Kamis, 07 Mei 2009

serapungan di empat lawang







*Tradisi Serapungan

Meniti Musi dengan Dua Batang Bambu

Palembang: Objek wisata yang bisa dinikmati, tidak saja terdapat dalam agenda resmi. Banyak even tradisional yang belum masuk agenda tujuan wisata namun ternyata memberikan nuansa tersendiri. Unik dan tak ditemukan di tempat lain. Diantaranya, tradisi serapungan di Tebingtinggi, Sumsel.


Sungai Musi bagian ulu, atau dikenal dengan Musi Ulu punya even tradisi yang cukup unik. Setiap tahun, even ini digelar serangkaian peringatan tertentu. Dahulu, setiap tujuh belasan dan kini setiap HUT Kabupaten Empat Lawang, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Lahat sejak dua tahu terakhir. Tradisi ini, berupa mengarungi arus sungai Musi menumpang dua batang bambu. Disebut serapungan.

Mengasyikkan, karena kita bisa sekaligus mengikuti peserta lomba serapungan ini. Bisa peserta serapungan kecepatan atau serapungan santai.





Serapungan kecepatan, masing-masing peserta beradu cepat sampai garis finish. Sementara serapungan santai, peserta mengarungi arus Musi dengan bambu yang dihiasi berbagai bentuk.

Jarak tempuh serapungan ini, sejauh sekitar 9 km dar Desa Terusan dengan finish di kota Tebingtinggi, Empat Lawang. Untuk serapungan kecepatan, biasanya ditempu dalam waktu 1 jam. Sementara serapungan santai, bisa 2 sampai 2,5 jam.

Transportasi
Serapungan ini, dahulunya, menurut Bupati Empat Lawang, Budi Antoni Aljufri, merupakan alat transportasi warga masyarakat menyeberangi sungai Musi menuju ladang dan kebun.

Waktu itu memang belum ada jembatan gantung di atas sungai. Setelah masyarakat, baik secara bersama-sama maupun dibiayai pemerintah, membangun jembatan gantung, tradisi ini mulai ditinggalkan. Meski demikian, sesekali atau satu dua warga, masih ada yang menyebarangi sungai menggunakan serapungan ini. Saat menyeberang, pakaian diletakkan di atas kepala.

Lalu, dengan menggunakan kedua tangan, warga mendayung dari atas kedua bambu sehingga serapungan bergerak maju. Menyeberangi sungai Musi yang lebarnya berkisar 100 hingga 125 meter.




Perlombangan serapungan dimaksudkan untuk melestraikan tradisi lama ini. Sehingga generasi muda dapat mengetahui betapa sulitnya pendahulu mereka dahulu mengangkut hasil ladangnya.


”Diharapkan nantinya, tradisi serapungan ini masuk agenda wisata Sumsel. Bahkan, bisa masuk agenda wisata nasional,” harap Budi Antoni usai melepas peserta serapungan.

Serapungan ini berupa bambu dengan panjang bervariasi 2,5 meter hingga tiga meter dengan lima ruas. Dua bambu ini diikat dengan rotan. Dikeringkan dan dikupas lapisan luar bambu tersebut. Semakin kering dan enteng biasanya semakin ringan serta cepat. Menariknya, bambu ini kemudian dicat berbagai warna. Meskipun, ada juga yang dibiarkan seperti apa adanya.

Pekan lalu, serapungan kembali digelar di Tebing Tinggi, Empat Lawang. Sedikitnya 83 peserta mengikuti serapungan kecepatan dan ribuan lainnya meramaikan serapungan santai.




Peserta serapungan cepat terdiri dari anak-anak hingga orang tua. Sementara serapungan santai, selain menggunakan serapungan hias juga banyak yang hanya menggunakan ban dalam mobil yang dipompa.

Fandra (19), merupakan warga Desa Terusan yang sejak tiga tahun terakhir menjadi juara serapungan. Dan tahun ini, dia pun kembali menjadi juara.

Ingin merasakan bagaimana rasanya wisata air, mungkin even ini bisa dijadikan tujuan wisata yang bisa dinikmati.

Hanya saja, untuk mencapai lokasi ini dari kota Palembang, cukup jauh. Jarak Palembang ke Tebing tinggi ditempuh dalam waktu 7 jam menggunakan mobil ataupun kereta api.





Kereta api, tersedia dua jadwal, siang dan malam. Kalau memilih kelas ekonomi bisa berangkat siang hari dari Stasiun Kertapati, Palembang tujuan Lubuklinggau. Atau jika memilih kelas bisnis dan eksekutif berangkat malam hari. Jika berangkat dari Kertapati pukul 21.00 WIB, tiba di Stasiun Tebing tinggi sekitar pukul 04.00 WIB.

Sementara kalau memilih menggunakan mobil bisa menumpang bus ataupun travel. Ongkosnya berbeda sesuai dengan kelasnya. Jadi untuk menikmati air terjun ini, dari Palembang membutuhkan waktu 3 hari termasuk perjalanan Tebingtinggi-Palembang.

Masalah lainnya, penginapan di kota Tebing tinggi masih terbatas. Itupun, hanya penginapan kelas melati dengan fasilitas terbatas. (sh/muhamad nasir)

Wayang Palembang Nasibmu










Wayang Palembang, Tenggelam di Tepi Musi

Merangseknya budaya-budaya luar membuat generasi penerus tak mengenali dan tak menyukai budaya leluhur. Termasuk diantaranya, wayang Palembang yang kini telah semakin terpinggir dan mulai punah.
Wayang kulit Palembang memang tidak begitu dikenal dibanding wayang purwo asli Jawa. Walau sesungguhnya pernah tersohor di zamannya. Sayangnya, hingga kini peninggalan leluhur Palembang ini mulai punah ditelan zaman.
Di era 70 an dunia perwayangan Kota Palembang masih kerap menggelar kegiatan pentas di tengah masyarakat Palembang, seperti resepsi perkawinan serta khitanan. Namun kebiasaan masyarakat asli Palembang tidak menular ke generasi saat ini yang lebih mengenal kebudayaan luar.
Saat ini Wayang Purwa dari Jawa masih terus digandrungi dan digemari masyarakat Jawa. Bahkan bukan saja pada even tertentu saja, tetapi pementasan wayang purwa kerap diadakan oleh masyarakat Jawa khususnya yang tinggal di perkampungan. Seperti hiburan masyarakat, antara lain untuk acara khitanan dan resepsi perkawinan, bahkan perayaan syukuran kepala desa, maupun setelah selesai panen padi, masyarakat kerap menanggap wayang purwa ini.
Berbeda dengan wayang Palembang, agaknya era wayang Palembang sudah tenggelam. Tergeser oleh dominasi seni pop modern yang dinilai lebih menghibur. Berbagai hajatan rakyat, yang puluhan tahun lalu menjadi ruang pagelaran wayang Palembang, kini telah disergap pertunjukan organ tunggal yang marak di mana-mana.
Ironisnya, sebagian besar anak-anak di Palembang tidak begitu mengenal peninggalan leluhurnya ini. Tak sengaja, Jumat kemarin Sinar Harapan pernah bertanya kepada sejumlah siswa SLTP di Palembang. Sebagian besar mereka tidak mengetahui sama sekali bahwa Palembang memiliki wayang.
“Kita punya wayang asli kebudayaan Palembang ya, kak, dalangnya juga ada disini?saya kira Wayang berasal dari Jawa,” kata Heru, salah satu siswa SLTP Negeri di Palembang.
Karakter Khas
Johan Hanafiah budayawan Palembang menambahkan wayang Palembang sebenarnya kebudayaan yang memiliki karakter khas dibanding dengan wayang kulit purwa asal Jawa.
Namun sayang, lanjut dia wayang Palembang sudah kehilangan generasi penerus karena dalang terakhir wayang Palembang dengan menggunakan dialog bahasa Melayu Palembang itu, Ki Agus Rusdi Rasyid, telah meninggal pada Februari 2004. Saat ini, praktis tidak ada generasi penerus yang menguasai wayang tersebut.
Setelah era Alm Ki Agus Rusdi Rasyid usai, tambahnya seni tradisional, terutama wayang Palembang semakin ditinggalkan masyarakat, karena dinilai monoton dan tidak memiliki daya jual yang menarik.
Dia memaparkan Wayang Palembang, yang diperkirakan tumbuh sejak pertengahan abad ke-19 Masehi, saat Arya Damar yang terpengaruh budaya Jawa berkuasa di daerah Palembang. Wayang itu kemudian terus tumbuh dengan karakter lokal sehingga menjadi khas Palembang.
Wayang Palembang memiliki bentuk fisik dan sumber cerita yang sama dengan wayang purwa dari Jawa.
Bedanya, wayang Palembang dimainkan dengan menggunakan bahasa Melayu Palembang, dan perilaku tokoh-tokohnya lebih bebas. Sementara wayang purwa menggunakan bahasa Jawa dan perwatakan tokohnya ketat dengan pakem-pakem klasik.
Dia menilai merupakan kehilangan besar bagi masyarakat Sumsel, sehingga semua masyarakat Sumsel seharusnya bertanggung jawab untuk kembali menggali dan melestarikannya. (sh/muhamad nasir)

Tersimpan Rapi






Di rumah panggung kayu yang tersembunyi di Lorong Pasar, Pasar Tangga Buntung yang sesak tepatnya di Kelurahan 36 Ilir Palembang, dapat dijumpai peninggalan aset wayang Palembang.
Meski wayang tersebut sudah kusam, kotor dan rusak, sebagai warisan luluhur dan bukti sejarah wayang tersebut tetap tersimpan rapih di dalam peti khusus di kediaman Alm Ki Agus Rusdi Rasyid.
Dalang Muda Wirawan Rusdi, putra pertama Alm Rusdi, penerus dunia perwayangan Palembang bercerita banyak saat dijumpai di kediamannya.
Pedalang muda dari Sanggar Sri Wayang Palembang, Wirawan Rusdi anak dari pedalang senior asli Palembang, Ki Agus Rusdi Rasyid (alm) mengakui, kesenian tradisional wayang kulit Palembang, Sumatra Selatan, saat ini sudah mulai punah akibat tidak ada lagi generasi baru yang meneruskannya.
Selain itu, menurutnya, pedalang tua yang menguasai wayang dengan dialog berbahasa khas Melayu Palembang itu sudah tiada lagi.Sementara pemerintah dan lembaga kebudayaan tidak memiliki agenda konkret untuk melestarikan kekayaan tradisi itu.
Wirawan menjelaskan agar kebudayaan tersebut tidak punah, kepedulian Tim Peneliti dari UNESCO- sebuah badan dunia untuk urusan pendidikan dan kebudayaan ikut terlibat saat itu.
“Mereka mengutus Karen Smith wanita asal Australia menetap di Amerika dan Yushi Simishu pria asal Jepang yang menetap di Paris, markasnya UNESCO untuk berkunjung ke Sanggar kami yang terletak di Jalan PSI Lautan Rt.10,16 Ceklatah, 36 Ilir Palembang,” paparnya.
Hingga kini, sambungnya Sanggar Sri Wayang menjadi binaan UNESCO satu-satunya di Palembang, sebab wayang merupakan kekayaan seni tradisi lokal yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada tahun 2004.
Dia mengungkapkan, saat itu Tim UNESCO mengunjung Sanggar Sri Wayang tidak sendirian. Melainkan dibarengi pimpinan Yayasan Senawangi Jakarta, Sumari, Ketua Persatuan Pendalangan Indonesia (Pepadi) Pusat, Eko Cipto, Ketua Pepadi Sumsel, H.R Amin Prabowo,
Menurutnya, rasa tertarik untuk mendalami dunia wayang hanya karena tanggung jawab terhadap aset budaya yang saat ini dinilai hampir punah, sebab tidak ada lagi generasi penerus untuk dalang di Palembang ini. Apalagi bukan dari keluarga besar Ki Rusdi Rasyid (kakeknya).
“Saya tidak pernah berpikir untuk menjadi dalang meski pada saat kecil dulu kerap dikenalkan wayang oleh ayah,”ungkapnya.
Namun, karena sadar untuk meneruskan asli budaya wayang Palembang dari keluarga setidaknya dia sebagai anak tertua ikut menerusnya tradisi dalang ini.
Dia menerangkan terobsesi menjadi dalang setelah ayahnya meninggal, ketika itu sekitar 2005 dikunjungi oleh utusan UNESCO. Saat itu Sanggar Sri Wayang warisan orang tuanya tersebut sempat vakum.
Karena diberi bantuan wayang dan seperangkat gamelan tersebut, akhirnya sempat berpikir untuk menjadi dalang.
“Saya tidak ingin bantuan itu hanya untuk pajangan. Dengan rasa tanggung jawab itu akhirnya saya mulai belajar mendalami dunia dalang,”paparnya.
“Hampir semua peralatan wayang peninggalan ayah sudah rusak, hilang, atau entah ke mana. Kebanyakan peninggalan ikut ludes saat kebakaran rumah sekitar 2004dan sebagian lagi terendam banjir tahunan atau keropos dimakan usia, sehingga saat itu sempat hampir terlupakan, tetapi dari bantuan itu membuat motivasi bangkit lagi,”ujarnya.
Dia menerangkan meski wayang Palembang tidak begitu terkenal dan tersohor dibanding wayang Jawa, sebagai penerus dalang dari keluarga, dia sangat bangga. Sebab ayahnya pernah di undang dipertunjukan wayang tradisional di Taman Ismail Marzuki Jakarta, awal tahun 1990-an.
Dia mengakui di eranya jarang dipanggil untuk pentas. Kalaupun tampil hanya pada even tertentu. Untuk secara komersil, seperti hajatan perkawinan dan sunatan tidak pernah sama sekali, karena kesenian ini jauh ngetopnya dibanding kesenian modern.
Namun berkat niat, lanjutnya, dia pernah ikut diundang untuk mentas di Jogyakarta dalam acara The Indonesia Puppets Exhibitions.
Dinilainya, saat ini wayang Palembang tenggelam, apalagi banyak masyarakat tidak mengetahui dan senang dengan kebudayaan asli. Apalagi sebagian masyarakat Palembang yang mengerti kesenian mengganggap menyewa wayang untuk pertunjukan lebih mahal dari organ tunggal.
Padahal, sambung Wirawan, dia tidak pernah mematok tarif khusus. Paling tidak kalau memang dikomersilkan hanya Rp5 juta- Rp6 juta.
Dia menjelaskan wayang Palembang berbeda, karena mentas hanya 1-3 jam, sementara wayang Jawa bisa semalam suntuk. Sehingga tarifnya pun lebih murah dibanding wayang Jawa yang bisa mencapai belasan juta sekali mentas.
Wirawan berharap kepada pemerintah daerah dapat mengenalkan wayang Palembang di setiap sekolah, meski hanya dalam kegiatan ekstra kulikuler dan hanya dilakukan hanya satu tahun sekali.
Selain itu dia bercita-cita Wayang Palembang asli kesenian Palembang ini dapat dikenal di Tanah Air bahkan keseluruh negara.
Kini hanya dia yang menjadi dalang asli Palembang. Almarhum Ki Agus Rusdi Rasyid, merupakan salah satu dalang terakhir yang menguasai permainan wayang Palembang. Sementara ayahnya baru meninggal setahun lalu. Adapun dalang-dalang lain, seperti Syekh Hanan dan Ki Agus Umar, sudah meninggal beberapa tahun silam. Sebenarnya masih ada dalang yang tersisa, Sukri Ahkab, yang pernah menjadi Kepala Stasiun RRI Palembang. Sukri pun sudah pindah dari Palembang beberapa tahun lalu. (sh/muhamad nasir)



http://www.sinarharapan.co.id/berita/0905/02/hib02.html

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0905/01/hib03.html

Rabu, 11 Maret 2009

Wisata Sungai di Empat Lawang












Wisata Sungai di Empat Lawang

Arung Jeram di Musi Ulu


Tebingtinggi: Aliran Sungai Musi Ulu memberikan peluang untuk dinikmati dengan menumpang perahu karet dengan olahraga arum jeram.

Jalur sepanjang 29 km dari Desa Tanjungraya hingga ke Tebingtinggi, ibukota Kabupaten Empat Lawang memang memiliki beberapa titik berupa arus deras yang bisa meningkatkan andrenalin. Karena, selain arus yang deras dan bergelombang ditambah pusaran yang membuat perahu terombang-ambing, juga bebatuan besar dan keras membuat penumpang perahu harus hati-hati.

Kalau tidak, perahu bisa terbalik dan terbentur batu. Kalau lagi apes, bukan tidak mungkin kepala terbentur. Tanpa helm, tentu akan berbahaya.








Jalur ini memang kalau dinilai, memiliki tingkat kesulitan tingkat tiga. Dengan debit air yang cukup deras serta tingkat kesulitan dan berbahaya yang lumayan tinggi.

Di beberapa titik, lekukan akibat adanya batu-batu besar membuat perahu karet terombang-ambing dan kalau tak pandai-pandai mengendalikan bisa terbalik.

Dalam ekspedisi Musi Ulu yang juga melintasi jalur ini pekan lalu, dari lima perahu karet yang membawa tim ekspedisi hanya satu perahu yang tidak terbalik.

Perahu karet yang membawa Bupati Tebingtinggi Budi Antoni Aljufri, bahkan sempat terbalik. Sang bupati yang menumpang perahu karet bersama lima orang lainnya sempat terpental.








Kalau saja bernasib buruk, sang Bupati bisa terbentur batu. Begitu juga perahu karet lainnya, yang ditumpangi para wartawan sempat dua kali terbalik. Penumpang pun berhamburan. Iwan Wartawan Sumatera Ekspres, Mabius dari Palembang Pos, dan yang lainnya pun terlempar ke sungai. Helm dan pelampung membuat ekspedisi arung jeram ini tak memakan korban.

Padahal, kekhawatiran sempaat merebak ketika tim ekspedisi dilepas dari Desa Tanjungraya, Lintang Kanan, Kabuputen Empat Lawang.

Sepanjang jalur itu, sedikitnya terdapat 13 arung jeram yang cukup deras. Mengarah ke batu dan membuat perahu jumping.

Agaknya, memang ekspedisi ini yang digagas Tavern Artwork bersama Pemerintah Empat Lawang memberikan inspirasi bagi terselanggaranya wisata sungai di Musi Ulu. Apalagi, jalur ini memang memberikan prospek yang baik.

Kendala bagi daerah ini, belum adanya Badan atau Dinas tersendiri yang mengurus soal pariwisata. ”Kedepan, kami akan pertimbangkan untuk membentuk Dinas Pariwisata,”: ujar Bupati.

Pemandangan sepanjang aliran sungai juga memberikan nuansa tersendiri. Selain bebukitan, juga tebing-tebing terjal bisa dijadikan objek panjat tebing. Belum lagi beberapa muara anak sungai dengan bebatuan menghitam dan ukuran yang cukup besar memberikan pandangan indah tersendiri.






Suasana angker yang selama ini dipercaya masyarakat cukup memberikan kesan dan tantangan sendiri.Paling tidak, percaya ataupun tidak percaya memang untuk menikmati arung jeram di jalur ini harus dimulai dengan ritual berdoa dan tidak boleh sombong dan angkuh.









Banyaknya pantangan dan peringatan-peringatan yang berbau misteri memang tetap harus dipegang dan dipercaya. Apalagi, dengan arusnya yang tenang di beberapa titik sehingga membuat peserta arus jeram harus menguras energi mendayung perahu memang membuat energi tersedot dan terkuras. Jarak 29km yang kalau menggunakan mobil bisa ditempuh hanya 2 jam, dengan perahu karet memakan waktu 6 jam.

Jika di sepanjang aliran sungai, terutama di beberapa titik lebih ditata tentu bisa memberikan nuansa tersendiri. Batu-batu raksasa dan dinding sungai yang bergua, bisa memberikan ciri khas tersendiri.

Berminat menikmati arung jeram di bagian ulu Sungai Musi, bisa menempuh perjalanan sekitar 8 jam dari Palembang menuju Tebingtinggi. (sh/muhamad nasir)

Selasa, 10 Maret 2009

Wisata air terjun di Empat Lawang



Air terjun tujuh panggung di Desa Tanjungalam, Lintang Kanan, Kabupaten Empat Lawang.






Objek Wisata di Empat Lawang

Air Terjun Tujuh Panggung, Objek Wisata Menantang


Tujuan wisata di wilayah Sumsel ternyata tidak hanya berupa objek yang sudah dikenal dan diketahui umum. Tetapi ada juga berupa objek yang masih belum digarap dan masih ‘perawan’ berada di lokasi yang tersembunyi. Salah satunya, air terjun tujuh panggung di Desa Tanjungalam, Lintang Kanan, Kabupaten Empat Lawang.


Sebagai daerah pemekaran dari Kabupaten Lahat, Kabupaten Empat Lawang memang memiliki tidak sedikit objek wisata yang selain memberikan keindahan juga sedikit tantangan.

Di lokasi di atas Deretan Bukit Barisan yang terletak di atas 1.200 meter diatas permukaan laut (DPL), lokasi air terjun tujuh panggung memang memberikan nuansa segar alam pegunungan. Alam yang masih belum tersentuh ini terletak di antara kebun-kebun warga dan hutan yang masih ‘perawan’.


alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5311765215237159378" />


Air terjun di panggung ketiga cukup sulit didaki. Namun, warga sekitar sudah sering menikmatinya.






Untuk mencapainya, harus rela berjalan kaki selama sekitar 3 jam dari desa terdekat, Desa Tanjungalam. Kalau mau naik ojek, sebenarnya ada, tetapi hanya separoh jalan. Selebihnya tetap harus berjalan kaki meniti jalan setpak di lereng bukit yang terjal dan licin berlumut.

Sinar Harapan yang mengikuti ekspedisi Musi Ulu pekan lalu mendapati ternyata akses ke air terjun di panggung (tingkat ke tujuh) ternyata belum tersedia akses. Bersama warga desa, tim ekspedisi ini membuka akses jalan.

Kepala Desa Tanjungalam, Jon Kenedi mengakui selama ini keindahan air terjun ini haya dinikmati warga desanya. Itupun terbatas yang punya kebun di sekitarnya.

Karena memang, akses jalan masih berupa jalan setapak yang harus melewati bukit terjal dan hutan rimbun. Itupun baru sampai ke panggung ke dua. Selanjutnya masih berupa jalan melintasi semak belukar.



Disinilah panggung pertama. Air yang jernih dan gemericik air mengundang pengunjung untuk berendam. wah, brrrrr dingin ya...




Air terjun di panggung pertama terdiri dari enam deretan air mancur yang masing-masing setinggi sekitar 2 meter dan dibawahnya ada lubuk sedalam sekitar 3-4 meter dengan luas sekitar 4 x5 meter. Air yang jernih dan dingin membuat keinginan berendam tak tertahankan.

Sementara di panggung kedua hingga ketujuh juga memberikan nuansa yang berbeda. Karena ketinggian masing-masing air terjun memang berbeda. Berkisar antara 5 hingga meter 14 meter. Di panggung ketujuh, malahan terdapat dua sumber air yang mengucur ke lubuk di bawahnya. Hanya saja di panggung ini, sepertinya memberikan kesan angker karena ada pusaran air yang cukup kuat.

Di atasnya lagi, sesungguhnya masih ada dua panggung air terjun. Namun, belum ada satupun orang yang berani menapakinya, karena memang jalan menuju ke sana cukup terjal. Tebing bebauannya mencapai 45 derajat. Selain curam, juga berlumut sehingga sulit didaki.

Nuansa alami yang liar ini memang cukup memberikan kesan tersendiri bagi mereka yang punya minat menikmati wisata alam. Hanya saja, untuk mencapai lokasi ini dari kota Palembang, cukup jauh. Jarak Palembang ke Tebing tinggi ditempu dalam waktu 7 jam menggunakan mobil ataupun kereta api.

Saat ekspedisi, suasana lebih meriah karena diramaikan oleh para pemburu babi. Ketua Persatuan Olahraga Berburu Babi (Porbi) Sumsel Hamlian membawa serta sedikitnya seratus pemburu lengkap dengan anjing. Hasilnya, 14 ekor babi hutan berhasil ditangkap dalam sehari dari kawasan perkebunan dan ladang masyarakat setempat.



Rombongan pemburu babi dari Pagaralam meramaikan ekspedisi Musi Ulu ke Air terjun Tujuh Panggung.





Kereta api, tersedia dua jadwal, siang dan malam. Kalau memilih kelas ekonomi bisa berangkat siang hari dari Stasiun Kertapati, Palembang tujuan Lubuklinggau. Atau jika memilih kelas bisnis dan eksekutif berangkat malam hari. Jika berangkat dari Kertapati pukul 21.00 WIB, tiba di Stasiun Tebing tinggi sekitar pukul 04.00 WIB.

Sementara kalau memilih menggunakan mobil bisa menumpang bus ataupun travel. Ongkosnya berbeda sesuai dengan kelasnya. Dari Tebingtinggi menuju lokasi desa terdekat bisa ditempuh dalam waktu sekitar 2,5 jam. Kendaraan angkot bisa disewa untuk mencapai kawasan ini. Jadi untuk menikmati air terjun ini, dari Palembang membutuhkan waktu 3 hari termasuk perjalanan Tebingtinggi-Palembang.



Akses menuju lokasi aor terjun hanya berupa jalan setapak. Bahkan, jalan ini baru dibuat oleh warga. Kalau tidak hati-hati, bisa berbahaya. Jurang yang curam dan berbatu menanti, merupakan tantangan tersendiri.






Kelelahan menempuh perjalanan dari Desa Tanjungalam ke lokais air terjun rasanya terbayar ketika sudah menikmati kesegerdan sawah alam di air terjun. Sepanjang jalan desa dan jalan setapak, ladang, sawah serta gemericik air sungai menemani dan menambah nikmat perjalanan wisata.

Usai menikmati air terjun, dua sumber air panas yang berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan kaki juga bisa melengkapi perjalanan wisata alam ini.

Kendala minimnya akses menuju lokasi wisata ini diakui Bupati Empat Lawang, Budi Antoni Aljufri. ”Memang kami akan kembangkan konsep wisata alam yang komplit. Termasuk akan menyediakan akses jalan yang memadai menuju lokasi dari desa terdekat,” ujarnya usai melepas ekspedisi Musi Ulu. Ekspedisi ini selain menembus lokasi air terjun Tujuh Panggung, juga menjajal arung jeram di Sungai Musi Ulu.






Rombongan ekspedisi Musi Ulu dilepas Bupati Empat Lawang, Budi Antoni Aljufri di Pendopoan.






Target awal, bukanlah wisatawan mancanegara. Tetapi wisatawan lokal yang berasal dari Sumsel dan Tebingtinggi. Sesaat setelah dibuka akses saja, puluhan anak-anak sekolah sudah bisa menikmati nuansa alami air terjun tujuh panggung di Bukit Barisan ini.
Ketua Pelaksana tim ekspedisi dari Tavern Artwork, Herna mengakui ekspedisi ini dilakukan mencari objek wisata yang nantinya bisa dikembangkan sebagai kawasan wisata pilihan. Mau wisata yang alami dan perawan dan masih liar, mungkin objek ini bisa menjadi pilihan. (sh/muhamad nasir)




Di depan penopoan Bupati pun, pemandangan kota Tebingtinggi dengan latar belakang Bukit Barisan cukup menggoda.

Selasa, 03 Maret 2009

Wisata Danau Ranau


Danau Ranau
Wisata yang Masih Menjadi Misteri


Oleh
Muhamad Nasir

PALEMBANG - Keindahan Danau Ranau tak terbantahkan lagi. Namun, letaknya yang jauh dari pusat kota, Palembang, membuat objek wisata ini ibarat “misteri”.

Keindahannya tersaput kabut. Oleh karena itu, meskipun indah, wisatawan yang berkunjung ke sini masih bisa dihitung dengan jari.
Sama seperti awal terbentuknya danau itu yang dilingkungi misteri. Kendati secara ilmiah terbentuk melalui sebuah proses alam, masyarakat setempat percaya ada misteri yang melatarbelakangi terciptanya danau ini.
Mencapai lokasi ini, selain dari Palembang, juga bisa dijangkau dari Provinsi Lampung. Danau Ranau merupakan danau terbesar dan terindah di Sumatera Selatan yang terletak di Kecamatan Banding Agung, Kabupaten OKU Selatan (dahulu masuk dalam wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu). Berjarak sekitar 342 kilometer (km) dari Kota Palembang, 130 km dari Kota Baturaja, dan 50 km dari Muara Dua, ibu kota OKU Selatan, dengan jarak tempuh dengan mobil sekitar tujuh jam dari Kota Palembang. Sementara itu, dari Bandar Lampung, danau ini bisa ditempuh melalui Bukit Kemuning dan Liwa.
Secara geografis, danau ini terletak di perbatasan Kabupaten OKU Selatan, Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung Danau Ranau yang mempunyai luas sekitar 8×16 km dengan latar belakang Gunung Seminung (ketinggian ± 1.880 meter dpl), dikelilingi oleh bukit dan lembah. Pada malam hari, udara sejuk dan pada siang hari cerah suhu berkisar antara 20°-26° Celsius. Terletak pada posisi 4°51’45” Bujur Selatan dan 103°55’50” Bujur Timur.
Secara teori, danau ini tercipta dari gempa besar dan letusan vulkanik dari gunung berapi yang membuat cekungan besar. Sungai besar yang sebelumnya mengalir di kaki gunung berapi itu kemudian menjadi sumber air utama yang mengisi cekungan itu.
Lama-kelamaan, lubang besar itu penuh dengan air. Kemudian, di sekeliling danau baru itu, mulai ditumbuhi berbagai tanaman, di antaranya tumbuhan semak yang oleh warga setempat disebut ranau. Oleh karena itu, danau itu pun dinamakanl Danau Ranau. Sisa gunung api itu kini menjadi Gunung Seminung yang berdiri kokoh di tepi danau berair jernih tersebut.







Pada sisi lain di kaki Gunung Seminung, terdapat sumber air panas alam yang keluar dari dasar danau. Di sekitar danau ini juga dapat ditemui Air Terjun Subik. Tempat lain yang menarik untuk dikunjungi adalah Pulau Marisa yang terletak tidak jauh dari air panas.
Meskipun secara teori ilmiah diyakini danau ini terjadi akibat gempa tektonik, seperti Danau Toba di Sumatera Utara dan Danau Maninjau di Sumbar, sebagian besar masyarakat sekitar masih percaya danau ini berasal dari pohon ara. Konon, di tengah daerah yang kini menjadi danau itu, tumbuh pohon ara yang sangat besar berwarna hitam.
Masyarakat dari berbagai daerah, seperti Ogan, Krui, Libahhaji, Muaradua, dan Komering berkumpul di sekeliling pohon. Mereka mendapat kabar, jika ingin mendapatkan air, harus menebang pohon ara tersebut.
Persis saat akan menebang pohon, mereka bingung bagaimana cara memotongnya. Ketika itulah, muncul burung di puncak pohon yang mengatakan untuk memotong pohon harus membuat alat mirip kaki manusia. Akhirnya, pohon ara pun tumbang. Dari lubang bekas pohon ara itulah keluar air dan akhirnya meluas hingga membentuk danau. Sementara itu, pohon ara yang melintang membentuk Gunung Seminung.
Kondisi ini membuat jin yang tinggal di Gunung Pesagi meludah hingga membuat air panas di dekat Danau Ranau. Serpihan batu dan tanah akibat tumbangnya pohon ara menjadi bukit yang ada di sekeliling danau.

Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat
Di samping itu, masih di sisi Danau Ranau, tepatnya di Pekon Sukabanjar, berseberangan dengan Lombok, terdapat kuburan yang diyakini masyarakat sebagai makam Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. Makam keduanya terletak di kebun warga Sukabanjar bernama Maimunah. Untuk menuju ke lokasi, selain naik perahu motor dari Lombok, bisa juga dengan berkendaraan.
Menurut juru kunci kuburan, H Haskia, di sini terdapat dua buah batu besar. Satu batu telungkup yang diyakini sebagai makamnya Si Pahit Lidah dan satu batu berdiri sebagai makamnya Si Mata Empat. Si Pahit Lidah yang oleh masyarakat disebut sebagai Serunting Sakti berasal dari Kerajaan Majapahit. Karena nakal, raja mengusir Si Pahit Lidah yang bernama asli Raden Sukma Jati ini ke Sumatera. Si Pahit Lidah pun menetap di Bengkulu, Pagaralam, dan Lampung.








Si Pahit Lidah memiliki kelebihan. Apa pun yang dikemukakannya terkabul menjadi batu. Akibatnya, Si Mata Empat yang berasal dari India mencarinya hingga bertemu di Lampung, tepatnya di Way Mengaku. Di sini keduanya saling mengaku nama. Lalu, keduanya beradu ketangguhan, di antaranya memakan buah yang bentuknya seperti aren. Ternyata buah aren itu pantangan bagi Si Pahit Lidah sehingga akhirnya dia tewas. Si Mata Empat yang mengetahui lawannya tewas tidak percaya dan mencoba menjilat lidahnya agar ilmunya bisa diserap. Akhirnya, dia pun tewas.
Begitulah Danau Ranau. Objek wisata yang sebenarnya menjanjikan. Sayangnya, hingga kini wisatawan masih belum banyak yang menikmatinya. n



Copyright © Sinar Harapan 2008
Dimuat di Harian Sore Sinar Harapan edisi 2 Maret 2009 halaman wisata.

dkutip dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0903/02/wis01.html

Selasa, 24 Februari 2009

Wisata Sungai Musi

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0902/23/wis01.html






Pulau Kemaro, di tengah Sungai Musi (diambil dari http://kotapalembang.blogspot.com/)



Pulau Kemaro
Wisata Pulau di Sungai Musi



Oleh
Muhamad Nasir

PALEMBANG - Pulau itu berada di tengah Sungai Musi, tepatnya lima kilometer sebelah hilir Jembatan Ampera. Meskipun air Sungai Musi sedang pasang, pulau ini tak pernah terendam. Karena itulah, pulau ini dinamakan Pulau Kemaro.

Di pulau seluas kurang lebih 24 hektare ini berdiri kompleks kelenteng Hok Tjing Bio. Di depannya terdapat makam Tan Bun An dan Siti Fatimah yang berdampingan. Kisah cinta mereka berdualah yang menjadi legenda terbentuknya pulau ini.
Konon, hubungan putri Palembang dan putra raja China ini berakhir tragis di tengah Sungai Musi. Sembilan guci berisi emas yang akan diberikan kepada keluarga Siti Fatimah sebagai syarat pernikahan mereka, tanpa sengaja dibuang ke Sungai Musi. Karena menyesal dan berusaha mengambil kembali guci itu, mereka berdua tenggelam.
Di tempat guci itu dibuang dan mereka berdua tenggelam itulah, kemudian tumbuh sebuah dataran yang lalu dinamakan Pulau Kemaro. Di pulau ini jugalah Tan Bun An dan Siti Fatimah dimakamkan.
Kisah yang mengandung pesan kebersamaan antara suku asli Palembang dengan pendatang ini sudah lama terjalin dengan baik dan akrab di telinga warga Palembang, baik yang pribumi maupun keturunan Tionghoa. Seperti Risa Zhang (23), yang sangat fasih menuturkan kisah ini. Setiap tahunnya, warga Palembang bersama keluarga dan teman-temannya mengunjungi Pulau Kemaro untuk merayakan Cap Go Meh.
Acara yang dirayakan pada hari ke-13 setelah Sin Cia ini, selalu membuat pulau itu dipenuhi orang-orang. ”Selain dari Sumsel dan daerah lainnya di Indonesia, ada yang datang dari Singapura, Vietnam, dan Malaysia,” kata Risa.
Semenjak pagi sampai malam, berbondong-bondong orang berdatangan. Ada yang menggunakan tongkang dari Benteng Kuto Besak, Kelenteng Serikat di 16 Ilir, dan ada juga yang lewat darat melewati ponton dari PT Pusri.
Dalam perayaan Cap Go Meh, biasanya diramaikan dengan barongsai, opera China dan band yang melantunkan lagu mandarin. Pertunjukan yang berlangsung sampai jam 03.00 pagi itu biasanya dihadiri ribuan orang, membuat pulau itu juga ramai dengan orang yang menjajakan makanan, minuman, aksesori, sampai mainan anak-anak.
”Tepat tengah malam, kebanyakan pengunjung beribadah dan membakar hio sebagai tanda penutupan perayaan tahun baru,” tutur Risa. Selain untuk peribadatan umat Buddha, kelenteng yang berdiri sejak 1962 itu juga dibuka untuk umum. Pada hari biasa, kelenteng jauh lebih sepi. Selain untuk beribadah, ada juga yang datang hanya untuk wisata.














Berharap Enteng Jodoh
Pulau Kemaro juga kerap didatangi pasangan muda-mudi yang ingin mendapat jodoh. Bukan hanya berharap bertemu pasangan di pulau itu, namun setelah pulang dari pulau itu mereka berharap akan enteng jodoh.
Selain itu, tidak jarang juga orang yang datang ke pulau itu ingin mengetahui rezeki di masa depan. Tepat di depan dua makan yang dikeramatkan itu, seorang pemandu akan membantu kita mengulurkan kedua tangan pada sebatang tongkat panjang. Dari ukuran tangan yang kedua itu, pemandu akan menjelaskan keberuntungan kita yang akan datang.
Rindangnya pohon serta pemandangan sungai yang mengasyikkan menjadikan tempat tersebut layak dikunjungi. Bahkan perjalanan menyusuri Sungai Musi yang memakan waktu kurang dari satu jam dari Bentang Kuto Besar dengan menggunakan ketek, cukup mengasyikkan.


Pagoda di Pulau Kemaro (diambil dari http://kotapalembang.blogspot.com)



Ketika memasuki Pulau Kemaro kita akan disambut pendopo berarsitektur China. Kelenteng Hok Tjing Bio seluas 3,5 hektare itu pun kental dengan nuansa China, warna merah keemasan mendominasi. Dua menara tempat pembakaran uang emas, ruang utama, ruang belakang, dan hio yang dibakar terasa di setiap ruangan.
Di bagian lain, kehidupan masyarakat biasa juga terlihat sangat alami. Meskipun perkampungannya diisi rumah-rumah yang jaraknya berjauhan, memberikan kesan alami yang sesungguhnya. Mereka hidup bertani dan menempati rumah-rumah kayu.
Pulau itu dulu pernah dijadikan tempat pembuangan pasca-Gerakan 30 S. Mereka yang dianggap anggota dan pendukung gerakan ini dibuang ke pulau ini. Di beberapa tempat masih terlihat bekas kamp pembuangan tersebut.




Pulau Kemarau saat Capgomeh (diambil dari http://kotapalembang.blogspot.com)


Pulau Kemaro bisa dijangkau dari Jembatan Ampera. Di dekat jembatan Ampera disiapkan kapal khusus, atau bisa juga menggunakan perahu ketek dengan tarif yang lumayan murah. Atau Anda bisa memilih speedboat. Rute yang dilayani biasanya selain ke Pulau Kemaro juga ke lokasi wisata yang lain. n



Copyright © Sinar Harapan 2008