo bisa memanaskan tubuh Anda kala pagi hari, setelah malam sebelumnya Anda berselimut dingin di vila atau hotel tempat Anda menginap.
Setelah mengguyur tubuh dengan air pegunungan yang mengalir hingga mencapai kamar mandi, mata Anda bisa makin terbelalak menyaksikan anugerah Tuhan berupa indahnya pemandangan.
Gunung Dempo adalah gunung tertinggi di Sumatera Selatan, setinggi 3.195 meter di atas permukaan laut (dpl), dan tergolong sebagai gunung berapi aktif yang sering mengeluarkan asap dengan menyemburkan sedikit lumpur ke dataran rendah di bawahnya. Gunung ini masuk dalam jajaran Pegunungan Bukit Barisan yang memiliki dua puncak, yaitu Gunung Dempo dan Gunung Marapi.
Kawasan Gunung Dempo merupakan satu-satunya lokasi wisata gunung di Sumatera Selatan. Di kawasan hutan menuju puncak Gunung Dempo terdapat sungai kecil dengan airnya yang jernih.
Para pendaki dapat memanfaatkan air sungai ini sebagai air minum selama perjalanan. Untuk mendaki, pengunjung harus melalui kawasan hutan dengan menelusuri jalan setapak yang dipenuhi akar-akar pepohonan besar yang melintang. Keadaan hutan ini lebat dan sunyi, hanya terdengar suara kicauan burung.
Dari ketinggian tertentu, pengunjung dapat menyaksikan hamparan kebun teh seluas 1.500 hektare milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII. Jika pengunjung melihat lebih jauh, akan tampak Kota Pagaralam. Panorama ini akan lebih indah jika dilihat pada malam hari, karena gemerlap lampu menghiasi Kota Pagaralam.
Gunung Dempo terletak sekitar 310 km sebelah barat Kota Palembang. Untuk mencapai gunung ini, pengunjung dapat menggunakan bus menuju Kota Pagaralam dalam waktu sekitar tujuh jam perjalanan. Tarifnya cukup Rp 70.000/orang untuk yang ber-AC dan Rp 40.000 untuk kelas ekonomi.
Dari Terminal Pagar Alam, pengunjung dapat menuju ke kaki Gunung Dempo yang jaraknya sekitar 15 km dengan mobil menuju Pabrik Teh PTPN III.
Di dekat pabrik teh ini, ada baiknya pengunjung menemui sesepuh Gunung Dempo, yang akan mengantar pengunjung ke desa terdekat dari kaki Gunung Dempo, yaitu Kampung Empat dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Dari tempat ini, perjalanan dilanjutkan melalui jalan setapak menuju ke Puncak Gunung Dempo. Jika ingin menginap, ada vila, losmen, motel, dan warung makan di kaki Gunung Dempo.
Kota Pagaralam selain mempunyai wisata alam juga memiliki lokasi purbakala. Terdapat sedikitnya 33 air terjun dan 26 situs menhir yang sudah tercatat. Ada pula Batu Gong, perkebunan teh lereng Dempo, Sungai Lematang Indah, Air Terjun Curup Embun, Arca Manusia Purba, dan kegiatan petualangan (adventure out door) berupa arung jeram atau aktivitas terbang layang.
Setelah digunakan untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) XVI lalu, tersedia landasan untuk menikmati keindahan lereng Gunung Dempo dengan menggunakan pesawat layang.
Upaya menjual objek wisata memang telah dilakukan. Hanya saja, seperti diakui Wakil Ketua DPRD Pagaralam Suhardin, pendapatan dari sektor pariwisata belum signifikan. “Tetapi PAD (Pendapatan Asli Daerah) dari wisata ini ditargetkan bisa menjadi modal pembangunan daerah. Makanya, pembangunan dan pengelolaan aset-aset wisata ditangani badan usaha daerah,” ujarnya.
Wali Kota Pagaralam Djazuli Kuris menyatakan, pelayanan diupayakan semaksimal mungkin. Tinggal menunggu bagaimana sinergi dengan program Visit Musi saja, sehingga wisatawan baik dari Nusantara maupun mancanegara bisa menikmati keelokan Gunung Dempo. “Mereka akan kami buat menyesal kalau tidak kembali lagi setelah kedatangan pertama,” katanya berpromosi. n

wisata goa





Menikmati Wisata Goa dan Arung Jeram di Lubuklinggau


Lubuklinggau: Kejayaan wisata Goa Napalicin dengan nuansa stalagtit dan stalagnit telah berlalu. Begitu juga arung jeram di Sungai Rawas, Musi rawas (Mura) pun senasib dengan objek air terjun Batu Ampar.

Memasuki kawasan Goa Napalicin di Kecamatan Ulu Rawas, Mura kita akan disuguhi nuansa bebatuan alami. Ya. Dari pintu masuk goa seluas sekitar 15 meter, bagian lantai dinding dan atas goa berbentuk stalagtit dan stalagnit yang terbentuk secara alami sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu.

Objek yang terdapat di bumi Lan Serasan Sekantenan ini memang pernah menjadi primadona wisata sebelum krisis melanda tahun 1998 lalu.

Meskipun untuk mencapai lokasi dari Palembang, ibukota Sumsel sekitar 500 km tak mengurungkan para wisatawan dari Eropa mengunjungi objek ini. Dari Palembang, untuk mencapai Lubuklinggau, ibukota kabupaten Musirawas memang lumayan jauh, sekitar 350 km. Alternatif lain, bisa ditembus melalui Bengkulu yang hanya berjarak 150 km.

Dari Palembang, untuk mencapai Lubuklinggau bisa menggunakan kereta api dan bisa juga menggunakan travel atau mobil pribadi. Namun, menggunakan pesawat pun bisa.

Menggunakan kereta api, ditempuh semalaman jika menggunakan kereta malam atau seharian kalau menggunakan kereta siang, Kereta malam, kelas eksekutif biasanya berangkat sekitar jam 20.00 WIB dan tiba di Lubuklinggau sekitar pukul 05.00 WIB. Tiketnya, Rp 90.000 untuk kelas eksekutif dan Rp 45.000 untuk kelas bisnis. Menggunakan kereta api siang, kelas ekonomi jauh lebih murah, hanya Rp 12.000. Berangkat jam 08.00 WIB, sekitar pukul 19.00 WIB sudah menghirup udara Linggau

Menggunakan travel agak lebih mahal, namun bisa lebih cepat dan keberangkatananya lebih variatif. Tarif memang dipatok lebih tinggi Rp 120.000 hingga Rp 150.000.
Menggunakana pesawat, Bandara Silampari kini memiliki runway sepanjang 1.300 meter sehinga bisa didarati pesawat jenias Cassa. Kini terus diperpanjang dan direncanakan 2009 bisa bertambah menjadi 1.800 meter sehingga bisa didarati Fokker 100 bahkan Boeing 737. Sayang, belum ada penerbangan umum yang melayani rute ini.

Mencapai Lubuklinggau, belum bisa menikmati Goa Napalicin. Kita harus menempuh lagi perjalanan darat sejauh sekitar 135 km. 100 km diantaranya jalan mulus Jalan Lintas Sumatera, namun sisanya merupakan jalan berbatuan dan tanah. Sehingga, jarak dari Linggau ke lokasi harus ditempuh selama sekitar 5 jam.

Meskipun perlu perjuangan keras mencapai lokasi wisata ini, tak mengurungkan wisawatan mancanegara menikmatinya. Sejak didirikan tempat peristirahatan
yang diberi nama “Rawas River Lodge” atau dalam bahasa Belanda disebut Rawas River-Lodge bij het dorpje Surulangun, in het Zuid Sumatraanse tropische regenwoud, perkembangan sektor pariwisata di Kabupaten Musi Rawas sungguh sangat menjanjikan.

Setidaknya dalam kurun waktu tersebut (1992-1998) ribuan turis berkunjung ke daerah ini. Bahkan, kecamatan Ulu Rawas dan Rawas Ulu bisa dikatakan kawasan
wisata kedua setelah Bali.

Seiring terjadinya krisis ekonomi (krisis moneter) yang dilanjutkan dengan reformasi pertengahan tahun 1998, minat para turis untuk berlibur ke Indonesia khususnya di
Kabupaten Musi Rawas menurun drastis.
Sejak tahun 2000 hingga sekarang, sektor pariwisata di Musi Rawas benar-benar lumpuh. Sejak itu jumlah wisatawan manca negara khususnya dari Eropa yang berkunjung ke kabupaten Mura terus mengalami penurunan.

Puncaknya, sejak terbakarnya Kubu Lodge—sebuah tempat peristirahatan yang berada di kaki bukit batu-milik salah seorang investor keturunan Negeri Kincir Angin (Belanda) bernama Mr Johan Tedo, aktivitas wisata di kawasan itu lumpuh total.

Bupati Mura H Ridwan Mukti mengungkapkan, ada beberapa objek yang saat ini tengah dikembangkan. Diantaranya, Goa Napalicin, Danau Raya, Danau Suka Hati, dan Danau Gegas. Objek wisata ini merupakan 20 dari potensi wisata yang ada di daerah ini.
Mantan anggota DPR RI ini menyatakan bahwa Mura saat ini berusaha menjadi poilot project pengembangan pariwisata. Dimana akan mengajak kabupaten/kota se-Sumsel untuk duduk satu meja menggagas paket wisata yang sinergis. Sehingga wisatawan nantinya daat menikmati paket wisata yang saling tersambung satu sama lain di Sumsel.
Akses ke lokasi akan dibangun sehingga calon wisawatan bisa lebih menikmati perjalanan menuju objek wisata di daerahnya.

Legenda
Konon, menurut legenda yang dipercaya warga setempat sampai sekarang, dulunya bukit tersebut adalah sebuah kapal yang terdampar—di zaman kapan, tidak diketahui secara pasti.
Pada suatu saat, lewatlah seorang pengembara sakti bernama Serunting Sakti atau lebih dikenal dengan Si Pahit Lidah. Melihat ada kapal yang terdampar, Si Pahit Lidah berusaha untuk naik ke atasnya. Beberapa kali Si Pahit Lidah berusaha untuk naik, namun tetap saja tidak membuahkan hasil. Si Pahit Lidah menggumam. Gumamannya itu ternyata membuat kapal tadi berubah menjadi batu.
Cerita ini dibenarkan ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Napallicin, M Damiri Rozak. Berdasarkan cerita turun-temurun dari neneknya, bukit batu tersebut dulunya adalah sebuah kapal jung yang terdampar. Namun oleh Si Pahit Lidah disumpahnya menjadi batu.

Gua batu Napalicin yang terdapat di ketinggian sekitar 20 meter dari jalan, di dalamnya terdapat lorong sepanjang lebih kurang 1,5 kilometer menghubungkan empat bukit (Bukit Batu, Bukit Semambang, Bukit Payung dan Karang Nato —orang setempat menyebutnya, Bukit Keratau).
Lorongnya pun tidak luas, hanya bisa dilalui dengan cara merunduk bahkan tiarap. Jarak bukit itu sendiri dari ibukota kecamatan sekitar 12 kilometer, bisa dijangkau melalui jalan darat maupun sungai. Hingga kini di dalam gua batu masih tersimpan
sejuta misteri.
Di bagian depan, pengunjung langsung disuguhi pemandangan yang artisik. Saat ini, para engunjung yang umumnya wisatawan lokal,. Akan disuguhi budaya lokal berupa tarian dan lagu daerah. Diiringi. Biola, seorang tetua menghibur pengunjng diiringi anak-anak yang membawakan tarian menyambut tamu.

Memasuki lorong-lorong goa, kelelawar beterbangan. Titik-titik air dari atas goa memberikan kesan mistis. Apalagi, sesekali kelelawar beterbangan. Pada beberapa bagian, memang gelap sehingga warga setempat memasang beberapa obor bambu. Di bawawah cahaya temaram, keindangan berbagai sisi goa semakin berbinar. Berbagai bentuk terlihat. Setidaknya kita butuh lebih dari 4 jam untuk menikmati berbagai sudut goa. Pada beberapa bagian, cahaya menembus goa. Terutama, antara bukti yang satu dengan bukit yang lain. Celah-celah batu tak sedkit pun tidak membiaskan bentuk artistik. Sehingga decak kagum akan terus kita keluarkan.


Setelah menikmati Gua batu Napalicin, kita masih objek wisata Air Terjun Sungai Kerali (Desa Napallicin) dan Air Terjun Batu Ampar, Desa Kota Tanjung. Lalu di Sungai Rawas, yang berada di sisi Goa Napalicin dapat digunakan untuk berarung jeram kaerena arusnya yang deras dan beberapa rintangan alami juga terdapat di sepanjang sungai
Jika dilihat dari segi keindahan, air terjun Sungai Kerali, tidak begitu menarik hanya terdapat batu-batuan saja.
Namun dulu, saat populasi ikan sungai masih banyak, air terjun Sungai Kerali merupakan tempatnya ikan melompat, terutama saat air pasang.
Untuk menuju ke air terjun Sungai Kerali, bisa dijangkau dengan perahu, motor ketek atau bisa pula dengan berjalan kaki.
Air terjun Batu Ampar adalah bebatuan dari napal yang terhampar secara bertingkat. Dulu, saat daerah itu masih alami, belum ramai di kunjungi dengan kondisi hutan TNKS masih asri, tempat tersebut sangat terasa indahnya karena air terjunnya mengalir secara bertingkat-tingkat. Di hamparan batu napal, terdapat lobang-lobang kecil.
Uniknya, ketika sungai pasang, napal bertingkat tadi tenggelam oleh air. Tapi ketika sungai surut, banyak sekali ikan yang terjebak di dalam lobang.
Masyarakat yang berkebun maupun berladang di sekitar lokasi objek wisata batu ampar, tinggal menangkap saja ikan yang terjebak di dalam lobang itu.
Objek ini, mungkin bisa dijadikan alternatif. Terutama bagi mereka yang punya hobi berpetualang di alam yang masih asri dan perawan. (sh/muhamad nasir)

Selasa, 14 Oktober 2008

Sabtu, 28 Juni 2008

jamu

Senin, 02 Juni 2008

Cerpen

Bertopeng Gincu

Tubuhnya memang lumayan ramping. Putih dengan sedikit bakat*. Itu pun hanya di tulang kering, kenangan masa kecil yang nakal, dan sedikit tomboy.

Saat mandi hujan bersama anak seumuran, terjatuh. Terus berlari dan tak terasa kalau ada pecahan beling menyentuh tulang keringnya. Ketika hujan berhenti, barulah diketahui banyak darah mengucur dri lukanya. Akibat nakal, luka itu terus menganga dan bernanah akhirnya menjadi koreng.

Orang tuanya yang Ketua RT tidak tahu kalau anaknya, Lia atau nama lengkapnya Sri Meliawati terluka saat mandi hujan. Sepengetahuannya, anak nomor duanya itu tidur siang ketika petir dan kilat begitu ramai sebelum hujan turun.

Begitupun ibunya, yang berjualan ikan di pasar pagi Pasar 16 yang kini menganggur karena lokasi berjualannya telah digusur, sementara untuk pindah di Jakabaring, rasanya tak mampu karena sepi pembeli. Yang banyak justru pedagang yang termangu menunggu pembeli. Jangankan menawar, batang hidungnya pun sangat jarang terlihat. Ibunya tak tahu kalau anaknya yang berhidung mancung dengan alis lebat itu punya luka di tulang keringnya.

Apalagi, memang meski masih kelas I sekolah dasar, Lia tergolong mandiri. Mulai dari mandi sampai mencuci dia lakukan. Bahkan, pakaian kakaknya yang sulung dan adiknya yang belum sekolah pun terkadang dia yang mencuci. Karenanya, wajar kalau kedua orang tuanya tak begitu memperhatikan jalannya yang sedikit pincang. Karena selama ini ditegarkan ketika melewati ayahnya yang sedang menerima tamu yang mengurusi soal jual beli beras untuk rakyat miskin, saat mau pergi sekolah.

Luka itu memang lumayan besar. Terkadang nanah meleleh. Lalat tampak mengerubungi nanah yang menembus kaos kaki putih yang membungkus luka itu. Kalau saja tidak ditutup kaos kaki yang mengakibatkan lengket dan saat melepas kaos kaki kembali koreng itu menganga, mungkin tidak akan membusuk. Begitupun kalau diberi obat salep atau antibiotik, mungkin hanya seminggu sudah sembuh.

Tetapi, Lia bisa menyimpan luka itu hampir tiga bulan. Dan orang tuanya tak tahu. Kalaupun akhirnya sembuh, itu lebih karena tubuhnya yang kecil masih memiliki antibody dan sekolahnya libur. Hingga ahirnya luka itu mengering karena dia tak perlu lagi mengenakan kaos kaki. Alih-alih, dia mengenakan celana panjang terus biar tidak dilihat orang tuanya. Melhat dia sering mengenakan celana panjang, ibunya tampak senang karena berpikir anaknya sudah besar.

Sayang dia tidak berjualan lagi sehingga tidak bisa membelikan celana panjang baru.

Prestasi belajar Lia sesungguhnya biasa saja. Yang menarik mungkin hanya kepandaiannya membuat topeng. Saat pelajaran keterampilan, dia dinilai sangat bagus oleh gurunya. Karena karya topeng kertasnya lumayan bagus. Dan topeng itu pun dikenakannya.

Dia tampak lebih dewasa menganakan topeng itu. Apalagi, dengan gincu** milik ibunya, gambaran bibir di kertas itu tampak sangat menyala. Merahnya memang sangat merah. Lia tidak tahu kalau gincu itu dikenakan ibunya setahun sekali. Dan olehnya, ketika membuat topeng, gincu yang dibalut plastik warna biru itupun tinggal separo.

Ibunya yang baru pulang berjualan sempat terkejut ketika masuk rumah melihat orang yang mengenakan topeng. Dia mengira anak kecil yang duduk di ruang tamu itu anak tetangganya yang kemarinnya mencuri uang di dompetnya.

Hampir saja dia beraksi. Kalau saja Lia tidak membuka topeng, mungkin cubitan sudah mampir di pinggangnya.

Begitu juga dengan ayahnya, yang sedang sibuk menghitung angka fiktif penyaluran beras untuk rakyat miskin, sempat mengelus dada ketika menoleh ada orang mengenakan topeng.

Dikiranya anak tetangga yang dua hari sebelumnya menangis minta bagian beras yang memang hak mereka. Namun, dijawabnya bahwa beras sudah habis disalurkan. Padahal, sebagian besar dijualnya ke warung langganan.

Tangan kirinya yang memegang rokok kretek yang hampir habis, sempat tersentak dan jatuhlah potongan rokok yang sebenarnya masih sangat nikmat untuk diisap. Tangan kanannya menutupi angka-angka jumlah beras. Kesalnya seperti sudah di ubun-ubun, ingin mengambil puntungan rokok yang masih dua hisapan lagi jelas tak bisa karena kedua tangannya difungsikan untuk pekerjaan lain.

Memastikan itu anaknya, dia pun hanya menggelengkan kepala sembari mengambil puntungan rokok yang masih menyala dan jatuh di sendal jepitnya. Sayang, puntungan rokok itu membakar sendal dan apinya telah padam. Tak bisa dirokok lagi karena lelehan karet melekat kuat di atas bekas bara api di ujung rokok yang ukurannya sudah sangat pendek.

Dia pun menarik topeng yang dikenakan Lia. Karetnya putus. Topengnya robek. "Anak nakal mengagetkan orang tua saja. Nih belikan bapak rokok," ujarnya sedikit geram.

Lia langsung memerah matanya. Entah karena disuruh membei rokok atau topengnya yang dirusak. Yang jelas, dia mengambil uang lalu berlari. Dan taklama kemudian kembali dengan setengah bungkus rokok di tangannya.

Di tangannya masih tersisa robekan topeng. Tampak tanda tangan gurunya dan coretan nilai 9 di topeng itu juga ikut terkoyak. "Yah," gumamnya lemah.

Sampai menamatkan SMA, Lia memang tergolong anak yang penurut. Tak diberi ongkos untuk sekolah, dia berjalan kaki ke sekolahnya yang lumayan jauh. Untung memang teman-temannya banyak juga yang berjalan kaki.

Tubuhnya berkembang bagus. Meski sering berjalan kaki ke sekolah, betisnya tidak besar. Ramping dan tetap mulus. Soalnya, di bawah rok seragamnya, dia rajin menutupinya dengan kaos kaki.

Di kelas tiga, dia mulai mengenal perasaan menyenangi lawan jenis. Beruntung, sang cowok, Gandi ternyata juga memang sering meliriknya. Jadilah mereka pun sering belajar bersama. Kalau ada pekerjaan rumah selalu dikerjakan bersama. Kalau tidak di rumahnya, ya di kosannya Gandi.

Saling senyum, saling lirik dan saling bantu memecahkan sulitnya pekerjaan rumah ataupun tugas dari guru, membuat keduanya tanpa disadari mengenal ciuman. Lalu raba-rabaan. Sampai akhirnya, tak sengaja keduanya pun melakukan hal yang sebenarnya tak boleh dilakukan.Itu semua berlangsung tanpa rencana. Lia pun tak menyesal. Karena dia merasa Gandi selalu meperhatikannya. Hingga pengumuman kelulusan, keduanya masih terlihat berduaan. Sampai akhirnya, Gandi yang merantau dipanggil orang tuanya untuk kembali ke kotanya di Tanjungkarang, Lampung.

Hubungan melalui surat masih berlangsung hingga bulan ketiga keduanya berpisah,. Sampai akhirnya, mulai jarang dan tak ada sama sekali komunikasi.

Lia sendiri tak lagi mempersoalkan Gandi. Apalagi kini dia telah sibuk dengan pekerjaan barunya, di counter hand pone. Gajinya lumayan kecil.

Untuk kebutuhannya sebenarnya tidak cukup. Tapi tepas saja dilakoninya.

Di kesibukannya dia berkenalan dengan seorang pegawai negeri yang cukup royal. Yang selalu memberi uang lebih saat membeli pulsa. Kembali Lia tersentuh dan dia pun tak menampik bantuan dan harapan sang PNS, Imam.

Ternyata gaung bersambut. Seiring mengalirnya bantuan berupa uang maupun hadiah lainnya, rayuan Imam pun semakin maut. Bisa ditebak, keduanya pun berpagutan.

Lia tak serius lagi bekerja, waktunya lebih banyak untukImam. Dia pun akhirnya memilih berhenti bekerja. Setiap hari dia masih pergi kerja. Tetapi kakinya kini mengarah ke rumah yang disewa Imam.

Kedunya ibarat pengantin baru. Lingkungan di rumah susun tempat keduanya menyewa, termasuk tak pedulian.

Sampai akhirnya terjadi ribut besar di rumah sewa mereka. Ketika seorang wanita datang diam-diam dan bersuara lantang beberapa menit kemudian.

Yang mengejutkan para tetangga dan Ketua RT setempat. Baik Lia maupun Imam tak bisa lagi berkata-kata.

Pak RT pun mendamaikan. Mereka tak menyangka kalau keduanya belum menikah. "Saya kira mereka sudah menikah. Abis kayak pengantin baru," ujar Pak RT lemah.

Lia pucat. Apalagi kemudian orang tuanya diminta didatangkan untuk menyelesaikan persoalan itu di kantor polisi. Ternyata tak cukup hanya di tangan Pak RT.

Sebagai istri Imam, ternyata wanita itu tak menerima perbuatan sang suaminya. Dia bahkan telah melapor polisi.

Di hadapan orng tuanya, Lia hanya terdiam di sudut ruangan. Dia tak berani menatap mata ibunya. Apalagi memeluknya untuk mencurahkan perasaan.

Terlebih kepada ayahnya yang ternyata saling kenal dengan Ketua RT. Karena mereka sering ketemu saat demo menuntut tunjangan ketua RT di kantor Walikota.

Ayah dan ibunya diam dalam geram. Tak bisa menerima kenyataan yang ada. "Habis saya, kalau begini. Aku tak bisa menerima," hanya itu yang terdengar dari mulut ayah Lia.

Dia sempat bersitegang dengan istrinya ketika pulang tanpa Lia. Tetapi, sang istri hanya menurut.

"Ayo pakai gincu dan bedakmu. Masak polos begitu. Ada job tu," ujar seorang wanita yang menjabat GM*** di kosan mentereng tak jauh dari kampus perguruan tinggi swasta di Palembang.

Lia pun terkejut. Lamunannya lepas. Kini dia telah siap mengenakan topengnya, ditambah gincu. Apapun yang dialaminya dia harus tersenyum. Suka atau tak suka. Nanti lembaran uang pun akan mengalir ke kantongnya setelah dipotong oleh GM untuk ongkos taksi dan biaya tetek-bengek lainnya.

Topeng itu telah menyatu dengan dirinya. Saat dia berbelanja di mal menghambur-hamburkan uang, orang pun tak menyangka dia mengenakan topeng. Kecuali lelaki yang pernah tidur dengannya. Jelas sekali, kepolosan di tubuhnya sekalipun. Apalagi, ketika memorinya terbayang ke kamar hotel tempat mereka pernah bergumul.

Hanya ketika di kamar sendirian, Lia terkadang menangis. Dia masih berpikir untuk sujud ke kaki orang tuanya. Lalu sujud di sejadah meminta ampun di hadapan Allah SWT. Namun entah kapan. Meskipun dia masih pandai mengaji dan fasih bacaan salat. Serta hapal jalan ke rumahnya.

Palembang, November 2007

Muhamad Nasir

Jalan Maysabara Lorong Pendopo No 127 RT 02 RW 01, Kelurahan 20 Ilir D-II, Sekip, Palembang

Telp (0711) 314139

HP 08197891615 email: nasirsetr@yahoo.com/nasirsetran@plasa.com

*Bekas luka yang membekas di kulit.

**Lipstik

***Istilah di kalangan wanita panggilan untuk menyebut germo.


oke, KPU Sumselmundur, pilgub terancam