Kamis, 07 Mei 2009

serapungan di empat lawang







*Tradisi Serapungan

Meniti Musi dengan Dua Batang Bambu

Palembang: Objek wisata yang bisa dinikmati, tidak saja terdapat dalam agenda resmi. Banyak even tradisional yang belum masuk agenda tujuan wisata namun ternyata memberikan nuansa tersendiri. Unik dan tak ditemukan di tempat lain. Diantaranya, tradisi serapungan di Tebingtinggi, Sumsel.


Sungai Musi bagian ulu, atau dikenal dengan Musi Ulu punya even tradisi yang cukup unik. Setiap tahun, even ini digelar serangkaian peringatan tertentu. Dahulu, setiap tujuh belasan dan kini setiap HUT Kabupaten Empat Lawang, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Lahat sejak dua tahu terakhir. Tradisi ini, berupa mengarungi arus sungai Musi menumpang dua batang bambu. Disebut serapungan.

Mengasyikkan, karena kita bisa sekaligus mengikuti peserta lomba serapungan ini. Bisa peserta serapungan kecepatan atau serapungan santai.





Serapungan kecepatan, masing-masing peserta beradu cepat sampai garis finish. Sementara serapungan santai, peserta mengarungi arus Musi dengan bambu yang dihiasi berbagai bentuk.

Jarak tempuh serapungan ini, sejauh sekitar 9 km dar Desa Terusan dengan finish di kota Tebingtinggi, Empat Lawang. Untuk serapungan kecepatan, biasanya ditempu dalam waktu 1 jam. Sementara serapungan santai, bisa 2 sampai 2,5 jam.

Transportasi
Serapungan ini, dahulunya, menurut Bupati Empat Lawang, Budi Antoni Aljufri, merupakan alat transportasi warga masyarakat menyeberangi sungai Musi menuju ladang dan kebun.

Waktu itu memang belum ada jembatan gantung di atas sungai. Setelah masyarakat, baik secara bersama-sama maupun dibiayai pemerintah, membangun jembatan gantung, tradisi ini mulai ditinggalkan. Meski demikian, sesekali atau satu dua warga, masih ada yang menyebarangi sungai menggunakan serapungan ini. Saat menyeberang, pakaian diletakkan di atas kepala.

Lalu, dengan menggunakan kedua tangan, warga mendayung dari atas kedua bambu sehingga serapungan bergerak maju. Menyeberangi sungai Musi yang lebarnya berkisar 100 hingga 125 meter.




Perlombangan serapungan dimaksudkan untuk melestraikan tradisi lama ini. Sehingga generasi muda dapat mengetahui betapa sulitnya pendahulu mereka dahulu mengangkut hasil ladangnya.


”Diharapkan nantinya, tradisi serapungan ini masuk agenda wisata Sumsel. Bahkan, bisa masuk agenda wisata nasional,” harap Budi Antoni usai melepas peserta serapungan.

Serapungan ini berupa bambu dengan panjang bervariasi 2,5 meter hingga tiga meter dengan lima ruas. Dua bambu ini diikat dengan rotan. Dikeringkan dan dikupas lapisan luar bambu tersebut. Semakin kering dan enteng biasanya semakin ringan serta cepat. Menariknya, bambu ini kemudian dicat berbagai warna. Meskipun, ada juga yang dibiarkan seperti apa adanya.

Pekan lalu, serapungan kembali digelar di Tebing Tinggi, Empat Lawang. Sedikitnya 83 peserta mengikuti serapungan kecepatan dan ribuan lainnya meramaikan serapungan santai.




Peserta serapungan cepat terdiri dari anak-anak hingga orang tua. Sementara serapungan santai, selain menggunakan serapungan hias juga banyak yang hanya menggunakan ban dalam mobil yang dipompa.

Fandra (19), merupakan warga Desa Terusan yang sejak tiga tahun terakhir menjadi juara serapungan. Dan tahun ini, dia pun kembali menjadi juara.

Ingin merasakan bagaimana rasanya wisata air, mungkin even ini bisa dijadikan tujuan wisata yang bisa dinikmati.

Hanya saja, untuk mencapai lokasi ini dari kota Palembang, cukup jauh. Jarak Palembang ke Tebing tinggi ditempuh dalam waktu 7 jam menggunakan mobil ataupun kereta api.





Kereta api, tersedia dua jadwal, siang dan malam. Kalau memilih kelas ekonomi bisa berangkat siang hari dari Stasiun Kertapati, Palembang tujuan Lubuklinggau. Atau jika memilih kelas bisnis dan eksekutif berangkat malam hari. Jika berangkat dari Kertapati pukul 21.00 WIB, tiba di Stasiun Tebing tinggi sekitar pukul 04.00 WIB.

Sementara kalau memilih menggunakan mobil bisa menumpang bus ataupun travel. Ongkosnya berbeda sesuai dengan kelasnya. Jadi untuk menikmati air terjun ini, dari Palembang membutuhkan waktu 3 hari termasuk perjalanan Tebingtinggi-Palembang.

Masalah lainnya, penginapan di kota Tebing tinggi masih terbatas. Itupun, hanya penginapan kelas melati dengan fasilitas terbatas. (sh/muhamad nasir)

Wayang Palembang Nasibmu










Wayang Palembang, Tenggelam di Tepi Musi

Merangseknya budaya-budaya luar membuat generasi penerus tak mengenali dan tak menyukai budaya leluhur. Termasuk diantaranya, wayang Palembang yang kini telah semakin terpinggir dan mulai punah.
Wayang kulit Palembang memang tidak begitu dikenal dibanding wayang purwo asli Jawa. Walau sesungguhnya pernah tersohor di zamannya. Sayangnya, hingga kini peninggalan leluhur Palembang ini mulai punah ditelan zaman.
Di era 70 an dunia perwayangan Kota Palembang masih kerap menggelar kegiatan pentas di tengah masyarakat Palembang, seperti resepsi perkawinan serta khitanan. Namun kebiasaan masyarakat asli Palembang tidak menular ke generasi saat ini yang lebih mengenal kebudayaan luar.
Saat ini Wayang Purwa dari Jawa masih terus digandrungi dan digemari masyarakat Jawa. Bahkan bukan saja pada even tertentu saja, tetapi pementasan wayang purwa kerap diadakan oleh masyarakat Jawa khususnya yang tinggal di perkampungan. Seperti hiburan masyarakat, antara lain untuk acara khitanan dan resepsi perkawinan, bahkan perayaan syukuran kepala desa, maupun setelah selesai panen padi, masyarakat kerap menanggap wayang purwa ini.
Berbeda dengan wayang Palembang, agaknya era wayang Palembang sudah tenggelam. Tergeser oleh dominasi seni pop modern yang dinilai lebih menghibur. Berbagai hajatan rakyat, yang puluhan tahun lalu menjadi ruang pagelaran wayang Palembang, kini telah disergap pertunjukan organ tunggal yang marak di mana-mana.
Ironisnya, sebagian besar anak-anak di Palembang tidak begitu mengenal peninggalan leluhurnya ini. Tak sengaja, Jumat kemarin Sinar Harapan pernah bertanya kepada sejumlah siswa SLTP di Palembang. Sebagian besar mereka tidak mengetahui sama sekali bahwa Palembang memiliki wayang.
“Kita punya wayang asli kebudayaan Palembang ya, kak, dalangnya juga ada disini?saya kira Wayang berasal dari Jawa,” kata Heru, salah satu siswa SLTP Negeri di Palembang.
Karakter Khas
Johan Hanafiah budayawan Palembang menambahkan wayang Palembang sebenarnya kebudayaan yang memiliki karakter khas dibanding dengan wayang kulit purwa asal Jawa.
Namun sayang, lanjut dia wayang Palembang sudah kehilangan generasi penerus karena dalang terakhir wayang Palembang dengan menggunakan dialog bahasa Melayu Palembang itu, Ki Agus Rusdi Rasyid, telah meninggal pada Februari 2004. Saat ini, praktis tidak ada generasi penerus yang menguasai wayang tersebut.
Setelah era Alm Ki Agus Rusdi Rasyid usai, tambahnya seni tradisional, terutama wayang Palembang semakin ditinggalkan masyarakat, karena dinilai monoton dan tidak memiliki daya jual yang menarik.
Dia memaparkan Wayang Palembang, yang diperkirakan tumbuh sejak pertengahan abad ke-19 Masehi, saat Arya Damar yang terpengaruh budaya Jawa berkuasa di daerah Palembang. Wayang itu kemudian terus tumbuh dengan karakter lokal sehingga menjadi khas Palembang.
Wayang Palembang memiliki bentuk fisik dan sumber cerita yang sama dengan wayang purwa dari Jawa.
Bedanya, wayang Palembang dimainkan dengan menggunakan bahasa Melayu Palembang, dan perilaku tokoh-tokohnya lebih bebas. Sementara wayang purwa menggunakan bahasa Jawa dan perwatakan tokohnya ketat dengan pakem-pakem klasik.
Dia menilai merupakan kehilangan besar bagi masyarakat Sumsel, sehingga semua masyarakat Sumsel seharusnya bertanggung jawab untuk kembali menggali dan melestarikannya. (sh/muhamad nasir)

Tersimpan Rapi






Di rumah panggung kayu yang tersembunyi di Lorong Pasar, Pasar Tangga Buntung yang sesak tepatnya di Kelurahan 36 Ilir Palembang, dapat dijumpai peninggalan aset wayang Palembang.
Meski wayang tersebut sudah kusam, kotor dan rusak, sebagai warisan luluhur dan bukti sejarah wayang tersebut tetap tersimpan rapih di dalam peti khusus di kediaman Alm Ki Agus Rusdi Rasyid.
Dalang Muda Wirawan Rusdi, putra pertama Alm Rusdi, penerus dunia perwayangan Palembang bercerita banyak saat dijumpai di kediamannya.
Pedalang muda dari Sanggar Sri Wayang Palembang, Wirawan Rusdi anak dari pedalang senior asli Palembang, Ki Agus Rusdi Rasyid (alm) mengakui, kesenian tradisional wayang kulit Palembang, Sumatra Selatan, saat ini sudah mulai punah akibat tidak ada lagi generasi baru yang meneruskannya.
Selain itu, menurutnya, pedalang tua yang menguasai wayang dengan dialog berbahasa khas Melayu Palembang itu sudah tiada lagi.Sementara pemerintah dan lembaga kebudayaan tidak memiliki agenda konkret untuk melestarikan kekayaan tradisi itu.
Wirawan menjelaskan agar kebudayaan tersebut tidak punah, kepedulian Tim Peneliti dari UNESCO- sebuah badan dunia untuk urusan pendidikan dan kebudayaan ikut terlibat saat itu.
“Mereka mengutus Karen Smith wanita asal Australia menetap di Amerika dan Yushi Simishu pria asal Jepang yang menetap di Paris, markasnya UNESCO untuk berkunjung ke Sanggar kami yang terletak di Jalan PSI Lautan Rt.10,16 Ceklatah, 36 Ilir Palembang,” paparnya.
Hingga kini, sambungnya Sanggar Sri Wayang menjadi binaan UNESCO satu-satunya di Palembang, sebab wayang merupakan kekayaan seni tradisi lokal yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada tahun 2004.
Dia mengungkapkan, saat itu Tim UNESCO mengunjung Sanggar Sri Wayang tidak sendirian. Melainkan dibarengi pimpinan Yayasan Senawangi Jakarta, Sumari, Ketua Persatuan Pendalangan Indonesia (Pepadi) Pusat, Eko Cipto, Ketua Pepadi Sumsel, H.R Amin Prabowo,
Menurutnya, rasa tertarik untuk mendalami dunia wayang hanya karena tanggung jawab terhadap aset budaya yang saat ini dinilai hampir punah, sebab tidak ada lagi generasi penerus untuk dalang di Palembang ini. Apalagi bukan dari keluarga besar Ki Rusdi Rasyid (kakeknya).
“Saya tidak pernah berpikir untuk menjadi dalang meski pada saat kecil dulu kerap dikenalkan wayang oleh ayah,”ungkapnya.
Namun, karena sadar untuk meneruskan asli budaya wayang Palembang dari keluarga setidaknya dia sebagai anak tertua ikut menerusnya tradisi dalang ini.
Dia menerangkan terobsesi menjadi dalang setelah ayahnya meninggal, ketika itu sekitar 2005 dikunjungi oleh utusan UNESCO. Saat itu Sanggar Sri Wayang warisan orang tuanya tersebut sempat vakum.
Karena diberi bantuan wayang dan seperangkat gamelan tersebut, akhirnya sempat berpikir untuk menjadi dalang.
“Saya tidak ingin bantuan itu hanya untuk pajangan. Dengan rasa tanggung jawab itu akhirnya saya mulai belajar mendalami dunia dalang,”paparnya.
“Hampir semua peralatan wayang peninggalan ayah sudah rusak, hilang, atau entah ke mana. Kebanyakan peninggalan ikut ludes saat kebakaran rumah sekitar 2004dan sebagian lagi terendam banjir tahunan atau keropos dimakan usia, sehingga saat itu sempat hampir terlupakan, tetapi dari bantuan itu membuat motivasi bangkit lagi,”ujarnya.
Dia menerangkan meski wayang Palembang tidak begitu terkenal dan tersohor dibanding wayang Jawa, sebagai penerus dalang dari keluarga, dia sangat bangga. Sebab ayahnya pernah di undang dipertunjukan wayang tradisional di Taman Ismail Marzuki Jakarta, awal tahun 1990-an.
Dia mengakui di eranya jarang dipanggil untuk pentas. Kalaupun tampil hanya pada even tertentu. Untuk secara komersil, seperti hajatan perkawinan dan sunatan tidak pernah sama sekali, karena kesenian ini jauh ngetopnya dibanding kesenian modern.
Namun berkat niat, lanjutnya, dia pernah ikut diundang untuk mentas di Jogyakarta dalam acara The Indonesia Puppets Exhibitions.
Dinilainya, saat ini wayang Palembang tenggelam, apalagi banyak masyarakat tidak mengetahui dan senang dengan kebudayaan asli. Apalagi sebagian masyarakat Palembang yang mengerti kesenian mengganggap menyewa wayang untuk pertunjukan lebih mahal dari organ tunggal.
Padahal, sambung Wirawan, dia tidak pernah mematok tarif khusus. Paling tidak kalau memang dikomersilkan hanya Rp5 juta- Rp6 juta.
Dia menjelaskan wayang Palembang berbeda, karena mentas hanya 1-3 jam, sementara wayang Jawa bisa semalam suntuk. Sehingga tarifnya pun lebih murah dibanding wayang Jawa yang bisa mencapai belasan juta sekali mentas.
Wirawan berharap kepada pemerintah daerah dapat mengenalkan wayang Palembang di setiap sekolah, meski hanya dalam kegiatan ekstra kulikuler dan hanya dilakukan hanya satu tahun sekali.
Selain itu dia bercita-cita Wayang Palembang asli kesenian Palembang ini dapat dikenal di Tanah Air bahkan keseluruh negara.
Kini hanya dia yang menjadi dalang asli Palembang. Almarhum Ki Agus Rusdi Rasyid, merupakan salah satu dalang terakhir yang menguasai permainan wayang Palembang. Sementara ayahnya baru meninggal setahun lalu. Adapun dalang-dalang lain, seperti Syekh Hanan dan Ki Agus Umar, sudah meninggal beberapa tahun silam. Sebenarnya masih ada dalang yang tersisa, Sukri Ahkab, yang pernah menjadi Kepala Stasiun RRI Palembang. Sukri pun sudah pindah dari Palembang beberapa tahun lalu. (sh/muhamad nasir)



http://www.sinarharapan.co.id/berita/0905/02/hib02.html

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0905/01/hib03.html