Sabtu, 28 Juni 2008

jamu

Senin, 02 Juni 2008

Cerpen

Bertopeng Gincu

Tubuhnya memang lumayan ramping. Putih dengan sedikit bakat*. Itu pun hanya di tulang kering, kenangan masa kecil yang nakal, dan sedikit tomboy.

Saat mandi hujan bersama anak seumuran, terjatuh. Terus berlari dan tak terasa kalau ada pecahan beling menyentuh tulang keringnya. Ketika hujan berhenti, barulah diketahui banyak darah mengucur dri lukanya. Akibat nakal, luka itu terus menganga dan bernanah akhirnya menjadi koreng.

Orang tuanya yang Ketua RT tidak tahu kalau anaknya, Lia atau nama lengkapnya Sri Meliawati terluka saat mandi hujan. Sepengetahuannya, anak nomor duanya itu tidur siang ketika petir dan kilat begitu ramai sebelum hujan turun.

Begitupun ibunya, yang berjualan ikan di pasar pagi Pasar 16 yang kini menganggur karena lokasi berjualannya telah digusur, sementara untuk pindah di Jakabaring, rasanya tak mampu karena sepi pembeli. Yang banyak justru pedagang yang termangu menunggu pembeli. Jangankan menawar, batang hidungnya pun sangat jarang terlihat. Ibunya tak tahu kalau anaknya yang berhidung mancung dengan alis lebat itu punya luka di tulang keringnya.

Apalagi, memang meski masih kelas I sekolah dasar, Lia tergolong mandiri. Mulai dari mandi sampai mencuci dia lakukan. Bahkan, pakaian kakaknya yang sulung dan adiknya yang belum sekolah pun terkadang dia yang mencuci. Karenanya, wajar kalau kedua orang tuanya tak begitu memperhatikan jalannya yang sedikit pincang. Karena selama ini ditegarkan ketika melewati ayahnya yang sedang menerima tamu yang mengurusi soal jual beli beras untuk rakyat miskin, saat mau pergi sekolah.

Luka itu memang lumayan besar. Terkadang nanah meleleh. Lalat tampak mengerubungi nanah yang menembus kaos kaki putih yang membungkus luka itu. Kalau saja tidak ditutup kaos kaki yang mengakibatkan lengket dan saat melepas kaos kaki kembali koreng itu menganga, mungkin tidak akan membusuk. Begitupun kalau diberi obat salep atau antibiotik, mungkin hanya seminggu sudah sembuh.

Tetapi, Lia bisa menyimpan luka itu hampir tiga bulan. Dan orang tuanya tak tahu. Kalaupun akhirnya sembuh, itu lebih karena tubuhnya yang kecil masih memiliki antibody dan sekolahnya libur. Hingga ahirnya luka itu mengering karena dia tak perlu lagi mengenakan kaos kaki. Alih-alih, dia mengenakan celana panjang terus biar tidak dilihat orang tuanya. Melhat dia sering mengenakan celana panjang, ibunya tampak senang karena berpikir anaknya sudah besar.

Sayang dia tidak berjualan lagi sehingga tidak bisa membelikan celana panjang baru.

Prestasi belajar Lia sesungguhnya biasa saja. Yang menarik mungkin hanya kepandaiannya membuat topeng. Saat pelajaran keterampilan, dia dinilai sangat bagus oleh gurunya. Karena karya topeng kertasnya lumayan bagus. Dan topeng itu pun dikenakannya.

Dia tampak lebih dewasa menganakan topeng itu. Apalagi, dengan gincu** milik ibunya, gambaran bibir di kertas itu tampak sangat menyala. Merahnya memang sangat merah. Lia tidak tahu kalau gincu itu dikenakan ibunya setahun sekali. Dan olehnya, ketika membuat topeng, gincu yang dibalut plastik warna biru itupun tinggal separo.

Ibunya yang baru pulang berjualan sempat terkejut ketika masuk rumah melihat orang yang mengenakan topeng. Dia mengira anak kecil yang duduk di ruang tamu itu anak tetangganya yang kemarinnya mencuri uang di dompetnya.

Hampir saja dia beraksi. Kalau saja Lia tidak membuka topeng, mungkin cubitan sudah mampir di pinggangnya.

Begitu juga dengan ayahnya, yang sedang sibuk menghitung angka fiktif penyaluran beras untuk rakyat miskin, sempat mengelus dada ketika menoleh ada orang mengenakan topeng.

Dikiranya anak tetangga yang dua hari sebelumnya menangis minta bagian beras yang memang hak mereka. Namun, dijawabnya bahwa beras sudah habis disalurkan. Padahal, sebagian besar dijualnya ke warung langganan.

Tangan kirinya yang memegang rokok kretek yang hampir habis, sempat tersentak dan jatuhlah potongan rokok yang sebenarnya masih sangat nikmat untuk diisap. Tangan kanannya menutupi angka-angka jumlah beras. Kesalnya seperti sudah di ubun-ubun, ingin mengambil puntungan rokok yang masih dua hisapan lagi jelas tak bisa karena kedua tangannya difungsikan untuk pekerjaan lain.

Memastikan itu anaknya, dia pun hanya menggelengkan kepala sembari mengambil puntungan rokok yang masih menyala dan jatuh di sendal jepitnya. Sayang, puntungan rokok itu membakar sendal dan apinya telah padam. Tak bisa dirokok lagi karena lelehan karet melekat kuat di atas bekas bara api di ujung rokok yang ukurannya sudah sangat pendek.

Dia pun menarik topeng yang dikenakan Lia. Karetnya putus. Topengnya robek. "Anak nakal mengagetkan orang tua saja. Nih belikan bapak rokok," ujarnya sedikit geram.

Lia langsung memerah matanya. Entah karena disuruh membei rokok atau topengnya yang dirusak. Yang jelas, dia mengambil uang lalu berlari. Dan taklama kemudian kembali dengan setengah bungkus rokok di tangannya.

Di tangannya masih tersisa robekan topeng. Tampak tanda tangan gurunya dan coretan nilai 9 di topeng itu juga ikut terkoyak. "Yah," gumamnya lemah.

Sampai menamatkan SMA, Lia memang tergolong anak yang penurut. Tak diberi ongkos untuk sekolah, dia berjalan kaki ke sekolahnya yang lumayan jauh. Untung memang teman-temannya banyak juga yang berjalan kaki.

Tubuhnya berkembang bagus. Meski sering berjalan kaki ke sekolah, betisnya tidak besar. Ramping dan tetap mulus. Soalnya, di bawah rok seragamnya, dia rajin menutupinya dengan kaos kaki.

Di kelas tiga, dia mulai mengenal perasaan menyenangi lawan jenis. Beruntung, sang cowok, Gandi ternyata juga memang sering meliriknya. Jadilah mereka pun sering belajar bersama. Kalau ada pekerjaan rumah selalu dikerjakan bersama. Kalau tidak di rumahnya, ya di kosannya Gandi.

Saling senyum, saling lirik dan saling bantu memecahkan sulitnya pekerjaan rumah ataupun tugas dari guru, membuat keduanya tanpa disadari mengenal ciuman. Lalu raba-rabaan. Sampai akhirnya, tak sengaja keduanya pun melakukan hal yang sebenarnya tak boleh dilakukan.Itu semua berlangsung tanpa rencana. Lia pun tak menyesal. Karena dia merasa Gandi selalu meperhatikannya. Hingga pengumuman kelulusan, keduanya masih terlihat berduaan. Sampai akhirnya, Gandi yang merantau dipanggil orang tuanya untuk kembali ke kotanya di Tanjungkarang, Lampung.

Hubungan melalui surat masih berlangsung hingga bulan ketiga keduanya berpisah,. Sampai akhirnya, mulai jarang dan tak ada sama sekali komunikasi.

Lia sendiri tak lagi mempersoalkan Gandi. Apalagi kini dia telah sibuk dengan pekerjaan barunya, di counter hand pone. Gajinya lumayan kecil.

Untuk kebutuhannya sebenarnya tidak cukup. Tapi tepas saja dilakoninya.

Di kesibukannya dia berkenalan dengan seorang pegawai negeri yang cukup royal. Yang selalu memberi uang lebih saat membeli pulsa. Kembali Lia tersentuh dan dia pun tak menampik bantuan dan harapan sang PNS, Imam.

Ternyata gaung bersambut. Seiring mengalirnya bantuan berupa uang maupun hadiah lainnya, rayuan Imam pun semakin maut. Bisa ditebak, keduanya pun berpagutan.

Lia tak serius lagi bekerja, waktunya lebih banyak untukImam. Dia pun akhirnya memilih berhenti bekerja. Setiap hari dia masih pergi kerja. Tetapi kakinya kini mengarah ke rumah yang disewa Imam.

Kedunya ibarat pengantin baru. Lingkungan di rumah susun tempat keduanya menyewa, termasuk tak pedulian.

Sampai akhirnya terjadi ribut besar di rumah sewa mereka. Ketika seorang wanita datang diam-diam dan bersuara lantang beberapa menit kemudian.

Yang mengejutkan para tetangga dan Ketua RT setempat. Baik Lia maupun Imam tak bisa lagi berkata-kata.

Pak RT pun mendamaikan. Mereka tak menyangka kalau keduanya belum menikah. "Saya kira mereka sudah menikah. Abis kayak pengantin baru," ujar Pak RT lemah.

Lia pucat. Apalagi kemudian orang tuanya diminta didatangkan untuk menyelesaikan persoalan itu di kantor polisi. Ternyata tak cukup hanya di tangan Pak RT.

Sebagai istri Imam, ternyata wanita itu tak menerima perbuatan sang suaminya. Dia bahkan telah melapor polisi.

Di hadapan orng tuanya, Lia hanya terdiam di sudut ruangan. Dia tak berani menatap mata ibunya. Apalagi memeluknya untuk mencurahkan perasaan.

Terlebih kepada ayahnya yang ternyata saling kenal dengan Ketua RT. Karena mereka sering ketemu saat demo menuntut tunjangan ketua RT di kantor Walikota.

Ayah dan ibunya diam dalam geram. Tak bisa menerima kenyataan yang ada. "Habis saya, kalau begini. Aku tak bisa menerima," hanya itu yang terdengar dari mulut ayah Lia.

Dia sempat bersitegang dengan istrinya ketika pulang tanpa Lia. Tetapi, sang istri hanya menurut.

"Ayo pakai gincu dan bedakmu. Masak polos begitu. Ada job tu," ujar seorang wanita yang menjabat GM*** di kosan mentereng tak jauh dari kampus perguruan tinggi swasta di Palembang.

Lia pun terkejut. Lamunannya lepas. Kini dia telah siap mengenakan topengnya, ditambah gincu. Apapun yang dialaminya dia harus tersenyum. Suka atau tak suka. Nanti lembaran uang pun akan mengalir ke kantongnya setelah dipotong oleh GM untuk ongkos taksi dan biaya tetek-bengek lainnya.

Topeng itu telah menyatu dengan dirinya. Saat dia berbelanja di mal menghambur-hamburkan uang, orang pun tak menyangka dia mengenakan topeng. Kecuali lelaki yang pernah tidur dengannya. Jelas sekali, kepolosan di tubuhnya sekalipun. Apalagi, ketika memorinya terbayang ke kamar hotel tempat mereka pernah bergumul.

Hanya ketika di kamar sendirian, Lia terkadang menangis. Dia masih berpikir untuk sujud ke kaki orang tuanya. Lalu sujud di sejadah meminta ampun di hadapan Allah SWT. Namun entah kapan. Meskipun dia masih pandai mengaji dan fasih bacaan salat. Serta hapal jalan ke rumahnya.

Palembang, November 2007

Muhamad Nasir

Jalan Maysabara Lorong Pendopo No 127 RT 02 RW 01, Kelurahan 20 Ilir D-II, Sekip, Palembang

Telp (0711) 314139

HP 08197891615 email: nasirsetr@yahoo.com/nasirsetran@plasa.com

*Bekas luka yang membekas di kulit.

**Lipstik

***Istilah di kalangan wanita panggilan untuk menyebut germo.


oke, KPU Sumselmundur, pilgub terancam