skip to main | skip to sidebar

midang musi

Menikmati Objek Wisata Di Sepanjang Musi

Jumat, 23 Desember 2011

kenang daku dalam doamu

Diposting oleh nasir andit di 18.03 Tidak ada komentar:
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

bisnis mudah

kumpulbolgger

Lencana Facebook

Profil
Profil Facebook Nasir Lubay
Buat lencana kamu sendiri

Koran Sore Indonesia

Koran Sore Indonesia
Berita Hari ini, Baca Hari ini

Bloger Pulau Andalas

Bloger Pulau Andalas
Inilah Blog Pulau Sumatera

Wong Plembang Dunia Maya

Wong Plembang Dunia Maya
Cuman Inilah Blog Wong Plembang

blog wong musi nian

blog wong musi nian
Inilah Blog Musi Asli

link foto

  • http://picasaweb.google.com

Daftar Blog

  • Komunitas Blogger Palembang
    Mengapa Kita Harus Ganti Baju Setelah Masuk Rumah?
    3 tahun yang lalu
  • Musi Pos
    Formulir Lomba Cerpen dan Puisi Siswa SLTA/Mahasiswa
    5 tahun yang lalu
  • Palembang Dalam Sketsa
    Prasati Pembangunan Kantor Leideng Palembang
    5 tahun yang lalu
  • Komunitas Blogger Sumatera
    Risiko Jika Kita Sering Menggunakan Shampo Kering
    8 tahun yang lalu
  • Palembang Daily Photo #1
    Selamat untuk Presiden Baru Indonesia
    10 tahun yang lalu
  • e-Government Palembang 2007
  • Korwil Cyber SMS
  • .:: Palembang WallPaper
  • Cerpen Musi Palembang (CMP)

selamat datang

selamat datang di bloog yang menampilkan potensi wisata sumsel ini. Sebelum mengunjungi Sumsel, ada baiknya Anda mengunjungi terlebih dahulu bloog ini.

Arsip Blog

  • ▼  2011 (1)
    • ▼  Desember (1)
      • kenang daku dalam doamu
  • ►  2010 (8)
    • ►  November (8)
  • ►  2009 (6)
    • ►  Mei (2)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2008 (12)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Juni (3)
 

bikin web murah

media

  • http://bisnis.com
  • http://bisnis.com

“Midang”, Ritual Remaja Seusai Lebaran

Oleh Muhamad Nasir Kayuagung - Diiringi musik tanjidor, ratusan pasang pengantin remaja melakukan tradisi ritual seusai Lebaran di Kayuagung, Ibu Kota Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), dengan berjalan sejauh 15 kilometer. Tradisi itu disebut midang, morge siwe. Selain menyusuri jalan di sepanjang Sungai Komering yang membelah kota yang terletak sekitar 120 km dari Palembang, Ibu Kota Sumatera Selatan, barisan pengantin remaja itu juga menyeberangi Sungai Komering dengan perahu ketek. Ini memberikan gambaran betapa mulianya ritual perkawinan yang merupakan pertanda berakhirnya masa bujang dan gadis. Tradisi ini sudah digelar turun-temurun oleh masyarakat Kayuagung yang terdiri dari sembilan marga. Hanya saja, ritual itu kini dilakukan untuk melestarikan tradisi. Sebab, masyarakat yang menggelar pesta perkawinan tak mungkin lagi bisa menyelenggarakan upacara sebesar itu. Dalam tradisi midang ini, spontanitas warga kota yang berpenduduk sekitar 150.000 keluarga ini memadati sepanjang jalan yang mereka lalui. Oleh karena banyaknya pasangan pengantin remaja yang ikut meramaikan ritual midang, kini ritual itu digelar selama dua hari, yakni pada Senin (15/10) dan Selasa (16/10). Puncaknya pada hari kedua, karena tahun ini bersamaan dengan peringatan HUT ke-62 Kabupaten Ogan Komering Ilir. Dalam ritual itu digambarkan bagaimana perkawinan itu dimulai dari perkenalan antara bujang dan gadis, lalu ada acara melamar, atau bahkan kawin lari dan diakhiri dengan perkawinan yang diwarnai arak-arakan sepasang pengantin keliling kota untuk memberi tahu warga bahwa sepasang remaja itu kini sudah berubah status. Pada ritual itu, setiap marga diwakili satu pasang pengantin inti yang berpakaian lengkap pengantin khas Kayuagung, diiringi puluhan bahkan ratusan pengantin remaja sebagai pengiring. Oleh karenanya, dari sembilan marga saja, pegantin pengiring bisa mencapai 900 orang, belum termasuk pemain musik tanjidor. Kalau ditambah arak-arakan dari kecamatan di Ogan Komering Ilir, iring-iringan pengantin ini bisa berjumlah sedikitnya dua ribu orang. Bisa dibayangkan arak-arakan ini berjajar sepanjang dua kilometer. Banyaknya jumlah pengiring ini, menurut Ketua Pemuka Adat Kayuagung Rahman Ahmad, bergantung pada besar kecilnya keluarga. Semakin besar keluarga, semakin banyak pengantin pengiring. Arak-arakan ini juga diiringi musik tanjidor yang membawakan lagu daerah. Berselendang Handuk Pengantin inti lelaki dan pengantin pengiring mengenakan handuk sebagai selendang. Sebagai pertanda bahwa seusai arak-arakan, mereka akan mandi di Sungai Komering. Saat mandi itu mereka tidak mengenakan apa-apa, kecuali handuk yang dilepas begitu tubuh masuk ke air. Mereka mesti melewati pendopoan, karena waktu zaman penjajahan, pemerintah Belanda mengharuskan para pengantin melewati pendopoan yang kini ditempati bupati. "Itu sebagai bagian dari pengontrolan pemerintah Hindia Belanda," ujar Rahman Ahmad. Tapi tahun ini, iring-iringan ini melewati panggung hiburan di lapangan sepakbola. Zaman dahulu, dalam arak-arakan juga dibawa bong (tempat mandi dari kayu yang mengapung) yang biasanya ditempatkan di sungai. "Itu pertanda ada keluarga baru, ada bong baru. Tetapi karena sekarang sulit mendapatkan kayu besar yang mengapung, bong itu ditiadakan," papar Rahman Ahmad. Selain itu, arak-arakan juga diramaikan juli, yakni gerobak yang dihiasi berbagai bentuk yang kemudian ditandu. Pengantin inti ini pun dinaikkan di atas juli saat melewati pendopoan. Kini, meski midang tanpa bong, ritual tahun ini disemarakkan juga dengan dua juli. Pasangan Gubernur Syahrial Oesman bersama istri dan Bupati OKI Ishak Meki dan istri dipandu sejauh 15 km di atas juli berbentuk naga raksasa. Sementara satu pasang pengantin remaja lainnya diangkut juli berbentuk burung. Menurut Bupati Ogan Komering Ilir Ishak Meki, pesan yang ingin disampaikan adalah tradisi arak-arakan ini tetap harus dilestarikan. "Apalagi, kalau menunggu ada perkawinan mabang handak (bawang putih) yang mampu menggelar midang, rasanya cukup sulit karena membutuhkan dana sangat besar. Oleh karenanya, sejak puluhan tahun lalu, tradisi yang dikenal sejak kesultanan Palembang tahun 1800 Masehi lalu, digelar seusai Lebaran," ujarnya di sela-sela midang. Masyarakat Kayuagung yang menetap di kota itu ataupun para perantau yang mudik saat Lebaran kini memang dapat menikmati midang tanpa perlu menggelar perkawinan. Dengan biaya swadaya masyarakat, seusai Lebaran, Kota Kayuagung akan selalu ramai. Mereka tumpah di sepanjang jalan yang dilewati peserta midang. Gubernur Sumsel Syharial Oesman bersam Bupati Ogan Komering Ilir Ishak Meki, menggantikan peran pemerintah kolonial, memberikan sambutan di pendopo didampingi para pejabat dan anggota DPRD. Barisan midang pun berlalu untuk kembali lagi tahun depan. Tradisi ini, oleh Gubernur Sumsel Syahrial Oesman dimasukkan dalam paket wisata Visit Musi 2008. n Dimuat di Sinar Harapan, Jumat 19 Oktober 2007 Copyright © Sinar Harapan 2003

”Visit Musi” Tak Sekadar Wisata Sungai

Oleh Muhamad Nasir Palembang - “Visit Musi 2008” dibuka Sabtu (5/1) ini. Meski tak dihadiri Presiden Yudhoyono, gaung peluncuran ajang wisata yang menjual ikon Sungai Musi yang memang sudah terkenal akan keindahannya itu, tak berkurang meriahnya. Apalagi, tiga menteri ditunjuk langsung oleh Presiden Yudhoyono untuk hadir, yakni Menteri Koordinator Perekonomian Budiono, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Jero Watjik, dan Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa. Jembatan Ampera yang merupakan land mark Kota Palembang bersolek demikian rupa, di Benteng Kuto Besak, hamparan luas di sisi jembatan yang dibangun dengan biaya pampasan perang Jepang itu bakal menyedot perhatian warga Palembang. Selain itu, tentunya wisatawan nusantara (wisnu) maupun wisatawan mancanegara (wisman). Keseriusan menggarap “Visit Musi 2008” memang tidak sebatas peluncuran yang memakan dana mencapai lebih dari Rp 2 miliar. Lebih dari itu, berbagai acara dipersiapkan sepanjang tahun sehingga diharapkan bisa memancing animo wisawatan berkunjung ke daerah ini. Fasilitas hotel berbintang hingga melati juga dijamin takkan mengecewakan. Hotel berbintang lima pun ada di Palembang. Belum lagi, hotel dan penginapan serta wisma, sehingga wisatawan tinggal memilih sesuai dengan kemampuan kantongnya. Kalaupun ikon yang dipilih, “Visit Musi 2008”, menurut Gubernur Sumsel H Syahrial Oesman bukan berarti yang dijual hanya sepanjang Musi itu. “Itu hanya mewakili saja. Karena sesungguhnya paket wisata yang bisa dikunjungi tersebar di wilayah Sumsel. Sebut saja, Gunung Dempo di Pagar Alam yang tak kalah dengan suasana Puncak di Jawa Barat. Lalu, ada Danau Ranau di Ogan Komering Ulu (OKU), atau Danau Teluk Gelam di Ogan Komering (OKI),” ujarnya. Selain itu, wisata sejarah berupa tempat-tempat sejarah, terutama berkaitan dengan Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Palembang, bahkan perkampungan religius tempat awal tumbuhnya Islam juga melengkapi objek wisata yang bisa dikunjungi. Guna menunjang program wisata ini, menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Sumsel Rachman Zeth, peran serta masyarakat juga terlihat, dengan terbentuknya Musi Tourism Board (MTB) yang bakal mendukung agar sepanjang tahun Sumsel tak sepi dari berbagai kegiatan. Berbagai stakeholder dilibatkan dalam organisasi ini. “Harus diyakini pula, memang Palembang telah menjadi alternatif untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat nasional, apakah itu simposium, rapat kerja, dan kegiatan lainnya dari pemerintahan, BUMN, ataupun perusahaan swasta yang biasanya memiliki waktu tinggal lebih dari dua hari. Secara tidak langsung, memberikan angin segar bagi pertumbuhan ekonomi, baik itu di bidang rumah makan, hotel, bahkan cendera mata, baik berupa pernik-pernik maupun makanan khas,” ujar Ketua Musi Tourism Board Ahmad Rizal. Perlu Pembenahan Potensi dan peluang yang ada memang menjanjikan bisa menunjang pertumbuhan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Sumsel. Tetapi, objek yang ada tentu juga perlu dibenahi. Bagaimana misalnya kondisi objek Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TKPS) yang diharapkan bisa menjadi sumber informasi sejarah Kerajaan Sriwijaya di Gandus bisa membuat pengunjung ingin kembali. Atau, kondisi kampung kapitan, bekas perkampungan ornag-orang China di zaman Belanda bisa membuat pengunjung bercerita kepada teman-temannya di tempat asalnya untuk juga mengunjungi tempat monumental itu. Begitu juga, objek-objek seperti Pulau Kemaro, bisa menambah alternatif objek yang bisa dihampiri selama di Palembang. Bagaimana kondisi objek-objek tersebut, mudah tidaknya akses ke sana. Bagaimana perlakuan tukang becak, pengemudi taksi, pedagang makanan khas, penjual cendera mata tentu juga bisa mempengaruhi keinginan wisatawan untuk kembali lagi. Jumlah pemandu wisata dan kualitas pemandu yang selama ini menjadi persoalan bagi dunia pariwisata juga harus mendapat perhatian. “Selama ini, profesi pemandu wisata hanya menjadi alternatif karena tak ada pekerjaan lain. Ini membuat pemandu kurang memenuhi standar,” ujar Ketua PHRI Sumsel, Iwan Setiawan. Jalur masuk ke Sumsel sendiri bisa melalui udara yang disambut dengan Bandara Internasional atau lewat darat dengan mobil dan kereta api. Atau lewat laut, melalui Sungai Musi. Ini tentu merupakan peluang dan potensi yang mestinya ditindaklanjuti dengan kesiapan objek-objek yang tidak membuat wisatawan kecewa. n Copyright © Sinar Harapan 2003. dimuat di Sinar Harapan. halaman Nusantara, edisi Sabtu (5 Januari 2008)

Musi Menunggu Wisatawan

Sinar Harapan edisi, Kamis, 15 November 2007





Wisata

Musi Menunggu Wisatawan



Oleh
Muhamad Nasir

PALEMBANG - Sungai Musi bagi warga Palembang merupakan salah satu land-mark. Keindahan dan objek yang tersedia alami dan membawa pengunjungnya ke wisata nature, kembali ke alam.

Julukan Palembang dengan “Sungai Musi, Venesia dari Timur” pun sudah tak asing lagi.
Keindahan Musi juga dijadikan inspirasi lagu berjudul “Sebiduk di Sungai Musi”. Lagu ini menggambarkan pesona sungai yang membelah Kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) ini.
Atau bacalah kembali novel Dian Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisyahbana, di sana ada juga kisah tentang keelokan sungai ini.
Sungai dengan panjang 460 kilometer dan lebar rata-rata 300 meter itu, memang menjanjikan nuansa tersendiri. Makanya tak salah kalau dijadikan salah satu alternatif untuk dikunjungi wisatawan.
Menikmati suasana Sungai Musi bisa dengan berbagai cara. Pertama, lewat darat atau kedua, langsung “mencebur” ke Sungai Musi menggunakan perahu ketek atau kapal pesiar. Yang pertama, bisa lewat Jembatan Ampera.
Dari atas Jembatan Ampera yang dibangun dengan biaya pampasan perang Jepang, rumah rakit, dan aktivitas keseharian warga Palembang di Sungai Musi bisa dinikmati dengan gratis.
Akan lebih eksotik kalau malam hari. Sungai Musi yang bertabur lampu dari rumah rakit yang berjajar di sepanjang tepi sungai yang tak berpantai, memberikan ketenangan tersendiri. Begitu pun terangnya lampu di Jembatan Ampera.
Orang-orang memancing ikan juaro dari Jembatan Ampera juga menjadi pemandangan tersendiri. Atau, kita pun bisa ikut memancing dari jembatan itu. Hingga pukul 23.00 WIB, suasana malam hari di Jembatan Ampera masih bisa dinikmati.
Bisa pula kita menikmati keindahan Jembatan Ampera dari kawasan Benteng Kuto Besak (BKB). Kawasan ini berupa lapangan terbuka dengan dermaga bagi kapal maupun perahu. Kalau siang hari, bisa dijadikan tempat menikmati suasana lalu lintas dan kesibukan warga Palembang di atas air Musi. Pun malam hari, bersama pengunjung lainnya, bisa memandang Jembatan Ampera.
Restoran Terapung
Kalau perut sudah lapar, kita juga bisa menikmati deburan ombak Sungai Musi dari atas warung makan. Namanya, Warung Legenda.
Kalau dulu berada di seberang ulu dekat eks terminal 7 Ulu, kini sudah dialihkan ke sebelah ilir (di bawah Jembatan Ampera dekat dermaga), dengan menu masakan khas Palembang, seperti pindang patin, berengkes ikan, atau udang bakar. Setidaknya ada lima pondok terapung.
Usai mengisi perut, di seputar Ampera ada empat objek wisata yang bisa dikunjungi, yakni Benteng Kuto Besak yang dulu jadi benteng pertahanan Kesultanan Palembang Darusalam yang menurut cerita dibangun menggunakan putih telur.
Dan kini di dalamnya ada Rumah Sakit AK Gani, pahlawan Palembang yang tahun ini dinobatkan menjadi pahlawan nasional. Ada pula museum peninggalan Kesultanan Palembang Darusalam, yang dulunya Istana Sultan Mahmud Badaruddin (SMB).
Dan di belakangnya, ada Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera). Bagi umat Muslim, objek wisata religius juga tersedia, yakni Mesjid Agung yang dibangun zaman Kesultanan Palembang Darusalam. Oleh mantan Presiden Megawati Soekarnoputri ditetapkan sebagai Masjid Nasional.
Cara kedua adalah lewat Sungai Musi dengan perahu ketek, perahu yang dilengkapi mesin. Suaranya memang ketek-ketek sehingga disebut perahu ketek.
Bisa juga dengan menumpang kapal wisata. Ada dua kapal wisata berukuran besar, yakni Sigentar Alam dan Putri Kembang Dadar. Selain itu, masih ada perahu jukung yang cukup besar.
Kalau memakai perahu ketek, dengan uang Rp 50.000 sudah bisa menikmati satu kali jalan wisata Musi untuk 2-4 orang. Sementara dengan kapal wisata atau kapal jukung, tarifnya Rp 50.000 hingga Rp 70.000 per orang, dengan fasilitas karaoke dan makan siang atau makan malam plus kudapan.
Objek yang dilintasi biasanya memakan waktu sekitar dua jam di atas Musi. Dengan melihat objek-objek dari atas kapal, seperti Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS), di sepanjang perjalanan rumah-rumah rakit terlihat, plus pabrik-parik karet.
Lalu memutar dan menuju ke arah Pulau Kemaro. Selain rumah rakit, akan ada perumahan kapitan, tempat permukiman pecinan yang kini sedang direhab.
Tak jauh dari Jembatan Ampera ada Dermaga Boombaru, pabrik Pupuk Sriwijaya, dan terakhir Pulau Kemaro. Di pulau ini terdapat Kelenteng Hok Ceng Bio yang selalu ramai saat peringatan Cap Gomeh, puncak perayaan Tahun Baru Imlek.
Nuansa Musi sesungguhnya barulah sebagian objek wisata yang bisa dikunjungi di Sumsel karena masih ada rangkaian objek lainnya.
Untuk meginap, hotel berbintang dan melati juga tidak menjadi masalah. Hanya saja, jumlah pemandu wisata masih terbatas. Saat ini, menurut Ketua Perhimpuan Hotel dan Restoran Susmel (PHRI) Iwan Setiawan, baru ada sekitar 80 orang.
Idealnya, padahal 250 orang. Terlebih menyambut “Visit Musi 2008 mendatang”, tentunya harus ada perhatian khusus untuk menyediakan pemandu yang memadai. n

Copyright © Sinar Harapan 2003