Selasa, 09 Desember 2008

Midang Kayuagung





“Midang”, Ritual Remaja Seusai Lebaran


Oleh Muhamad Nasir Kayuagung - Diiringi musik tanjidor, ratusan pasang pengantin remaja melakukan tradisi ritual seusai Lebaran di Kayuagung, Ibu Kota Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), dengan berjalan sejauh 15 kilometer. Tradisi itu disebut midang, morge siwe. Selain menyusuri jalan di sepanjang Sungai Komering yang membelah kota yang terletak sekitar 120 km dari Palembang, Ibu Kota Sumatera Selatan, barisan pengantin remaja itu juga menyeberangi Sungai Komering dengan perahu ketek. Ini memberikan gambaran betapa mulianya ritual perkawinan yang merupakan pertanda berakhirnya masa bujang dan gadis. Tradisi ini sudah digelar turun-temurun oleh masyarakat Kayuagung yang terdiri dari sembilan marga. Hanya saja, ritual itu kini dilakukan untuk melestarikan tradisi. Sebab, masyarakat yang menggelar pesta perkawinan tak mungkin lagi bisa menyelenggarakan upacara sebesar itu. Dalam tradisi midang ini, spontanitas warga kota yang berpenduduk sekitar 150.000 keluarga ini memadati sepanjang jalan yang mereka lalui. Oleh karena banyaknya pasangan pengantin remaja yang ikut meramaikan ritual midang, kini ritual itu digelar selama dua hari, yakni pada Senin (15/10) dan Selasa (16/10). Puncaknya pada hari kedua, karena tahun ini bersamaan dengan peringatan HUT ke-62 Kabupaten Ogan Komering Ilir. Dalam ritual itu digambarkan bagaimana perkawinan itu dimulai dari perkenalan antara bujang dan gadis, lalu ada acara melamar, atau bahkan kawin lari dan diakhiri dengan perkawinan yang diwarnai arak-arakan sepasang pengantin keliling kota untuk memberi tahu warga bahwa sepasang remaja itu kini sudah berubah status. Pada ritual itu, setiap marga diwakili satu pasang pengantin inti yang berpakaian lengkap pengantin khas Kayuagung, diiringi puluhan bahkan ratusan pengantin remaja sebagai pengiring. Oleh karenanya, dari sembilan marga saja, pegantin pengiring bisa mencapai 900 orang, belum termasuk pemain musik tanjidor. Kalau ditambah arak-arakan dari kecamatan di Ogan Komering Ilir, iring-iringan pengantin ini bisa berjumlah sedikitnya dua ribu orang. Bisa dibayangkan arak-arakan ini berjajar sepanjang dua kilometer. Banyaknya jumlah pengiring ini, menurut Ketua Pemuka Adat Kayuagung Rahman Ahmad, bergantung pada besar kecilnya keluarga. Semakin besar keluarga, semakin banyak pengantin pengiring. Arak-arakan ini juga diiringi musik tanjidor yang membawakan lagu daerah. Berselendang Handuk Pengantin inti lelaki dan pengantin pengiring mengenakan handuk sebagai selendang. Sebagai pertanda bahwa seusai arak-arakan, mereka akan mandi di Sungai Komering. Saat mandi itu mereka tidak mengenakan apa-apa, kecuali handuk yang dilepas begitu tubuh masuk ke air. Mereka mesti melewati pendopoan, karena waktu zaman penjajahan, pemerintah Belanda mengharuskan para pengantin melewati pendopoan yang kini ditempati bupati. "Itu sebagai bagian dari pengontrolan pemerintah Hindia Belanda," ujar Rahman Ahmad. Tapi tahun ini, iring-iringan ini melewati panggung hiburan di lapangan sepakbola.






Zaman dahulu, dalam arak-arakan juga dibawa bong (tempat mandi dari kayu yang mengapung) yang biasanya ditempatkan di sungai. "Itu pertanda ada keluarga baru, ada bong baru. Tetapi karena sekarang sulit mendapatkan kayu besar yang mengapung, bong itu ditiadakan," papar Rahman Ahmad. Selain itu, arak-arakan juga diramaikan juli, yakni gerobak yang dihiasi berbagai bentuk yang kemudian ditandu. Pengantin inti ini pun dinaikkan di atas juli saat melewati pendopoan. Kini, meski midang tanpa bong, ritual tahun ini disemarakkan juga dengan dua juli. Pasangan Gubernur Syahrial Oesman bersama istri dan Bupati OKI Ishak Meki dan istri dipandu sejauh 15 km di atas juli berbentuk naga raksasa. Sementara satu pasang pengantin remaja lainnya diangkut juli berbentuk burung. Menurut Bupati Ogan Komering Ilir Ishak Meki, pesan yang ingin disampaikan adalah tradisi arak-arakan ini tetap harus dilestarikan. "Apalagi, kalau menunggu ada perkawinan mabang handak (bawang putih) yang mampu menggelar midang, rasanya cukup sulit karena membutuhkan dana sangat besar. Oleh karenanya, sejak puluhan tahun lalu, tradisi yang dikenal sejak kesultanan Palembang tahun 1800 Masehi lalu, digelar seusai Lebaran," ujarnya di sela-sela midang. Masyarakat Kayuagung yang menetap di kota itu ataupun para perantau yang mudik saat Lebaran kini memang dapat menikmati midang tanpa perlu menggelar perkawinan. Dengan biaya swadaya masyarakat, seusai Lebaran, Kota Kayuagung akan selalu ramai. Mereka tumpah di sepanjang jalan yang dilewati peserta midang. Gubernur Sumsel Syharial Oesman bersam Bupati Ogan Komering Ilir Ishak Meki, menggantikan peran pemerintah kolonial, memberikan sambutan di pendopo didampingi para pejabat dan anggota DPRD. Barisan midang pun berlalu untuk kembali lagi tahun depan. Tradisi ini, oleh Gubernur Sumsel Syahrial Oesman dimasukkan dalam paket wisata Visit Musi 2008. n

Dimuat di Sinar Harapan, Jumat 19 Oktober 2007 Copyright © Sinar Harapan 2003

Tidak ada komentar: