Jumat, 23 Desember 2011
Kamis, 04 November 2010
Penghargaan untuk 27 Maestro Seni Tradisi
Sinar Harapan, Rabu, 02 Januari 2008
Jakarta - Suaranya masih saja tinggi di usianya yang ke-83 tahun ini. Sambil bernyanyi, tangannya tidak henti bergoyang, diikuti gerak tubuh yang tidak lagi terlalu lincah. Giginya yang nyaris habis membuat syair lagu yang keluar dari mulutnya tidak jelas lagi. Namun, Encim Masnah, penyanyi gambang kromong itu, masih memiliki semangat tinggi untuk meneruskan seni tradisi warisan nenek moyangnya.
Di kelompok orkes gambang kromongnya, hanya ada dua penyanyi, Encim Masnah dan Yuliana yang usianya jauh lebih muda. “Kagak ada (penyanyi lain), cuma bedua, yang tadi itu anak buah saya,” kata Encim Masnah dengan logat Betawi yang kental, ketika berpentas dalam konferensi pers pemberian penghargaan kepada maestro seni tradisi di Hotel Millenium, Jakarta, Jumat (28/12).
Seperti Encim Hasnah, usia pewaris seni tradisi kita memang tidak lagi muda. “Kita betul-betul berpacu dengan waktu,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Nilai Budaya, Seni, dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang hadir dalam konferensi pers itu.
Itu sebabnya, bekerja sama dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) yang diketuai oleh Pudentia MPSS, mulai tahun ini Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata memberikan penghargaan kepada para pewaris tradisi tersebut, termasuk Encim Hasnah yang kini tinggal di Tangerang, Banten.
Selain Encim Hasnah, ada 26 maestro seni tradisi lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia, mereka adalah Abdullah Abdul Rahman (maestro tari, Nangroe Aceh Darussalam), Ismail Saroeng (serunai, Nangroe Aceh Darussalam), Alistar Nainggolan (musik tradisi Batak, Sumatera Utara), Zulkaidah Boru Harahap (opera Batak, Sumatera Utara), Ibrahim Ahmad (wayang bangsawan, Kepulauan Riau), M Ali Ahmad (pantun, Kepulauan Riau), Sawir St Sati (syair dan musik, Sumatera Barat), Islamidar (sampelong, Sumatera Barat), Sahilin (pemantun gitar, Sumatera Selatan), Saidi Kamaludin (dulmuluk, Sumatera Selatan), Bodong (topeng Betawi, Jakarta), Surya Bonang (topeng Betawi, Jakarta), Dalang Taham (wayang Cirebon, Jawa Barat), Mimi Rasina (tari topeng, Jawa Barat), Tan Deseng (kecapi suling, Jawa Barat), Euik Muhtar (sinden dan rebab, Jawa Barat).
Ki Sugito Adiwarsito (wayang topeng pedalangan, Yogyakarta), Kandar (wayang krucil, Jawa Timur), Karimun (topeng Malang, Jawa Timur), I Made Sija (wayang arja, Bali), Amaq Raya (tari dan musik, Nusa Tenggara Barat), Jeremiah A Paah (sasando, Nusa Tenggara Timur), Bakhtiar Sanderta (wayang gung mamanda, Kalimantan Selatan), Serang Dakko (gendang, Sulawesi Selatan), Mak Coppang (tari pakkarena, Sulawesi Selatan), dan Sermalina Maniburi (tradisi munaba, Papua).
Para maestro itu berusia minimal 50 tahun dengan masa berkarya lebih dari 20 tahun di bidangnya masing-masing.
Pewarisan Tradisi
Penghargaan ini diberikan berupa uang sejumlah Rp 1 juta, dimulai pada Januari 2008 sampai dengan masa produktif untuk mewariskan tradisi ini habis. “Kita berharap dengan penghargaan ini, tahun demi tahun maestro yang kita miliki di daerah-daerah itu bisa mewariskan sedikit ilmunya kepada generasi muda,” kata Maukhlis lagi.
Menurut Pudentia, pewarisan itu dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan jalur formal dan informal. “Formalnya seperti Islamidar dan Sawir St Sati yang masuk ke dalam kurikulum STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Padang Panjang.” Jalur informal dicontohkan oleh Ismail Saroeng dengan serunainya yang berpindah dari satu kedai ke kedai lain atau dari kampung ke kampung. “Di situlah terjadi transfer pengetahuan, ada yang tertarik, mencoba-coba, ternyata berbakat, kemudian tumbuhlah tradisi itu,” kata Pudentia melanjutkan.
Seni tradisi Indonesia berkaitan erat dengan personal. Seni itu ada di dalam jiwa masing-masing maestro yang jika mereka meninggal dunia, “meninggal” pulalah seni itu. Itu terjadi misalnya pada Sermalina Maniburi yang bertugas melakukan upacara kematian (munaba) bagi masyarakat Waropen, Papua.
Selain Sermalina, tidak ada lagi orang yang menguasai tradisi itu. “Kalau maestro itu hilang, khazanah tradisi itu juga hilang karena tradisi itu ada di dalam dirinya,” kata Pudentia menegaskan. Dan kita tidak ingin tradisi itu hilang, bukan? (mila novita)
Jakarta - Suaranya masih saja tinggi di usianya yang ke-83 tahun ini. Sambil bernyanyi, tangannya tidak henti bergoyang, diikuti gerak tubuh yang tidak lagi terlalu lincah. Giginya yang nyaris habis membuat syair lagu yang keluar dari mulutnya tidak jelas lagi. Namun, Encim Masnah, penyanyi gambang kromong itu, masih memiliki semangat tinggi untuk meneruskan seni tradisi warisan nenek moyangnya.
Di kelompok orkes gambang kromongnya, hanya ada dua penyanyi, Encim Masnah dan Yuliana yang usianya jauh lebih muda. “Kagak ada (penyanyi lain), cuma bedua, yang tadi itu anak buah saya,” kata Encim Masnah dengan logat Betawi yang kental, ketika berpentas dalam konferensi pers pemberian penghargaan kepada maestro seni tradisi di Hotel Millenium, Jakarta, Jumat (28/12).
Seperti Encim Hasnah, usia pewaris seni tradisi kita memang tidak lagi muda. “Kita betul-betul berpacu dengan waktu,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Nilai Budaya, Seni, dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang hadir dalam konferensi pers itu.
Itu sebabnya, bekerja sama dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) yang diketuai oleh Pudentia MPSS, mulai tahun ini Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata memberikan penghargaan kepada para pewaris tradisi tersebut, termasuk Encim Hasnah yang kini tinggal di Tangerang, Banten.
Selain Encim Hasnah, ada 26 maestro seni tradisi lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia, mereka adalah Abdullah Abdul Rahman (maestro tari, Nangroe Aceh Darussalam), Ismail Saroeng (serunai, Nangroe Aceh Darussalam), Alistar Nainggolan (musik tradisi Batak, Sumatera Utara), Zulkaidah Boru Harahap (opera Batak, Sumatera Utara), Ibrahim Ahmad (wayang bangsawan, Kepulauan Riau), M Ali Ahmad (pantun, Kepulauan Riau), Sawir St Sati (syair dan musik, Sumatera Barat), Islamidar (sampelong, Sumatera Barat), Sahilin (pemantun gitar, Sumatera Selatan), Saidi Kamaludin (dulmuluk, Sumatera Selatan), Bodong (topeng Betawi, Jakarta), Surya Bonang (topeng Betawi, Jakarta), Dalang Taham (wayang Cirebon, Jawa Barat), Mimi Rasina (tari topeng, Jawa Barat), Tan Deseng (kecapi suling, Jawa Barat), Euik Muhtar (sinden dan rebab, Jawa Barat).
Ki Sugito Adiwarsito (wayang topeng pedalangan, Yogyakarta), Kandar (wayang krucil, Jawa Timur), Karimun (topeng Malang, Jawa Timur), I Made Sija (wayang arja, Bali), Amaq Raya (tari dan musik, Nusa Tenggara Barat), Jeremiah A Paah (sasando, Nusa Tenggara Timur), Bakhtiar Sanderta (wayang gung mamanda, Kalimantan Selatan), Serang Dakko (gendang, Sulawesi Selatan), Mak Coppang (tari pakkarena, Sulawesi Selatan), dan Sermalina Maniburi (tradisi munaba, Papua).
Para maestro itu berusia minimal 50 tahun dengan masa berkarya lebih dari 20 tahun di bidangnya masing-masing.
Pewarisan Tradisi
Penghargaan ini diberikan berupa uang sejumlah Rp 1 juta, dimulai pada Januari 2008 sampai dengan masa produktif untuk mewariskan tradisi ini habis. “Kita berharap dengan penghargaan ini, tahun demi tahun maestro yang kita miliki di daerah-daerah itu bisa mewariskan sedikit ilmunya kepada generasi muda,” kata Maukhlis lagi.
Menurut Pudentia, pewarisan itu dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan jalur formal dan informal. “Formalnya seperti Islamidar dan Sawir St Sati yang masuk ke dalam kurikulum STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Padang Panjang.” Jalur informal dicontohkan oleh Ismail Saroeng dengan serunainya yang berpindah dari satu kedai ke kedai lain atau dari kampung ke kampung. “Di situlah terjadi transfer pengetahuan, ada yang tertarik, mencoba-coba, ternyata berbakat, kemudian tumbuhlah tradisi itu,” kata Pudentia melanjutkan.
Seni tradisi Indonesia berkaitan erat dengan personal. Seni itu ada di dalam jiwa masing-masing maestro yang jika mereka meninggal dunia, “meninggal” pulalah seni itu. Itu terjadi misalnya pada Sermalina Maniburi yang bertugas melakukan upacara kematian (munaba) bagi masyarakat Waropen, Papua.
Selain Sermalina, tidak ada lagi orang yang menguasai tradisi itu. “Kalau maestro itu hilang, khazanah tradisi itu juga hilang karena tradisi itu ada di dalam dirinya,” kata Pudentia menegaskan. Dan kita tidak ingin tradisi itu hilang, bukan? (mila novita)
Nasib Sastra Lisan Dikalahkan Biduan
Sinar Harapan, Selasa 25 Mei 2004
Oleh Muhamad Nasir
”Alangke lemak nasib biduan, kalu nyanyi dapat saweran. Alangke sedih nasib senjang, kalu manggung katek yang nyawer,” (Alangkah bagus nasib biduan kalau bernyanyi dapat saweran (uang). Alangkah menyedihkan nasib pembawa sendang, kalau manggung tidak ada yang nyawer).
Demikian gambaran nasib pembawa sastra tutur (lisan) tergambar dalam salah satu bait sendang (sastra tutur, cerita yang dibawakan dengan bernyanyi dalam bahasa daerah) yang disampaikan Majenuh dari Sekayu, Musi Banyuasin (Muba) dalam Festival Sastra Tutur Pesirah (FSTP) di Auditorium Radio Republik Indonesia (RRI) Palembang, Sabtu (22/5).
Gambaran serupa disampaikan pembawa Nyanyi Panjang, sastra tutur dari Pedamaran Ogan Komering Ilir (OKI), Densi (70) yang mengaku sangat sedih dengan kondisi sastra tutur yang sangat tidak diminati lagi.
Kondisi sama terlihat saat pelaksanaan festival yang digagas Majelis Seniman Sumsel (MMS) bersama Komunitas Batanghari Sembilan (KObar 9) ini juga minim penonton. Termasuk para pejabat yang diundang. Beberapa instansi yang pejabatnya diundang untuk menghadiri festival tampak tak terlihat. ”Bersyukur, Kepala Dinas Pariwisata Pemerintah Provinsi Pemprov) Sumsel, Johnson, hadir dan berkenan meresmikan pembukaan festival,” ujar Ketua MMS, Nurhayat Arief Permana.
Yang disayangkan dari beberapa instansi yang diundang tampak tak hadir. Sehingga, apa yang ingin disampaikan melalui festival ini dirasakan menjadi seolah hambar. ”Meski demikian, paling tidak, respons beberapa pelajar cukup baik terlihat mereka cukup antusias menyaksikan didampingi gurunya,” ujar Arif Permana.
Memang, gedung yang berkapasitas 500 orang itu, seperempatnya terisi. Sebagiannya lagi, anak-anak usia sekolah lengkap dengan seragamnya. Setidaknya, ini menunjukkan bahwa ada komunikasi yang terputus sebenarnya sehingga sastra lisan di daerah Sumsel yang sesungguhnya cukup potensial dikembangkan menjadi semakin terpinggirkan.
”Padahal, sesungguhnya sastra lisan layak digali, dilestarikan dan dikembangkan karena merupakan budaya khas Sumsel. Karenanya, sastra lisan sesungguhnya layak dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah,” ujar Ketua Pelaksana Festival, Vebri Al Lantini.
Konsep itu sesungguhnya mungkin layak dipertanyakan mengingat kondisi penutur sastra lisan itu sendiri yang sudah terbatas. Usia mereka berkisar 50 hingga 70 tahun. Dan kini, kehidupan keduanya, sastra lisan dan penuturnya, ibarat kerakap tumbuh di batu.
”Banyak orang tak minat lagi dengan nyanyi panjang yang penyampaiannya bisa memakan waktu empat jam bahkan hingga tiga hari tiga malam, kalau diperlukan,” ujar Densi, salah seorang penutur Nyanyi Panjang.
Lakon Raden Bangsu yang menceritakan kehidupan sebelum adanya dunia sejarah, di mana saat itu kehidupan dalam dunia antah-berantah yang disampaikan Densi memang cukup menarik. Tepuk tangan menggema di Auditorium RRI setelah lelaki renta yang sudah ompong itu menyampaikan cerita tentang keberhasilan Raden Bangsu yang akhirnya berhasil menyunting Si Manis Raso dari Negeri Embun.
Didampingi tiga pendayung perahunya, Sos Pipi Tuli, Bujang Sanngam, dan Wak Kelunyang, Raden Bangsu memang berhasil menyingkirkan semua rintangan. Semua disampaikan dengan irama mendayu-dayu diiringi ayakan beras.
Nuansa magis menyertai Nyanyi Panjang. Sehingga tak dipungkiri memang ada nuansa lain ketika dulu masyarakat dalam upacara menyambut kelahiran ataupun perkawinan, masyarakat setempat dipastikan menanggap Nyanyi Panjang.
Tapi, kini suasana telah berubah. Organ tunggal, orkes dengan goyangan biduan lebih menjadi pilihan. Akibatnya, Densi yang kelahiran tahun 1925 dan mendapatkan kemampuan Nyanyi Panjang dari orang tuanya, Sanawar yang telah meninggal sejak sepuluh tahun terakhir tak lagi mendapat order. ”Apa yang bisa diharapkan. Paling-paling setahun sekali atau dua kali mendapat order. Bahkan terkadang tidak sama sekali,” keluh Densi.
Densi sendiri mengaku mendapat keterampilan Nyanyi Panjang karena memang diturunkan orang tuanya. Saat itu, sejak anak-anak, sambil mengurut, orang tuanya menyampaikan cerita-cerita yang nantinya juga disampaikan kepada masyarakat. Lalu, saat orang tuanya meninggal, itu pun disambutnya (dialihkan) dengan menyatukan mulutnya dengan mulut almarhum.
”Karenanya, dulu kalau sudah mentas mesti ada syukuran. Harus ada beras hitam, ayam hitam, dan ada acara ritual,”aku Densi.
Kini, sudah lama dia tak melaksanakan lagi. Namun, kemampuannya masih tak berubah. Krena memang kemampuan itu seolah sudah menyatu dengan darah dan dagingnya.
Kini, orang yang menguasai sastra tutur sudah nyaris berkurang. Selaina karena dimakan usia, juga karena tak ada yang meminati lagi. Makanya, sastra tutur ini bukan tidak mungkin akan musnah kalau tak ada upaya serius.
Bukan hanya Densi yang merasakan itu. Tapi juga Manan yang fasih menyampaikan Jelihiman, atau Arman yang ahli menyampaikan geguritan. Termasuk Majenuh, sang pembawa senjang.
Banyak faktor memang yang membuat persoalan ini menjadi seperti sekarang ini. Menurut Anwar Putra Bayu, seorang seniman yang juga peneliti sastra lisan di Sumsel, tak ubahnya dongeng, sastra tutur di Sumsel memang mengalami ancaman serupa. Bakal tenggelam. Tradisi bercerita sudah tak mentradisi lagi. Orang tua sudah tak pandai dan tak mau bercerita. Media elektronik menjadi alternatif yang semakin menjauhkan sastra tutur dari kehidupan masyarakat. Anak-anak sudah sibuk oleh pelajaran. Penurunan kemampuan juga sudah tak menarik minat karena memang menerjuni lakon sebagai penutur apakah itu Nyanyi panjang, senjang, geguritan, atau jelihiman memang sudah tak prospektif lagi.
”Harus ada orang yang memberi perhatian. Siapa pun itu, kalau mau memberikan perhatian, entah eksekutif, atau para seniman sendiri, diharapkan bisa menghidupkan dan melestarikan kesenian yang tak dilirik lagi itu. Atau maungkin, justru sastra tutur itu diintegrasikan saja melalui media elektronik. Tapi apa ada yang mau?” tutur Anwar Putra Bayu.
Kini, memang pilihan masyarakat untuk lebih mengundang biduan pada setiap acara keramaian entah itu syukuran dapat anak, khitanan, atau perkawinan, tak bisa disalahkan begitu saja sebagai penyebab terancamnya sastra tutur. Karena bagaimanapun masyarakat punya alasan. Yang harus dicari sekarang ini adalah bagaimana caranya menghidupkan kesenian itu lagi.
Siapa yang bisa dan mau menjadi fasilitator maupun mediator untuk itu. Yang jelas, melalui festival seni tutur, diharapkan bisa memancing semangat untuk itu. Antusias sendiri sudah terlihat, paling tidak digambarkan Eka, siswa kelas II SMAN 9 Palembang dan Alen siswa kelas II SMA Tridarma Palembang yang merasa tertarik dengan penyajian pesastra tutur.
Penelitian pun setidaknya bisa dirahkan terhadap kehidupan sastra tutur. Apalagi, masih minim penelitian yang bisa dijadikan dasar pengambil keputusan. Apakah memang layak, misalnya kesenian tutur itu masuk kurikulum sekolah.
Oleh Muhamad Nasir
”Alangke lemak nasib biduan, kalu nyanyi dapat saweran. Alangke sedih nasib senjang, kalu manggung katek yang nyawer,” (Alangkah bagus nasib biduan kalau bernyanyi dapat saweran (uang). Alangkah menyedihkan nasib pembawa sendang, kalau manggung tidak ada yang nyawer).
Demikian gambaran nasib pembawa sastra tutur (lisan) tergambar dalam salah satu bait sendang (sastra tutur, cerita yang dibawakan dengan bernyanyi dalam bahasa daerah) yang disampaikan Majenuh dari Sekayu, Musi Banyuasin (Muba) dalam Festival Sastra Tutur Pesirah (FSTP) di Auditorium Radio Republik Indonesia (RRI) Palembang, Sabtu (22/5).
Gambaran serupa disampaikan pembawa Nyanyi Panjang, sastra tutur dari Pedamaran Ogan Komering Ilir (OKI), Densi (70) yang mengaku sangat sedih dengan kondisi sastra tutur yang sangat tidak diminati lagi.
Kondisi sama terlihat saat pelaksanaan festival yang digagas Majelis Seniman Sumsel (MMS) bersama Komunitas Batanghari Sembilan (KObar 9) ini juga minim penonton. Termasuk para pejabat yang diundang. Beberapa instansi yang pejabatnya diundang untuk menghadiri festival tampak tak terlihat. ”Bersyukur, Kepala Dinas Pariwisata Pemerintah Provinsi Pemprov) Sumsel, Johnson, hadir dan berkenan meresmikan pembukaan festival,” ujar Ketua MMS, Nurhayat Arief Permana.
Yang disayangkan dari beberapa instansi yang diundang tampak tak hadir. Sehingga, apa yang ingin disampaikan melalui festival ini dirasakan menjadi seolah hambar. ”Meski demikian, paling tidak, respons beberapa pelajar cukup baik terlihat mereka cukup antusias menyaksikan didampingi gurunya,” ujar Arif Permana.
Memang, gedung yang berkapasitas 500 orang itu, seperempatnya terisi. Sebagiannya lagi, anak-anak usia sekolah lengkap dengan seragamnya. Setidaknya, ini menunjukkan bahwa ada komunikasi yang terputus sebenarnya sehingga sastra lisan di daerah Sumsel yang sesungguhnya cukup potensial dikembangkan menjadi semakin terpinggirkan.
”Padahal, sesungguhnya sastra lisan layak digali, dilestarikan dan dikembangkan karena merupakan budaya khas Sumsel. Karenanya, sastra lisan sesungguhnya layak dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah,” ujar Ketua Pelaksana Festival, Vebri Al Lantini.
Konsep itu sesungguhnya mungkin layak dipertanyakan mengingat kondisi penutur sastra lisan itu sendiri yang sudah terbatas. Usia mereka berkisar 50 hingga 70 tahun. Dan kini, kehidupan keduanya, sastra lisan dan penuturnya, ibarat kerakap tumbuh di batu.
”Banyak orang tak minat lagi dengan nyanyi panjang yang penyampaiannya bisa memakan waktu empat jam bahkan hingga tiga hari tiga malam, kalau diperlukan,” ujar Densi, salah seorang penutur Nyanyi Panjang.
Lakon Raden Bangsu yang menceritakan kehidupan sebelum adanya dunia sejarah, di mana saat itu kehidupan dalam dunia antah-berantah yang disampaikan Densi memang cukup menarik. Tepuk tangan menggema di Auditorium RRI setelah lelaki renta yang sudah ompong itu menyampaikan cerita tentang keberhasilan Raden Bangsu yang akhirnya berhasil menyunting Si Manis Raso dari Negeri Embun.
Didampingi tiga pendayung perahunya, Sos Pipi Tuli, Bujang Sanngam, dan Wak Kelunyang, Raden Bangsu memang berhasil menyingkirkan semua rintangan. Semua disampaikan dengan irama mendayu-dayu diiringi ayakan beras.
Nuansa magis menyertai Nyanyi Panjang. Sehingga tak dipungkiri memang ada nuansa lain ketika dulu masyarakat dalam upacara menyambut kelahiran ataupun perkawinan, masyarakat setempat dipastikan menanggap Nyanyi Panjang.
Tapi, kini suasana telah berubah. Organ tunggal, orkes dengan goyangan biduan lebih menjadi pilihan. Akibatnya, Densi yang kelahiran tahun 1925 dan mendapatkan kemampuan Nyanyi Panjang dari orang tuanya, Sanawar yang telah meninggal sejak sepuluh tahun terakhir tak lagi mendapat order. ”Apa yang bisa diharapkan. Paling-paling setahun sekali atau dua kali mendapat order. Bahkan terkadang tidak sama sekali,” keluh Densi.
Densi sendiri mengaku mendapat keterampilan Nyanyi Panjang karena memang diturunkan orang tuanya. Saat itu, sejak anak-anak, sambil mengurut, orang tuanya menyampaikan cerita-cerita yang nantinya juga disampaikan kepada masyarakat. Lalu, saat orang tuanya meninggal, itu pun disambutnya (dialihkan) dengan menyatukan mulutnya dengan mulut almarhum.
”Karenanya, dulu kalau sudah mentas mesti ada syukuran. Harus ada beras hitam, ayam hitam, dan ada acara ritual,”aku Densi.
Kini, sudah lama dia tak melaksanakan lagi. Namun, kemampuannya masih tak berubah. Krena memang kemampuan itu seolah sudah menyatu dengan darah dan dagingnya.
Kini, orang yang menguasai sastra tutur sudah nyaris berkurang. Selaina karena dimakan usia, juga karena tak ada yang meminati lagi. Makanya, sastra tutur ini bukan tidak mungkin akan musnah kalau tak ada upaya serius.
Bukan hanya Densi yang merasakan itu. Tapi juga Manan yang fasih menyampaikan Jelihiman, atau Arman yang ahli menyampaikan geguritan. Termasuk Majenuh, sang pembawa senjang.
Banyak faktor memang yang membuat persoalan ini menjadi seperti sekarang ini. Menurut Anwar Putra Bayu, seorang seniman yang juga peneliti sastra lisan di Sumsel, tak ubahnya dongeng, sastra tutur di Sumsel memang mengalami ancaman serupa. Bakal tenggelam. Tradisi bercerita sudah tak mentradisi lagi. Orang tua sudah tak pandai dan tak mau bercerita. Media elektronik menjadi alternatif yang semakin menjauhkan sastra tutur dari kehidupan masyarakat. Anak-anak sudah sibuk oleh pelajaran. Penurunan kemampuan juga sudah tak menarik minat karena memang menerjuni lakon sebagai penutur apakah itu Nyanyi panjang, senjang, geguritan, atau jelihiman memang sudah tak prospektif lagi.
”Harus ada orang yang memberi perhatian. Siapa pun itu, kalau mau memberikan perhatian, entah eksekutif, atau para seniman sendiri, diharapkan bisa menghidupkan dan melestarikan kesenian yang tak dilirik lagi itu. Atau maungkin, justru sastra tutur itu diintegrasikan saja melalui media elektronik. Tapi apa ada yang mau?” tutur Anwar Putra Bayu.
Kini, memang pilihan masyarakat untuk lebih mengundang biduan pada setiap acara keramaian entah itu syukuran dapat anak, khitanan, atau perkawinan, tak bisa disalahkan begitu saja sebagai penyebab terancamnya sastra tutur. Karena bagaimanapun masyarakat punya alasan. Yang harus dicari sekarang ini adalah bagaimana caranya menghidupkan kesenian itu lagi.
Siapa yang bisa dan mau menjadi fasilitator maupun mediator untuk itu. Yang jelas, melalui festival seni tutur, diharapkan bisa memancing semangat untuk itu. Antusias sendiri sudah terlihat, paling tidak digambarkan Eka, siswa kelas II SMAN 9 Palembang dan Alen siswa kelas II SMA Tridarma Palembang yang merasa tertarik dengan penyajian pesastra tutur.
Penelitian pun setidaknya bisa dirahkan terhadap kehidupan sastra tutur. Apalagi, masih minim penelitian yang bisa dijadikan dasar pengambil keputusan. Apakah memang layak, misalnya kesenian tutur itu masuk kurikulum sekolah.
Cap Go Meh, Potong Kambing Hitam di Pulau Kemaro
Sinar Harapan, Jumat 22 Februari 2008
Oleh
Muhamad Nasir
Palembang - Puncak perayaan Imlek 2559 ditandai dengan perayaan Cap Go Meh yang diartikan sebagai awal permulaan membuka lembaran baru kehidupan dengan meminta keselamatan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang berlimpah.
Di Palembang, puncak ritual Cap Go Meh dilaksanakan di Pulau Kemaro yang merupakan sebuah delta di Sungai Musi, sekitar 5 km sebelah hilir Jembatan Ampera. Di pulau ini terdapat sebuah Kelenteng Hok Ceng Bio. Tepat pukul 00.00 WIB, nyala kembang api berpijaran menghiasi langit di atas Pulau Kemaro, ditingkahi bunyi dari delapan tambur yang dipukul bersahut-sahutan.
Pijaran kembang api itu menandai perayaan Cap Go Meh, momen terakhir penyambutan sin cia sekaligus peresmian pagoda Kelenteng Hok Tjing Bio oleh Gubernur Sumsel Ir Syahrial Oesman.
Sebelumnya, dipimpin pengurus Kelenteng Hok Tjing Bio menyembelih seekor kambing warna hitam di depan makam Buyut Fatimah. Setelah itu, 100 kambing lainnya hasil sumbangan umat juga turut disembelih. Perayaan Cap Go Meh ini juga dimeriahkan dengan pertunjukan seni budaya tradisional China, seperti barongsai, liong, wayang orang China, dan hadir pula kelompok tanjidor.
Dalam perayaan Cap Go Meh, ribuan masyarakat etnis China maupun pribumi termasuk yang datang dari berbagai kota bahkan dari luar negeri seperti Singapura dan Malaysia berkunjung ke Pulau Kemaro untuk melakukan sembahyang atau berziarah. Perayaan ini berlangsung selama dua hari.
Di Pulau Kemaro perayaan Cap Go Meh menggambarkan kegiatan peribadatan yang sekaligus juga merupakan “perkawinan” budaya yang sebenarnya. Selain barongsai dan liong yang meramaikan malam puncak Cap Go Meh - tahun ini jatuh pada pergantian hari dari tanggal 19 Februari ke 20 Februari di Pulau Kemaro hadir pula kelompok tanjidor dan penyembelihan kambing persembahan.
Nuansa peribadatan agama Buddha Tridharma dengan nuansa keislaman terasa begitu kentara di Pulau Kemaro. Bercampur aroma dan padatnya asap hio yang dibakar. Ini tidak lain karena dalam sejarahnya Pulau Kemaro memang ada hubungannya dengan kedua agama tersebut.
Terbersit dalam legenda kisah cinta Fatimah dengan suaminya Tan Po Han berabad-abad lalu. Oleh karena itulah, selain bersembahyang kepada Thien (Tuhan Yang Maha Esa), umat yang datang pun bersembahyang untuk Dewa Bumi (Hok Tek Cin Sin), Buyut Fatimah, Dewi Kwan Im, Dewa Langit, Dewi Laut, dan juga penunggu Pulau Kemaro.
Selain garu/hio, serta perlengkapan peribadatan Tridharma lainnya yang banyak dibawa ke pulau itu, ada juga rangkaian bunga serta kambing yang dibawa masuk ke Pulau Kemaro. Syarat-syarat upacara memang beragam, seperti nasi kuning plus ayam panggang, nasi gemuk dan telur rebus, pisang dan beragam buah-buahan, serta opak dan jeruk purut. Di beberapa sudut kelenteng, syarat upacara memang tampak memenuhi areal berdampingan dengan hio dan lilin serta garu yang dibakar.
Karena suasana yang memang semarak inilah, saat puncak perayaan Cap Go Meh, Pulau Kemaro dikunjungi sekitar 20.000 hingga 30.000 umat dan pengunjung dari Sumsel dan luar Sumsel. Pengunjung dari Singapura, Jakarta, Sumatera Utara, Bengkulu, Lampung, Jambi, dan Bangka Belitung, terdaftar memadati perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro.
Dijadikannya Pulau Kemaro sebagai pusat kegiatan perayaan Cap Go Meh ketimbang sejumlah kelenteng dan wihara lainnya di Palembang, menurut informasi, karena selama ini mereka yang berdoa di Kelenteng Hok Ceng Bio banyak yang terkabul doanya. Selain berdoa kepada para leluhur, masyarakat Tionghoa yang datang ke sini pun ada yang meminta jodoh serta meminta sukses dalam bisnis dan karier.
Pinjam Angpau
Hal ini diakui seorang pengusaha Hermanto Wijaya yang juga Ketua Walubi Sumsel. “Saya dulunya juga meminjam angpau. Tetapi sekarang hanya sembahyang saja. Giliran mereka yang muda-muda meminjam angpau,” ujarnya.
”Terserah mau berapa pinjamnya. Bisa lima juta, 30 juta, atau berapa. Itu semuanya diwakili 10 angpau (uang logam yang dibungkus dengan kertas merah). Angpau tersebut kemudian dibawa pulang dan ditaruh di laci di rumah atau di kantor. Bila berhasil, tahun depan boleh membayarnya berapa saja, Rp 100.000, Rp 50.000, atau berapa saja. Kalau belum berhasil, tidak bayar juga tidak apa-apa,” tambah Chandra yang diiyakan Hermanto Wijaya.
Tampak memang beberapa umat memberikan imbalan berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 100.000 kepada petugas penuntun. Itu mungkin, mereka yang telah sukses usaha maupun kariernya atau telah menemukan jodoh.
Sementara itu, uang yang beredar di Pulau Kemaro bisa berkisar Rp 2 miliar. Sedangkan uang yang beredar di Sumsel selama perayaan Cap Go Meh bisa lebih dari itu.
Di hari-hari biasa, Pulau Kemaro akan kembali sepi. Tinggal nanti para panitia membersihkan sisa-sisa upacara. Akankah permohonan pengunjung dipenuhi Dewa, mungkin ukurannya adalah banyak tidaknya pengunjung Cap Go Meh tahun berikutnya. Ini karena mereka yang berhasil akan datang kembali mengembalikan uang yang dipinjamnya ataupun membawa anak-anak hasil perjodohannya yang dipercaya didapat setelah ke Pulau Kemaro, melaksanakan Cap Go Me
Oleh
Muhamad Nasir
Palembang - Puncak perayaan Imlek 2559 ditandai dengan perayaan Cap Go Meh yang diartikan sebagai awal permulaan membuka lembaran baru kehidupan dengan meminta keselamatan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang berlimpah.
Di Palembang, puncak ritual Cap Go Meh dilaksanakan di Pulau Kemaro yang merupakan sebuah delta di Sungai Musi, sekitar 5 km sebelah hilir Jembatan Ampera. Di pulau ini terdapat sebuah Kelenteng Hok Ceng Bio. Tepat pukul 00.00 WIB, nyala kembang api berpijaran menghiasi langit di atas Pulau Kemaro, ditingkahi bunyi dari delapan tambur yang dipukul bersahut-sahutan.
Pijaran kembang api itu menandai perayaan Cap Go Meh, momen terakhir penyambutan sin cia sekaligus peresmian pagoda Kelenteng Hok Tjing Bio oleh Gubernur Sumsel Ir Syahrial Oesman.
Sebelumnya, dipimpin pengurus Kelenteng Hok Tjing Bio menyembelih seekor kambing warna hitam di depan makam Buyut Fatimah. Setelah itu, 100 kambing lainnya hasil sumbangan umat juga turut disembelih. Perayaan Cap Go Meh ini juga dimeriahkan dengan pertunjukan seni budaya tradisional China, seperti barongsai, liong, wayang orang China, dan hadir pula kelompok tanjidor.
Dalam perayaan Cap Go Meh, ribuan masyarakat etnis China maupun pribumi termasuk yang datang dari berbagai kota bahkan dari luar negeri seperti Singapura dan Malaysia berkunjung ke Pulau Kemaro untuk melakukan sembahyang atau berziarah. Perayaan ini berlangsung selama dua hari.
Di Pulau Kemaro perayaan Cap Go Meh menggambarkan kegiatan peribadatan yang sekaligus juga merupakan “perkawinan” budaya yang sebenarnya. Selain barongsai dan liong yang meramaikan malam puncak Cap Go Meh - tahun ini jatuh pada pergantian hari dari tanggal 19 Februari ke 20 Februari di Pulau Kemaro hadir pula kelompok tanjidor dan penyembelihan kambing persembahan.
Nuansa peribadatan agama Buddha Tridharma dengan nuansa keislaman terasa begitu kentara di Pulau Kemaro. Bercampur aroma dan padatnya asap hio yang dibakar. Ini tidak lain karena dalam sejarahnya Pulau Kemaro memang ada hubungannya dengan kedua agama tersebut.
Terbersit dalam legenda kisah cinta Fatimah dengan suaminya Tan Po Han berabad-abad lalu. Oleh karena itulah, selain bersembahyang kepada Thien (Tuhan Yang Maha Esa), umat yang datang pun bersembahyang untuk Dewa Bumi (Hok Tek Cin Sin), Buyut Fatimah, Dewi Kwan Im, Dewa Langit, Dewi Laut, dan juga penunggu Pulau Kemaro.
Selain garu/hio, serta perlengkapan peribadatan Tridharma lainnya yang banyak dibawa ke pulau itu, ada juga rangkaian bunga serta kambing yang dibawa masuk ke Pulau Kemaro. Syarat-syarat upacara memang beragam, seperti nasi kuning plus ayam panggang, nasi gemuk dan telur rebus, pisang dan beragam buah-buahan, serta opak dan jeruk purut. Di beberapa sudut kelenteng, syarat upacara memang tampak memenuhi areal berdampingan dengan hio dan lilin serta garu yang dibakar.
Karena suasana yang memang semarak inilah, saat puncak perayaan Cap Go Meh, Pulau Kemaro dikunjungi sekitar 20.000 hingga 30.000 umat dan pengunjung dari Sumsel dan luar Sumsel. Pengunjung dari Singapura, Jakarta, Sumatera Utara, Bengkulu, Lampung, Jambi, dan Bangka Belitung, terdaftar memadati perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro.
Dijadikannya Pulau Kemaro sebagai pusat kegiatan perayaan Cap Go Meh ketimbang sejumlah kelenteng dan wihara lainnya di Palembang, menurut informasi, karena selama ini mereka yang berdoa di Kelenteng Hok Ceng Bio banyak yang terkabul doanya. Selain berdoa kepada para leluhur, masyarakat Tionghoa yang datang ke sini pun ada yang meminta jodoh serta meminta sukses dalam bisnis dan karier.
Pinjam Angpau
Hal ini diakui seorang pengusaha Hermanto Wijaya yang juga Ketua Walubi Sumsel. “Saya dulunya juga meminjam angpau. Tetapi sekarang hanya sembahyang saja. Giliran mereka yang muda-muda meminjam angpau,” ujarnya.
”Terserah mau berapa pinjamnya. Bisa lima juta, 30 juta, atau berapa. Itu semuanya diwakili 10 angpau (uang logam yang dibungkus dengan kertas merah). Angpau tersebut kemudian dibawa pulang dan ditaruh di laci di rumah atau di kantor. Bila berhasil, tahun depan boleh membayarnya berapa saja, Rp 100.000, Rp 50.000, atau berapa saja. Kalau belum berhasil, tidak bayar juga tidak apa-apa,” tambah Chandra yang diiyakan Hermanto Wijaya.
Tampak memang beberapa umat memberikan imbalan berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 100.000 kepada petugas penuntun. Itu mungkin, mereka yang telah sukses usaha maupun kariernya atau telah menemukan jodoh.
Sementara itu, uang yang beredar di Pulau Kemaro bisa berkisar Rp 2 miliar. Sedangkan uang yang beredar di Sumsel selama perayaan Cap Go Meh bisa lebih dari itu.
Di hari-hari biasa, Pulau Kemaro akan kembali sepi. Tinggal nanti para panitia membersihkan sisa-sisa upacara. Akankah permohonan pengunjung dipenuhi Dewa, mungkin ukurannya adalah banyak tidaknya pengunjung Cap Go Meh tahun berikutnya. Ini karena mereka yang berhasil akan datang kembali mengembalikan uang yang dipinjamnya ataupun membawa anak-anak hasil perjodohannya yang dipercaya didapat setelah ke Pulau Kemaro, melaksanakan Cap Go Me
Bukit Siguntang, Makam yang Sarat Misteri
Sinar Harapan, 21 Februari 2008
Oleh
Muhamad Nasir
PALEMBANG-Kawasan Bukit Siguntang di Bukit Besar Palembang menyimpan misteri. Meski demikian, hal itu tak mengurungkan niat banyak orang untuk mengunjungi kawasan ini, yang ketinggiannya sekitar 27 meter di atas permukaan laut. Jika berada di atas bukit, kita memang bisa memandang sebagian Kota Palembang.
Tujuh makam tokoh yang terkenal dalam cerita rakyat yang sempat tersohor pada zaman Kesultanan Palembang ada di bukit ini. Ketujuh makam itu Makam Raja Sigentar Alam, Panglima Tuan Djundjungan, Putri Kembang Dadar, Putri Rambut Selako, Pangeran Raja Batu Api, Panglima Bagus Sekuning, dan Makam Panglima Bagus Karang.
Berdasarkan cerita legenda dan dongeng, setiap tokoh yang dimakamkan itu memiliki kharisma dan sejarah masing-masing. Kini, masing-masing makam yang berada di kaki bukit dan mengarah ke puncak bukit masih terawat baik. Bukit ini terletak di Kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat (IB) I Palembang, Sumatera Selatan.
Sama halnya dengan jalan-jalan yang diabadikan dengan menggunakan nama tokoh-tokoh itu di dalam Kota Palembang. Hanya saja, sayangnya tak ada petunjuk khusus yang bisa didapatkan soal sejarah dan bagaimana keberadaan makam-makam itu. Di depan makam hanya tertulis nama tokoh, tanpa keterangan sedikit pun.
Dari juru kunci yang bertugas menjaga makam pun tak banyak diperoleh informasi. Misteri yang dibawa pengunjung sejak awal tak menguak misteri tersebut sepulangnya dari kunjungan ke Bukit Siguntang tersebut.
Sarkasih, salah seorang juru kunci, punya versi lain dibanding juru kunci lainnya mengenai keberadaan tokoh yang dimakamkan. Menurutnya, para tokoh itu berasal dari masa akhir Kerajaan Sriwijaya dari Mataram Hindu. Ada juga yang merupakan keturunan Majapahit. Sulaiman, juru kunci lainnya, menyatakan Panglima Bagus Sekuning dan Bagus Karang juga dimakamkan di bukit ini.
Versi lain menyatakan bahwa Panglima Bagus Kuning dimakamkan di kawasan Bagus Kuning, Plaju, Palembang. Di sini memang ditemukan juga bukti-bukti bekas makam. Namanya pun diabaikan sebagai kawasan Bagus Kuning. Banyak monyet berkeliaran di sekitar lokasi ini yang kemudian dibangun Lapangan Sepakbola, Patra Jaya.
Kondisi Bukit Siguntang sendiri, meski telah lama menjadi objek wisata, terlihat seperti tak terawat. Rumput liar memenuhi bukit, meski tangga batu masih terlihat utuh yang memudahkan pengunjung menuju ke masing-masing makam. Dengan karcis masuk Rp 2.000 saat hari libur, bukit ini justru dijadikan tempat pacaran bagi anak-anak muda. Oleh karenanya, misteri makam itu pun tak menjadi soal bagi mereka.
Hanya bagi pengunjung yang ingin berwisata sejarah atau bagi anak-anak sekolah yang dibawa gurunya ke lokasi ini, hal itu menjadi persoalan. Apalagi, menurut anak-anak, mereka umumnya tak mendapati sejarah para tokoh dalam buku pelajaran. Justru dari para juru kunci inilah mereka mendapat informasi keberadaan para tokoh tersebut, juga dari cerita dari mulut ke mulut. Itu pun dengan versi dan jalan cerita yang berbeda-beda.
Seorang peneliti Balai Arkeologi Palembang, Retno Purwanti, menjelaskan bahwa Bukit Siguntang sesungguhnya pernah menjadi pusat Kerajaan Palembang yang dipimpin Parameswara, seorang adipati Kerajaan Majapahit. Sekitar tahun 1511 Parameswara memisahkan diri dari Majapahit dan merantau ke Malaka.
Pusat Buddha
Sempat bentrok dengan Portugis, sang adipati kemudian menikah dengan putri penguasa Malaka dan menjadi raja. Keturunannya kemudian menjadi raja-raja Melayu yang berkuasa di Malaysia, Singapura, dan Sumatera.
Lalu sekitar tahun 1554 muncul Kerajaan Palembang yang dirintis Ki Gede Ingsuro, pelarian dari Pajang, Jawa Tengah. Bukit Siguntang ini dikeramatkan karena dua orang panglimanya yang gugur saat menunudukkan pasukan Kesultanan Banten yang menyerang Palembang, kemudian dimakamkan di bukit ini.
Karena itulah diyakini, bukit ini menjadi pusat studi keagamaan Buddha. Apalagi, berdasarkan informasi diketahui tahun 1920 ditemukan patung (arca) Buddha bergaya seni Amarawati yang merupakan raut wajah Srilangka dari abad XI Masehi dan sekarang ditempatkan di halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II di samping Jembatan Ampera Palembang.
Lalu ada sejumlah peninggalan Kerajaan Dapunta Hyang Srijayanasa, kemudian kapal Sriwijaya dan prasasti Bukit Siguntang, yang bisa menjadi bukti penting tentang keberadaan Sriwijaya.
Oleh karenanya, tak heran kalau dipercaya dahulu pernah bermukim 1.000 pendeta Buddha di kawasan tersebut. Dan sekarang pun, pada waktu-waktu tertentu, bukit ini dijadikan tempat berdoa bagi para pendeta Buddha.
Untuk mencapai lokasi bukit misteri ini, Anda bisa menggunakan angkutan kota atau bus kota jurusan Bukit Besar, dengan ongkos Rp 2.000 sekali jalan. Sebut saja berhenti di Taman atau Bukit Siguntang, dijamin Anda bisa menemukan lokasinya.
Meski tak bisa menjamin akan mendapatkan jawaban atas misteri para tokoh yang dimakamkan di bukit ini, minimal Anda akan melihat bukti nyata bahwa para tokoh dalam cerita itu dan lokasi makam yang cantik, memang ada. n
Copyright © Sinar Harapan 200
Oleh
Muhamad Nasir
PALEMBANG-Kawasan Bukit Siguntang di Bukit Besar Palembang menyimpan misteri. Meski demikian, hal itu tak mengurungkan niat banyak orang untuk mengunjungi kawasan ini, yang ketinggiannya sekitar 27 meter di atas permukaan laut. Jika berada di atas bukit, kita memang bisa memandang sebagian Kota Palembang.
Tujuh makam tokoh yang terkenal dalam cerita rakyat yang sempat tersohor pada zaman Kesultanan Palembang ada di bukit ini. Ketujuh makam itu Makam Raja Sigentar Alam, Panglima Tuan Djundjungan, Putri Kembang Dadar, Putri Rambut Selako, Pangeran Raja Batu Api, Panglima Bagus Sekuning, dan Makam Panglima Bagus Karang.
Berdasarkan cerita legenda dan dongeng, setiap tokoh yang dimakamkan itu memiliki kharisma dan sejarah masing-masing. Kini, masing-masing makam yang berada di kaki bukit dan mengarah ke puncak bukit masih terawat baik. Bukit ini terletak di Kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat (IB) I Palembang, Sumatera Selatan.
Sama halnya dengan jalan-jalan yang diabadikan dengan menggunakan nama tokoh-tokoh itu di dalam Kota Palembang. Hanya saja, sayangnya tak ada petunjuk khusus yang bisa didapatkan soal sejarah dan bagaimana keberadaan makam-makam itu. Di depan makam hanya tertulis nama tokoh, tanpa keterangan sedikit pun.
Dari juru kunci yang bertugas menjaga makam pun tak banyak diperoleh informasi. Misteri yang dibawa pengunjung sejak awal tak menguak misteri tersebut sepulangnya dari kunjungan ke Bukit Siguntang tersebut.
Sarkasih, salah seorang juru kunci, punya versi lain dibanding juru kunci lainnya mengenai keberadaan tokoh yang dimakamkan. Menurutnya, para tokoh itu berasal dari masa akhir Kerajaan Sriwijaya dari Mataram Hindu. Ada juga yang merupakan keturunan Majapahit. Sulaiman, juru kunci lainnya, menyatakan Panglima Bagus Sekuning dan Bagus Karang juga dimakamkan di bukit ini.
Versi lain menyatakan bahwa Panglima Bagus Kuning dimakamkan di kawasan Bagus Kuning, Plaju, Palembang. Di sini memang ditemukan juga bukti-bukti bekas makam. Namanya pun diabaikan sebagai kawasan Bagus Kuning. Banyak monyet berkeliaran di sekitar lokasi ini yang kemudian dibangun Lapangan Sepakbola, Patra Jaya.
Kondisi Bukit Siguntang sendiri, meski telah lama menjadi objek wisata, terlihat seperti tak terawat. Rumput liar memenuhi bukit, meski tangga batu masih terlihat utuh yang memudahkan pengunjung menuju ke masing-masing makam. Dengan karcis masuk Rp 2.000 saat hari libur, bukit ini justru dijadikan tempat pacaran bagi anak-anak muda. Oleh karenanya, misteri makam itu pun tak menjadi soal bagi mereka.
Hanya bagi pengunjung yang ingin berwisata sejarah atau bagi anak-anak sekolah yang dibawa gurunya ke lokasi ini, hal itu menjadi persoalan. Apalagi, menurut anak-anak, mereka umumnya tak mendapati sejarah para tokoh dalam buku pelajaran. Justru dari para juru kunci inilah mereka mendapat informasi keberadaan para tokoh tersebut, juga dari cerita dari mulut ke mulut. Itu pun dengan versi dan jalan cerita yang berbeda-beda.
Seorang peneliti Balai Arkeologi Palembang, Retno Purwanti, menjelaskan bahwa Bukit Siguntang sesungguhnya pernah menjadi pusat Kerajaan Palembang yang dipimpin Parameswara, seorang adipati Kerajaan Majapahit. Sekitar tahun 1511 Parameswara memisahkan diri dari Majapahit dan merantau ke Malaka.
Pusat Buddha
Sempat bentrok dengan Portugis, sang adipati kemudian menikah dengan putri penguasa Malaka dan menjadi raja. Keturunannya kemudian menjadi raja-raja Melayu yang berkuasa di Malaysia, Singapura, dan Sumatera.
Lalu sekitar tahun 1554 muncul Kerajaan Palembang yang dirintis Ki Gede Ingsuro, pelarian dari Pajang, Jawa Tengah. Bukit Siguntang ini dikeramatkan karena dua orang panglimanya yang gugur saat menunudukkan pasukan Kesultanan Banten yang menyerang Palembang, kemudian dimakamkan di bukit ini.
Karena itulah diyakini, bukit ini menjadi pusat studi keagamaan Buddha. Apalagi, berdasarkan informasi diketahui tahun 1920 ditemukan patung (arca) Buddha bergaya seni Amarawati yang merupakan raut wajah Srilangka dari abad XI Masehi dan sekarang ditempatkan di halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II di samping Jembatan Ampera Palembang.
Lalu ada sejumlah peninggalan Kerajaan Dapunta Hyang Srijayanasa, kemudian kapal Sriwijaya dan prasasti Bukit Siguntang, yang bisa menjadi bukti penting tentang keberadaan Sriwijaya.
Oleh karenanya, tak heran kalau dipercaya dahulu pernah bermukim 1.000 pendeta Buddha di kawasan tersebut. Dan sekarang pun, pada waktu-waktu tertentu, bukit ini dijadikan tempat berdoa bagi para pendeta Buddha.
Untuk mencapai lokasi bukit misteri ini, Anda bisa menggunakan angkutan kota atau bus kota jurusan Bukit Besar, dengan ongkos Rp 2.000 sekali jalan. Sebut saja berhenti di Taman atau Bukit Siguntang, dijamin Anda bisa menemukan lokasinya.
Meski tak bisa menjamin akan mendapatkan jawaban atas misteri para tokoh yang dimakamkan di bukit ini, minimal Anda akan melihat bukti nyata bahwa para tokoh dalam cerita itu dan lokasi makam yang cantik, memang ada. n
Copyright © Sinar Harapan 200
Napak Tilas Peninggalan Jepang di Palembang
Sinar Harapan, Kamis 1 Maret 2007
Oleh
Muhamad Nasir
PALEMBANG–Penjajahan Jepang yang berlangsung selama 3,5 tahun telah meninggalkan kenangan buruk bagi rakyat Indonesia. Namun, bagi Sumatera Selatan, ternyata penjajahan tidak hanya meninggalkan kenangan pahit.
Negeri Matahari Terbit ternyata juga meninggalkan peluang pendapatan bagi Sumsel, berupa bekas bangunan yang bisa menjadi objek wisata.
Sayangnya, “pundi-pundi” ini belum maksimal digarap menjadi objek wisata sejarah. Sedikitnya, terdapat 15 bekas bangunan balatentara Jepang berserakan di berbagai lokasi di Kota Palembang. Naifnya, bekas-bekas bangunan ini pun ternyata tak begitu dikenal warga Palembang sendiri.
“Padahal, peninggalan ini kalau diurus dan dilestarikan, bukan tidak mungkin akan dapat dinikmati sebagai objek wisata,” kata seorang guru sejarah sekolah lanjutan pertama swasta dan pegawai Bagian Humas Pemerintah Kota Palembang Ahmad Bastari Suan, beberapa waktu lalu.
Berdasarkan pemantauan SH, bangunan-bangunan eks Jepang umumnya tidak terawat, meski terdapat di tengah kota atau di tengah lingkungan tempat tinggal warga. Setidaknya, ada 15 objek yang berpotensi untuk dikembangkan. Misalnya, rumah perlindungan di bawah tanah (bungker) di Jl Joko Kelurahan Talang Semut, Kecamatan Bukit Kecil, Palembang.
Selain itu ada juga terowongan di Jl Joko, tepatnya di belakang Aula Imanuel; Kompleks Pertahanan di Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus; dan pekuburan tentara Jepang di Talang Kerikil.
Selain itu, Kompleks Pertahanan Udara di Jl Sudirman, tepatnya di samping Rumah Sakit Kristen (RSK) Charitas; Kompleks Pertahanan di Jl AKBP H Umar, Kelurahan Ariokemuning; Kompleks Pertahanan Jepang di Jl Majapahit, Kelurahan 1 Ulu; Kompleks Pertahanan di Kelurahan 15 Ulu; Asrama Tentara di Tegal Binangun; Kompleks Pertahanan di Pulau Melati, Kelurahan Keramasan, Kertapati; Jalan Jepang di Kelurahan Karya Jaya; Kompleks Pertahanan di Jl Pertahanan, Plaju; Benteng Jepang di Lorong Sikam, Plaju; dan Kompleks Pertahanan Udara di Tegal Binangun, Plaju.
Tentang bunker di Jl Joko, Kelurahan Talang Semut, masyarakat sekitarnya tak menyadari kalau sesungguhnya bangunan yang tinggal menyisakan puing-puing ini dahulu menjadi basis pertahanan Jepang saat menghadapi musuh.
Saat ini bungker itu memang tidak lagi di dalam tanah karena tanah di daerah ini sudah diuruk. Namun masih terdapat sisa bangunan yang menurut masyarakat setempat dulunya dibangun oleh Belanda untuk menghadapi Jepang. Dinding bunker ini terbuat dari beton cor dengan ketebalan 0,25 m dan tinggi dinding 2,4 meter. Luas bangunan diperkirakan 17,8x8 meter, dan bentuknya masih terlihat sampai sekarang.
Di Jl Joko, tak jauh dari bungker, terdapat terowongan. Pintu masuk terowongan yang diperkirakan menuju bunker masih tersisa. Begitu pun terowongannya, masih ada. Namun yang mengukur seberapa jauh terowongan itu dan ke mana tembusnya. Namun demikian, terowongan berbentuk segi empat ini memiliki ukuran 3x2,7 meter, dengan pintu berukuran 2 x 1,2 meter. Diduga, terowongan ini cukup panjang dan berliku-liku, dan terlihat masih kuat. Namun karena gelap dan licin, tak jelas bagaimana kondisi di dalamnya.
Kompleks Pertahanan
Setidaknya ada sembilan kompleks pertahanan Jepang yang kini masih ada puingnya. Kompleks pertahanan di samping RSK Charitas terbuat dari beton cor dengan ketebalan 0,5 meter dan tinggi dinding 2 meter. Sementara itu, luas bangunannya adalah 32x15 meter. Lokasi bangunannya pun di daerah yang cukup tinggi.
Untuk mencapainya, terdapat tangga yang sudah terlihat menghitam. Di lokasi ini juga terdapat terowongan yang diperkirakan tembus ke pinggiran Sungai Musi. Tempat ini diperkirakan dipergunakan sebagai tempat untuk melarikan diri kalau kondisi sedang tidak memungkinkan untuk bertahan. Sementara itu, pada saat ini, kondisi terowongan itu sendiri tak memungkinkan untuk dimasuki.
Di sini masih terlihat bekas landasan meriam berukuran 5x4 meter. Luas areal seluruhnya sekitar satu hektare, terjepit areal RSK Charitas. Lokasi ini pun tampak tidak terawat. Selain rumput, terdapat juga semak-semak dan pohon pisang yang menjadi “penghias”.
Adapun tempat Pertahanan di Jl AKBP H Umar, puing-puingnya masih berdiri kokoh. Di areal seluas 4.710 m2 terlihat bekas bangunan dan terowongan yang sudah tak utuh lagi. Bangunan induk berupa bunker berukuran 20x20 meter, dan di pintu masuk terdapat terowongan berukuran 2x1,5 meter. Pintu gua inilah yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Gua Jepang.
Bangunan yang cukup menarik adalah bekas benteng yang terdapat di Lorong Sikam Darat, Plaju. Benteng Kembar berukuran 8 x 6 meter ini memang tidak utuh lagi. Namun, lokasi ini cukup menarik, apalagi bentuknya kokoh. Begitu juga bangunan berbentuk kawah telungkup di Jl Tegal Binangun, Lorong Perlindungan, Plaju. Adapun bangunan berdiameter 14 meter dengan tinggi puncak 3,5 meter dan dinding setebal 0,9 meter ini terlihat unik.
Tak jauh dari bangunan ini, terdapat juga kompleks yang diperkirakan pertahanan artileri. Bangunan dengan dinding beton setinggi 1,5 meter dan dikelilingi tiang-tiang beton itu terlihat cukup menyeramkan. Sementara itu, beberapa fondasi tapakan penangkis serangan udara juga terlihat masih utuh.
Markas tentara Jepang masih terlihat dari sisa-sisa bangunan, yang terdapat di Jl Tegal Binangun, yang dikenal juga dengan sebutan Jalan Jepang ini. Di sini, selain bekas bak mandi, terdapat juga bekas landasan meriam penangkis serangan udara.
Dunia wisata memang sedang lesu. Berbagai teror menghantui wisatawan. Menghadapi tahun 2008, bukan tidak mungkin ada angin segar yang membuat turis mancanegara melirik Sumatera Selatan. Setidaknya, wisatawan asal Jepang bisa dipancing dengan objek-objek peninggalan nenek moyang mereka. Atau paling tidak, para pelajar bisa diajak mengunjungi objek-objek ini untuk mendapatkan pelajaran secara langsung peninggalan penjajah yang pernah memeras negeri ini.
Murid-murid yang menuntut ilmu di sekolah dasar yang tak jauh dari eks pertahanan Jepang, ternyata tak banyak yang mengetahui kalau ada pelajaran berharga yang terdapat di sekitar sekolah mereka. “Kami dak tau Kak, kalu ado peninggalan Jepang di sini (kami tidak tahu Kak kalau ada peninggalan Jepang di sini-red),” ungkap seorang murid SD Km 5 Palembang ketika diajak melihat sisa-sisa bangunan bekas pertahanan Jepang, tak jauh dari sekolahnya. n
Oleh
Muhamad Nasir
PALEMBANG–Penjajahan Jepang yang berlangsung selama 3,5 tahun telah meninggalkan kenangan buruk bagi rakyat Indonesia. Namun, bagi Sumatera Selatan, ternyata penjajahan tidak hanya meninggalkan kenangan pahit.
Negeri Matahari Terbit ternyata juga meninggalkan peluang pendapatan bagi Sumsel, berupa bekas bangunan yang bisa menjadi objek wisata.
Sayangnya, “pundi-pundi” ini belum maksimal digarap menjadi objek wisata sejarah. Sedikitnya, terdapat 15 bekas bangunan balatentara Jepang berserakan di berbagai lokasi di Kota Palembang. Naifnya, bekas-bekas bangunan ini pun ternyata tak begitu dikenal warga Palembang sendiri.
“Padahal, peninggalan ini kalau diurus dan dilestarikan, bukan tidak mungkin akan dapat dinikmati sebagai objek wisata,” kata seorang guru sejarah sekolah lanjutan pertama swasta dan pegawai Bagian Humas Pemerintah Kota Palembang Ahmad Bastari Suan, beberapa waktu lalu.
Berdasarkan pemantauan SH, bangunan-bangunan eks Jepang umumnya tidak terawat, meski terdapat di tengah kota atau di tengah lingkungan tempat tinggal warga. Setidaknya, ada 15 objek yang berpotensi untuk dikembangkan. Misalnya, rumah perlindungan di bawah tanah (bungker) di Jl Joko Kelurahan Talang Semut, Kecamatan Bukit Kecil, Palembang.
Selain itu ada juga terowongan di Jl Joko, tepatnya di belakang Aula Imanuel; Kompleks Pertahanan di Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus; dan pekuburan tentara Jepang di Talang Kerikil.
Selain itu, Kompleks Pertahanan Udara di Jl Sudirman, tepatnya di samping Rumah Sakit Kristen (RSK) Charitas; Kompleks Pertahanan di Jl AKBP H Umar, Kelurahan Ariokemuning; Kompleks Pertahanan Jepang di Jl Majapahit, Kelurahan 1 Ulu; Kompleks Pertahanan di Kelurahan 15 Ulu; Asrama Tentara di Tegal Binangun; Kompleks Pertahanan di Pulau Melati, Kelurahan Keramasan, Kertapati; Jalan Jepang di Kelurahan Karya Jaya; Kompleks Pertahanan di Jl Pertahanan, Plaju; Benteng Jepang di Lorong Sikam, Plaju; dan Kompleks Pertahanan Udara di Tegal Binangun, Plaju.
Tentang bunker di Jl Joko, Kelurahan Talang Semut, masyarakat sekitarnya tak menyadari kalau sesungguhnya bangunan yang tinggal menyisakan puing-puing ini dahulu menjadi basis pertahanan Jepang saat menghadapi musuh.
Saat ini bungker itu memang tidak lagi di dalam tanah karena tanah di daerah ini sudah diuruk. Namun masih terdapat sisa bangunan yang menurut masyarakat setempat dulunya dibangun oleh Belanda untuk menghadapi Jepang. Dinding bunker ini terbuat dari beton cor dengan ketebalan 0,25 m dan tinggi dinding 2,4 meter. Luas bangunan diperkirakan 17,8x8 meter, dan bentuknya masih terlihat sampai sekarang.
Di Jl Joko, tak jauh dari bungker, terdapat terowongan. Pintu masuk terowongan yang diperkirakan menuju bunker masih tersisa. Begitu pun terowongannya, masih ada. Namun yang mengukur seberapa jauh terowongan itu dan ke mana tembusnya. Namun demikian, terowongan berbentuk segi empat ini memiliki ukuran 3x2,7 meter, dengan pintu berukuran 2 x 1,2 meter. Diduga, terowongan ini cukup panjang dan berliku-liku, dan terlihat masih kuat. Namun karena gelap dan licin, tak jelas bagaimana kondisi di dalamnya.
Kompleks Pertahanan
Setidaknya ada sembilan kompleks pertahanan Jepang yang kini masih ada puingnya. Kompleks pertahanan di samping RSK Charitas terbuat dari beton cor dengan ketebalan 0,5 meter dan tinggi dinding 2 meter. Sementara itu, luas bangunannya adalah 32x15 meter. Lokasi bangunannya pun di daerah yang cukup tinggi.
Untuk mencapainya, terdapat tangga yang sudah terlihat menghitam. Di lokasi ini juga terdapat terowongan yang diperkirakan tembus ke pinggiran Sungai Musi. Tempat ini diperkirakan dipergunakan sebagai tempat untuk melarikan diri kalau kondisi sedang tidak memungkinkan untuk bertahan. Sementara itu, pada saat ini, kondisi terowongan itu sendiri tak memungkinkan untuk dimasuki.
Di sini masih terlihat bekas landasan meriam berukuran 5x4 meter. Luas areal seluruhnya sekitar satu hektare, terjepit areal RSK Charitas. Lokasi ini pun tampak tidak terawat. Selain rumput, terdapat juga semak-semak dan pohon pisang yang menjadi “penghias”.
Adapun tempat Pertahanan di Jl AKBP H Umar, puing-puingnya masih berdiri kokoh. Di areal seluas 4.710 m2 terlihat bekas bangunan dan terowongan yang sudah tak utuh lagi. Bangunan induk berupa bunker berukuran 20x20 meter, dan di pintu masuk terdapat terowongan berukuran 2x1,5 meter. Pintu gua inilah yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Gua Jepang.
Bangunan yang cukup menarik adalah bekas benteng yang terdapat di Lorong Sikam Darat, Plaju. Benteng Kembar berukuran 8 x 6 meter ini memang tidak utuh lagi. Namun, lokasi ini cukup menarik, apalagi bentuknya kokoh. Begitu juga bangunan berbentuk kawah telungkup di Jl Tegal Binangun, Lorong Perlindungan, Plaju. Adapun bangunan berdiameter 14 meter dengan tinggi puncak 3,5 meter dan dinding setebal 0,9 meter ini terlihat unik.
Tak jauh dari bangunan ini, terdapat juga kompleks yang diperkirakan pertahanan artileri. Bangunan dengan dinding beton setinggi 1,5 meter dan dikelilingi tiang-tiang beton itu terlihat cukup menyeramkan. Sementara itu, beberapa fondasi tapakan penangkis serangan udara juga terlihat masih utuh.
Markas tentara Jepang masih terlihat dari sisa-sisa bangunan, yang terdapat di Jl Tegal Binangun, yang dikenal juga dengan sebutan Jalan Jepang ini. Di sini, selain bekas bak mandi, terdapat juga bekas landasan meriam penangkis serangan udara.
Dunia wisata memang sedang lesu. Berbagai teror menghantui wisatawan. Menghadapi tahun 2008, bukan tidak mungkin ada angin segar yang membuat turis mancanegara melirik Sumatera Selatan. Setidaknya, wisatawan asal Jepang bisa dipancing dengan objek-objek peninggalan nenek moyang mereka. Atau paling tidak, para pelajar bisa diajak mengunjungi objek-objek ini untuk mendapatkan pelajaran secara langsung peninggalan penjajah yang pernah memeras negeri ini.
Murid-murid yang menuntut ilmu di sekolah dasar yang tak jauh dari eks pertahanan Jepang, ternyata tak banyak yang mengetahui kalau ada pelajaran berharga yang terdapat di sekitar sekolah mereka. “Kami dak tau Kak, kalu ado peninggalan Jepang di sini (kami tidak tahu Kak kalau ada peninggalan Jepang di sini-red),” ungkap seorang murid SD Km 5 Palembang ketika diajak melihat sisa-sisa bangunan bekas pertahanan Jepang, tak jauh dari sekolahnya. n
Bunker Jepang, Potensi Wisata Palembang
Palembang, Sinar Harapan
Sebagai penjajah selama 3,5 tahun, Jepang bagi Indonesia—khususnya Sumatera Selatan—ternyata tidak hanya meninggalkan kenangan pahit. Bangsa dari negeri matahari terbit ini ternyata meninggalkan juga peluang pendapatan bagi Sumsel. Peninggalan itu berupa bekas-bekas bangunan yang masih bersisa dan bisa menjadi objek wisata. Sayangnya, potensi wisata ini ternyata belum begitu digarap sehingga bisa menjadi salah satu objek wisata sejarah, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara, khususnya wisatawan Jepang.
Sedikitnya terdapat 15 bekas bangunan bekas balatentara Jepang yang berserakan di berbagai lokasi dalam wilayah Kota Palembang. Ironisnya, bekas-bekas bangunan ini pun ternyata tak begitu dikenal oleh warga Palembang.
Peninggalan Jepang ini kalau diurus dan dilestarikan akan memiliki potensi wisata yang dapat menjadi salah satu daya tarik Kota Palembang. ”Bukan tidak mungkin peninggalan itu dapat dinikmati sebagai objek wisata”, ujar seorang guru sejarah sekolah lanjutan pertama swasta dan juga pegawai Bagian Humas Pemerintah Kota Palembang, Ahmad Bastari Suan, beberapa waktu lalu.
Berdasarkan pemantauan SH, umumnya terkesan bangunan-bangunan eks Jepang itu tidak terawat dan terpelihara. Meski terdapat di tengah kota ataupun di tengah lingkungan warga, keberadaannya tak terusik. Disentuh tidak, dilirik tiada, apalagi dirawat.
Setidaknya, ada lima objek yang bisa dan pantas serta berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata. Ke-15 bekas peninggalan Jepang ini, seperti rumah perlindungan di bawah tanah (bungker) di Jalan Joko Kelurahan Talang Semut, Kecamatan Bukit Kecil, Palembang. Terowongan di Jalan Joko, tepatnya di belakang Aula Imanuel, Palembang. Kompleks Pertahanan di Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus. Pekuburan Perauan tentara jepang di Talang Kerikil.
Kompleks Pertahanan Udara di Jalan Sudirman, tepatnya di samping Rumah Sakit Kristen (RSK) Charitas. Kompleks Pertahanan di Jalan AKBP H Umar, Kelurahan Ariokemuning. Kompleks Pertahanan Jepang di jalan Majapahit, Kelurahan 1 Ulu. Kompleks Pertahanan di Kelurahan 15 Ulu. Asrama Tentara di Tegal Binangun. Kompleks Pertahanan di Pulau Melati, Kelurahan Keramasan, Kertapati. Jalan Jepang di Kelurahan Karya Jaya. Kompleks Pertahanan di Jalan Pertahanan, Plaju. Benteng Jepang di Lorong Sikam, Plaju. Dan kompleks Pertahanan udara di Tegal Binangun, Plaju. Rumah perlindungan di bawah tanah (bungker) di Jalan Joko, Kelurahan Talang Semut, Kecamatan Bukit Kecil, kini sudah di atas tanah.
Masyarakat sekitar tak menyadari kalau sesungguhnya bangunan yang memang tinggal menyisakan puing-puing ini dahulu pernah menjadi basis pertahanan Jepang saat menghadapi musuh. Saat ini, memang tidak lagi di dalam tanah. Tanah di daerah sini sudah diuruk.
Namun, masih terdapat sisa-sisa bangunan yang menurut cerita masyarakat di sekitar dulunya dibangun Belanda untuk menghadapi Jepang. Bangunan yang kemudian justru dimanfaatkan Jepang ini masih bertahan dari hujan dan panas. Dinding bungker ini terbuat dari beton cor dengan ketebalan 0,25 m dan tinggi dinding 2,4 meter. Luas bangunan diperkirakan 17,8 x 8 meter, masih terlihat bentuknya.
Terowongan
Di Jalan Joko, tak jauh dari bungker, terdapat terowongan. Pintu masuk terowongan yang diperkirakan menuju bungker masih tersisa. Begitupun terowongannya, masih ada.
Diperkirakan, terowongan ini cukup panjang dan berliku-liku. Kondisinya, terlihat masih kuat. Namun karena gelap dan licin, tak jelas bagaimana kondisi di dalamnya. Di Kompleks Pertahanan, setidaknya ada sembilan kompleks pertahanan Jepang yang kini masih ada puingnya. Yang kini di tengah kota, kompleks pertahanan yang terdapat di Jalan Jenderal Sudirman—tepatnya di samping RSK Charitas dan bersebarangan dengan Gedung Bank Indonesia Sumsel—dan di Jalan AKBP H Umar di Kelurahan Ario Kemuning atau tepatnya di belakang pasar Km 5 Palembang.
Kompleks pertahanan di samping Charitas, seluruhnya terbuat dari beton cor dengan ketebalan 05 meter. Dan tinggi dinding 2 meter. Luas bangunan 32 x 15 meter.
Lokasinya di daerah yang cukup tinggi. Dari Jalan Jenderal Sudirman, eks kompleks pertahanan ini sekitar 4 meter. Untuk mencapainya, terdapat tangga yang terlihat sudah menghitam.
Di lokasi ini juga terdapat terowongan yang diperkirakan tembus ke pinggiran Sungai Musi. Diperkirakan tempat melarikan diri kalau memang kondisinya tidak memungkinkan untuk bertahan. Namun, teorongan kondisinya sudah tak memungkinkan untuk dimasuki. Di sini masih terlihat bekas landasan meriam berukuran 5x4 meter. Luas areal seluruhnya sekitar 1 ha.
Terjepit areal RSK Charitas, lokasi ini tampak tidak terawat. Selain rumput, terdapat juga semak-semak dan pohon pisang menjadi ”penghias”. Benteng Pertahanan di Jalan AKBP H Umar, puing-puingnya masih berdiri kokoh. Di areal seluas 4.710 meter persegi terlihat bekas bangunan dan juga terowongan yang kondisinya sudah takutuh lagi. Bangunan induk berupa bungker berukuran 20 X20 meter. Di pintu masuknya, terdapat terowongan berukuran 2 x 1,5 meter.Pintu gua inilah yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Gua Jepang. Terowongan yang tadinnya berada dalam tanah, kini sudah di atas tanah. Rumah-rumah penduduk sudah mengepung areal ini. Di bagian atas terowongan terdapat bekas tempat meriam pengintai. Beberapa puluh meter dari bangunan induk terdapat dua bangunan berbentuk rumah di bawah tanah dengan luas 6 x 6 meter. Namun kini, bangunan ini juga sudah di atas tanah. Puing-puing kompleks pertahanan lainnya, terdapat di Jalan Demak Kelurahan 1 Ulu, Palembang. Di lokasi ini terdapat setidaknya bekas tujuh landasan meriam penangkis serangan udara. Masing-masing berdiamter 5,6 meter dengan ketinggian 1,15 meter, tetapi kondisinya kini sudah tak jelas lagi. Selain dikelilingi semak-semak, bangunannya juga sudah berlumut. Di daerah Jalan Majapahit, masih di Kelurahan 1 Ulu, terdapat juga bekas kompleks pertahanan Jepang. Di lokasi yang terdapat di dekat SDN 103 ini terdapat landasan tiang pemancar setinggi 0,3 meter dengan diameter 4,7 meter dan landasan antena berukuran 3 x 2,5 x 0,7 meter. Bekas landasan tiang pemancar yang diperkirakan sebagai kompleks pertahanan, juga terdapat di belakang SDN 43, masih di Jalan Majapahit, 1 Ulu. Sisanya landasan tiang pemancar berukuran 1,3 meter dan diameter 4,7 meter masih terlihat. Bekas kompleks pertahanan juga terdapat di Pulau Melati, Keramasan, Kertapati.
Yang cukup menarik, bekas benteng yang terdapat di Lorong Sikam Darat, Plaju. Benteng Kembar berukuran 8 x 6 meter memang tidak utuh lagi. Namun, lokasi ini cukup menarik apalagi sisa bangunannya menunjukkan bentuk yang kokoh dan kuat. Begitu juga dengan bangunan berbentuk kawah tertelungkup di kawasan Jalan tegal Binangun, Lorong Perlindungan, Plaju. Bangunan berdiameter 14 meter dengan tinggi puncak 3,5 meter dan dinding setebal 0,9 meter, terlihat cukup unik. Jalan pintas, yang kini disebut Jalan Jepang, masih digunakan masyarakat. Jalan yang dulu diperkirakan digunakan tentara Jepang menuju Pulau Melati sepanjang 5 km dengan luas 5 meter. Jalan ini menghubungkan Keramaan-Gandus melalui Pulau Melati. Napak tilas mungkin bisa dilakukan di jalan ini. Memang dunia wisata memang sedang lesu. Berbagai teror menghantui wisatawan. Namun, menghadapi tahun 2003, bukan tidak mungkin ada angin segar yang membuat wisatawan mancanegara melirik Sumatera Selatan. Setidaknya, wisatawan asal Jepang bisa dipancing dengan objek-objek peninggalan nenek moyang mereka.
Atau paling tidak, para pelajar bisa diajak mengunjungi objek-objek ini untuk memberikan pelajaran secara langsung peninggalan penjajah yang pernah memeras negeri ini. Murid-murid yang menuntut ilmu di sekolah dasar yang tak jauh dari eks pertahanan Jepang ternyata tak banyak yang mengetahui kalau ada pelajaran berharga yang terdapat di sekitar sekolah mereka.
Kami dak tau kak kalu ado peninggalan Jepang di sini,” (kami tidak tahu kak kalau ada peninggalan Jepang di sini, red) ujar seorang murid SD di Lorong Majapahit 1 Ulu ketika diajak melihat sisa-sisa bekas pertahanan Jepang tak jauh dari sekolahnya.
(SH/muhamad nasir)
Sebagai penjajah selama 3,5 tahun, Jepang bagi Indonesia—khususnya Sumatera Selatan—ternyata tidak hanya meninggalkan kenangan pahit. Bangsa dari negeri matahari terbit ini ternyata meninggalkan juga peluang pendapatan bagi Sumsel. Peninggalan itu berupa bekas-bekas bangunan yang masih bersisa dan bisa menjadi objek wisata. Sayangnya, potensi wisata ini ternyata belum begitu digarap sehingga bisa menjadi salah satu objek wisata sejarah, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara, khususnya wisatawan Jepang.
Sedikitnya terdapat 15 bekas bangunan bekas balatentara Jepang yang berserakan di berbagai lokasi dalam wilayah Kota Palembang. Ironisnya, bekas-bekas bangunan ini pun ternyata tak begitu dikenal oleh warga Palembang.
Peninggalan Jepang ini kalau diurus dan dilestarikan akan memiliki potensi wisata yang dapat menjadi salah satu daya tarik Kota Palembang. ”Bukan tidak mungkin peninggalan itu dapat dinikmati sebagai objek wisata”, ujar seorang guru sejarah sekolah lanjutan pertama swasta dan juga pegawai Bagian Humas Pemerintah Kota Palembang, Ahmad Bastari Suan, beberapa waktu lalu.
Berdasarkan pemantauan SH, umumnya terkesan bangunan-bangunan eks Jepang itu tidak terawat dan terpelihara. Meski terdapat di tengah kota ataupun di tengah lingkungan warga, keberadaannya tak terusik. Disentuh tidak, dilirik tiada, apalagi dirawat.
Setidaknya, ada lima objek yang bisa dan pantas serta berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata. Ke-15 bekas peninggalan Jepang ini, seperti rumah perlindungan di bawah tanah (bungker) di Jalan Joko Kelurahan Talang Semut, Kecamatan Bukit Kecil, Palembang. Terowongan di Jalan Joko, tepatnya di belakang Aula Imanuel, Palembang. Kompleks Pertahanan di Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus. Pekuburan Perauan tentara jepang di Talang Kerikil.
Kompleks Pertahanan Udara di Jalan Sudirman, tepatnya di samping Rumah Sakit Kristen (RSK) Charitas. Kompleks Pertahanan di Jalan AKBP H Umar, Kelurahan Ariokemuning. Kompleks Pertahanan Jepang di jalan Majapahit, Kelurahan 1 Ulu. Kompleks Pertahanan di Kelurahan 15 Ulu. Asrama Tentara di Tegal Binangun. Kompleks Pertahanan di Pulau Melati, Kelurahan Keramasan, Kertapati. Jalan Jepang di Kelurahan Karya Jaya. Kompleks Pertahanan di Jalan Pertahanan, Plaju. Benteng Jepang di Lorong Sikam, Plaju. Dan kompleks Pertahanan udara di Tegal Binangun, Plaju. Rumah perlindungan di bawah tanah (bungker) di Jalan Joko, Kelurahan Talang Semut, Kecamatan Bukit Kecil, kini sudah di atas tanah.
Masyarakat sekitar tak menyadari kalau sesungguhnya bangunan yang memang tinggal menyisakan puing-puing ini dahulu pernah menjadi basis pertahanan Jepang saat menghadapi musuh. Saat ini, memang tidak lagi di dalam tanah. Tanah di daerah sini sudah diuruk.
Namun, masih terdapat sisa-sisa bangunan yang menurut cerita masyarakat di sekitar dulunya dibangun Belanda untuk menghadapi Jepang. Bangunan yang kemudian justru dimanfaatkan Jepang ini masih bertahan dari hujan dan panas. Dinding bungker ini terbuat dari beton cor dengan ketebalan 0,25 m dan tinggi dinding 2,4 meter. Luas bangunan diperkirakan 17,8 x 8 meter, masih terlihat bentuknya.
Terowongan
Di Jalan Joko, tak jauh dari bungker, terdapat terowongan. Pintu masuk terowongan yang diperkirakan menuju bungker masih tersisa. Begitupun terowongannya, masih ada.
Diperkirakan, terowongan ini cukup panjang dan berliku-liku. Kondisinya, terlihat masih kuat. Namun karena gelap dan licin, tak jelas bagaimana kondisi di dalamnya. Di Kompleks Pertahanan, setidaknya ada sembilan kompleks pertahanan Jepang yang kini masih ada puingnya. Yang kini di tengah kota, kompleks pertahanan yang terdapat di Jalan Jenderal Sudirman—tepatnya di samping RSK Charitas dan bersebarangan dengan Gedung Bank Indonesia Sumsel—dan di Jalan AKBP H Umar di Kelurahan Ario Kemuning atau tepatnya di belakang pasar Km 5 Palembang.
Kompleks pertahanan di samping Charitas, seluruhnya terbuat dari beton cor dengan ketebalan 05 meter. Dan tinggi dinding 2 meter. Luas bangunan 32 x 15 meter.
Lokasinya di daerah yang cukup tinggi. Dari Jalan Jenderal Sudirman, eks kompleks pertahanan ini sekitar 4 meter. Untuk mencapainya, terdapat tangga yang terlihat sudah menghitam.
Di lokasi ini juga terdapat terowongan yang diperkirakan tembus ke pinggiran Sungai Musi. Diperkirakan tempat melarikan diri kalau memang kondisinya tidak memungkinkan untuk bertahan. Namun, teorongan kondisinya sudah tak memungkinkan untuk dimasuki. Di sini masih terlihat bekas landasan meriam berukuran 5x4 meter. Luas areal seluruhnya sekitar 1 ha.
Terjepit areal RSK Charitas, lokasi ini tampak tidak terawat. Selain rumput, terdapat juga semak-semak dan pohon pisang menjadi ”penghias”. Benteng Pertahanan di Jalan AKBP H Umar, puing-puingnya masih berdiri kokoh. Di areal seluas 4.710 meter persegi terlihat bekas bangunan dan juga terowongan yang kondisinya sudah takutuh lagi. Bangunan induk berupa bungker berukuran 20 X20 meter. Di pintu masuknya, terdapat terowongan berukuran 2 x 1,5 meter.Pintu gua inilah yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Gua Jepang. Terowongan yang tadinnya berada dalam tanah, kini sudah di atas tanah. Rumah-rumah penduduk sudah mengepung areal ini. Di bagian atas terowongan terdapat bekas tempat meriam pengintai. Beberapa puluh meter dari bangunan induk terdapat dua bangunan berbentuk rumah di bawah tanah dengan luas 6 x 6 meter. Namun kini, bangunan ini juga sudah di atas tanah. Puing-puing kompleks pertahanan lainnya, terdapat di Jalan Demak Kelurahan 1 Ulu, Palembang. Di lokasi ini terdapat setidaknya bekas tujuh landasan meriam penangkis serangan udara. Masing-masing berdiamter 5,6 meter dengan ketinggian 1,15 meter, tetapi kondisinya kini sudah tak jelas lagi. Selain dikelilingi semak-semak, bangunannya juga sudah berlumut. Di daerah Jalan Majapahit, masih di Kelurahan 1 Ulu, terdapat juga bekas kompleks pertahanan Jepang. Di lokasi yang terdapat di dekat SDN 103 ini terdapat landasan tiang pemancar setinggi 0,3 meter dengan diameter 4,7 meter dan landasan antena berukuran 3 x 2,5 x 0,7 meter. Bekas landasan tiang pemancar yang diperkirakan sebagai kompleks pertahanan, juga terdapat di belakang SDN 43, masih di Jalan Majapahit, 1 Ulu. Sisanya landasan tiang pemancar berukuran 1,3 meter dan diameter 4,7 meter masih terlihat. Bekas kompleks pertahanan juga terdapat di Pulau Melati, Keramasan, Kertapati.
Yang cukup menarik, bekas benteng yang terdapat di Lorong Sikam Darat, Plaju. Benteng Kembar berukuran 8 x 6 meter memang tidak utuh lagi. Namun, lokasi ini cukup menarik apalagi sisa bangunannya menunjukkan bentuk yang kokoh dan kuat. Begitu juga dengan bangunan berbentuk kawah tertelungkup di kawasan Jalan tegal Binangun, Lorong Perlindungan, Plaju. Bangunan berdiameter 14 meter dengan tinggi puncak 3,5 meter dan dinding setebal 0,9 meter, terlihat cukup unik. Jalan pintas, yang kini disebut Jalan Jepang, masih digunakan masyarakat. Jalan yang dulu diperkirakan digunakan tentara Jepang menuju Pulau Melati sepanjang 5 km dengan luas 5 meter. Jalan ini menghubungkan Keramaan-Gandus melalui Pulau Melati. Napak tilas mungkin bisa dilakukan di jalan ini. Memang dunia wisata memang sedang lesu. Berbagai teror menghantui wisatawan. Namun, menghadapi tahun 2003, bukan tidak mungkin ada angin segar yang membuat wisatawan mancanegara melirik Sumatera Selatan. Setidaknya, wisatawan asal Jepang bisa dipancing dengan objek-objek peninggalan nenek moyang mereka.
Atau paling tidak, para pelajar bisa diajak mengunjungi objek-objek ini untuk memberikan pelajaran secara langsung peninggalan penjajah yang pernah memeras negeri ini. Murid-murid yang menuntut ilmu di sekolah dasar yang tak jauh dari eks pertahanan Jepang ternyata tak banyak yang mengetahui kalau ada pelajaran berharga yang terdapat di sekitar sekolah mereka.
Kami dak tau kak kalu ado peninggalan Jepang di sini,” (kami tidak tahu kak kalau ada peninggalan Jepang di sini, red) ujar seorang murid SD di Lorong Majapahit 1 Ulu ketika diajak melihat sisa-sisa bekas pertahanan Jepang tak jauh dari sekolahnya.
(SH/muhamad nasir)
Langganan:
Postingan (Atom)