Selasa, 09 Desember 2008

Wisata Musi, Rumah Kapitan

Kampung Kapitan, Bukan Sekadar Perkampungan Cina










Kampung Kapitan memang salah satu bentuk bangunan peninggalan China. Namun, bukan cirri khas Cina yang melekat di sana melainkan perpaduan perpaduan antara budaya Palembang, Cina dan Belanda, terasa kental di kawaan yang terletak di pinggir Sungai Musi ini.



Menurut budayawan dan sejarawan Palembang, Djohan Hanafiah, munculnya Kampung Kapitan berkaitan dengan runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad XI dan munculnya Dinasti Ming di Cina pada abad XIV. Saat itu, Dinasti Ming membatasi jumlah pedagang Cina yang akan berdagang ke arah selatan (Kepulauan Nusantara), dengan membentuk semacam lembaga dagang negara.

Lembaga dagang itu menjadikan Palembang sebagai salah satu basis dagang yang besar. Sebagai kota perniagaan, banyak orang Cina yang datang dan menetap di Palembang.

Sebagian dari mereka berinteraksi dan menikah dengan gadis Palembang yang beragama Islam. Salah satu kepala kantor dagang Cina yang terkenal saat itu, kata Djohan, yakni Liang Taow Ming. Liang mampu mengikat persatuan yang kuat antar masyarakat Cina sehingga mereka menjadi komunitas yang kuat dan cukup diperhitungkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Ketika di masa itu, kekuasaan kolonial menjadi lebih kuat atas Kesultanan Palembang Darussalam, Belanda mulai mengangkat perwira Cina untuk mengatur wilayah 7 Ulu dan sekitarnya. Perwira tersebut semula bertugas mengatur komunitas Cina saja. Akan tetapi, seiring makin kuatnya Belanda, perwira Cina juga mulai memegang kendali atas masyarakat pribumi.

Menurut Tjoa Kok Lim alias Kohar (72), cucu kapitan terakhir, Tjoa Ham Hin, dua perwira Cina pertama berpangkat mayor. Mereka dikenal sebagai Mayor Tumenggung dan Mayor Putih. Nama asli keduanya sulit untuk dilacak kembali, tetapi mereka berasal dari marga Tjoa.



Sejak zaman Sriwijaya, dan hingga kini, Sungai Musi telah menjadi urat nadi jalur transfortasi air yang berfungsi sebagai salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi di Kota Palembang sekitarnya.

Aktivitas di Sungai Musi cukup padat, alur mudik jenis kapal perahu, getek, tongkang, tag boat maupun speed boat yang membawa hasil bumi pun dapat terlihat. Namun dibalik padatnya aktivitas di Sungai yang membela Kota Palembang menjadi dua, yakni Seberang Ulu dan Ilir ini, ada hal yang lebih menarik perhatian dan berpotensi untuk menarik minat wisata mancanegara maupun domestik.









Kampung Kapitan merupakan kelompok 15 bangunan rumah panggung ala Cina yang terletak di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1, Palembang. Kampung itu, pada awalnya, merupakan tempat tinggal seorang perwira keturunan Cina berpangkat kapitan (sekarang disebut kapten) yang bekerja untuk Pemerintah Kolonial Belanda.


Adopsi Rumah Tradisional

Peruntukkan lahan di Seberang Ulu ini memang ditujukan bagi pendatang dari luar Palembang. Uniknya bahwa bentuk rumah mengadopsi bentuk rumah limas–rumah tradisional Palembang– yang memang diperuntukkan untuk para bangsawan Palembang.

Tipologi tampang rumah Kapitan adalah tipologi tampang rumah limas. Namun pada
denah rumah tersebut masih mengadopsi tipologi rumah masyarakat China dengan courtyard pada bagian tengah rumah, yang berguna bagi penghawaan dan masuknya cahaya.

Mereka juga tidak meninggalkan tradisi, dan nampak pada interior rumah yang dilengkapi dengan meja altar pemujaan bagi leluhur. Perpaduan ini dapat dipahami sebab pada masa akhir pemerintahan Kesultanan Palembang masyarakat Tionghoa mulai membaur dengan masyarakat asli Palembang melalui perkawinan atau memeluk agama Islam. Pembauran tersebut juga mereka wujud nyatakan dalam bentuk rumah tinggal mereka.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Tionghoa mengalami perubahan dari masyarakat yang diawasi menjadi masyarakat yang mempunyai kedudukan istimewa. merupakan bukti hubungan yang dibangun oleh masyarakat Tionghoa– dalam hal ini pemimpin mereka–terhadap pemerintah Kolonial Belanda.











Kolom penyangga pada bagian teras depan yang pada rumah pertama berbahan kayu berganti menjadi sebuah kolom bata dengan style klasik Eropa, walau dengan proporsi yang disesuaikan dengan tampang bangunan. Kebudayaan Eropa tidak hanya terungkap dalam elemen arsitektur berupa kolom, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari pun mereka – Kapitan -mencoba berinteraksi secara aktif terhadap penjajah Belanda, yaitu dengan penggunaan jas, yang merupakan pakaian masyarakat Eropa.

Penggunaan baju bergaya Eropa dimaksudkan sebagai identitas bahwa mereka mempunyai relasi yang cukup dekat dengan pemerintah Belanda.

Pada masa itu, seorang kapitan bertugas untuk memungut pajak dari masyarakat Cina dan masyarakat pribumi yang berada di Wilayah Seberang Ulu Palembang. Kapitan juga bertugas untuk menjaga keamanan wilayah dan mengatur tata niaga candu di wilayah terbatas.

Bangunan inti di Kampung Kapitan terdiri atas tiga rumah, merupakan bangunan yang paling besar dan menghadap ke arah Sungai Musi. Rumah di tengah merupakan rumah yang lebih sering difungsikan untuk menyelenggarakan pesta dan pertemuan-pertemuan dengan banyak orang. Sementara kedua rumah di sisi timur dan barat lebih banyak difungsikan sebagai rumah tinggal.

Dari arah darat hanya ada satu jalan masuk ke Kampung Kapitan, yang berjarak sekitar 800 meter dari bawah Jembatan Ampera. Di jalan masuk terdapat dua gerbang yang daun pintunya hilang.


Muhammad Saleh alias Ujang (74), Ketua di Kampung Kapitan, menuturkan, interaksi antara masyarakat keturunan Cina dan masyarakat pribumi berlangsung dengan baik. Banyak warga keturunan Cina, terutama dari keluarga besar kapitan, yang menikah dengan pribumi.

Dalam melaksanakan tugasnya untuk menarik pajak dan menjaga keamanan, kapitan juga bekerja sama dengan para demang (setingkat lurah) yang merupakan penduduk pribumi. Mayoritas pegawai kapitan juga berasal dari masyarakat pribumi dan mereka membangun rumah kecil yang menempel di sisi rumah utama.

Meskipun hubungan kapitan dan pegawainya adalah atasan dan bawahan, kata Ujang, Kapitan Tjoa Ham Hin sering berlaku seperti tetangga kepada para pegawainya. Mereka saling membantu. Kerukunan antara masyarakat pribumi dan keluarga kapitan terlihat dalam berbagai upacara hari besar keagamaan.

Kini, keanggunan Kampung Kapitan sudah nyaris hilang. Hanya bangunan-bangunan kuno yang masih tegak berdiri, meskipun banyak kerusakan kecil di berbagai sudut.

Selain itu, bagian bangunan yang terbuat dari kayu juga tampak kusam dimakan usia. Namun, dinding kayu tidak rusak karena terbuat dari kayu unglen yang mampu bertahan selama ratusan tahun.

Di dalam rumah, meja abu dan altar sembahyang yang dihiasi patung beberapa dewa, juga terlihat berdebu dan dikotori sarang laba-laba. Hampir tidak ada lagi meja kursi atau lemari yang dapat menggambarkan situasi masa lalu. Hanya ada beberapa foto kapitan masih terpampang di ruang tamu rumah sebelah timur.

Taman bagian tengah kampung juga sudah berubah menjadi tanah lapang yang tidak terurus. Dua patung singa, lambang rumah perwira Cina, yang dulu pernah menghiasi bagian depan rumah inti juga hilang.

Menurut Tjoa Kok Lim, Kampung Kapitan menjadi tidak terurus dengan baik setelah ditinggalkan para keturunan kapitan. Tjoa Kok Lim menjaga rumah itu karena keempat saudara perempuannya mengikuti suami mereka ke luar Palembang.

Pudarnya ketenaran Kampung Kapitan juga membuat anak-anak Tjoa Kok Lim memilih bekerja di Jakarta dan Lampung. Ia kini hanya ditemani seorang anak perempuan untuk menjaga kedua rumah inti, setelah rumah ketiga dijual kepada orang lain. Rumah-rumah kecil di Kampung Kapitan juga sudah dikuasai para penghuninya, dan tidak lagi dalam kepemilikan keluarga kapitan Tjoa Ham Hin. (sh/muhamad nasir)

Tidak ada komentar: