Selasa, 09 Desember 2008

wisata kemilau

Kemilau Sumatera Dipusatkan di Palembang

Palembang:
Kemilau Sumatera yang merupakan bagian dari program pariwisata Visit Indonesia Year 2008, tahun ini dipusatkan di kota Palembang , ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Ada 10 provinsi di Sumatera yang mengikuti acara ini dengan menggelar stand untuk mempromosikan tempat-tempat wisata di daerah masing-masing.
Misalnya, Provinsi Nangro Aceh Darussalam, (NAD), Sumatera Barat, Provinsi Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Riau, Bangka Belitung, dan Sumatera Utara. Lima belas kabupaten dan kota di Sumatera Selatan, Musi Tourism Board ( MTB ), PHRI, dan Asita, turut ambil bagian dalam ajang Kemilau Sumatera ini.
Direktur Promosi Dalam Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Fathul Bahri mengatakan selain Kemilau Sumatera, pihaknya juga akan menggelar Kemilau Sulawesi untuk menunjang sukses Visit Indonesia Year 2008.
"Kemilau Sumatera ini memberi wadah bagi pemerintah daerah se wilayah Sumatera untuk melakukan promosi pariwisata perdagangan dan ninvestasi terpadu setrta membantu percepatan pembangunan kepariwisataan di kawasan Sumatera dan sekitarnya," ujarnya didampingi Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel, Rachman Zeth.
“Kemilau Sumatera merupakan salah satu bentuk komitmen kami untuk menyukseskan progaram Visit Indonesia Year 2008. Dipusatkan di. Palembang, dengan pertimbangan untuk membangun sinergi dan keterpaduan program, khususnya membangun citra yang lebih kuat mengenai kepariwisataan Indonesia,” kata Fathul di sela-sela lounching Kemilau Sumatera, yang berlangsung di areal Palembang Square 17-20 Juli 2008 mendatang.
Tahun ini, katanya, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menargetkan jumlah kunjungan wisata nusantara sebanyak 223 juta orang dan 7 juta wisatawan mancanegara. Untuk mencapai target ini, pihaknya sudah mempetakan sebanyak 10 daerah unggulan yang ada di Indonesia .
Daerah unggulan tersebut, diantaranya, Sumatera Barat, Sulawesik Selatan, Sulawesi Utara, NTB, NTT , Riau Sumatera Selatan, Papua Barat dan Kalimantan Timur.
Di sisi lain, melakukan pola penjualan objek wisata dengan sistem gerilya marketing. Pola gerilya marketing ini dilakukan dengan merangkul pihak swasta terutama yang bergerak di bidang pemasaran produk.
“Seperti saat ini, kita melakukan peluncuran di areal mall. Ini merupakan salah satu tempat yang sangat strategis, dan efektif untuk memperkenalkan tempat-tempat wisata di tanah air, kepada pengunjung yang berbelanja di mall,” katanya.
Dia mengakui, potensi wisata Indonesia , sebetulnya tidak kalah dengan negara-negara lain, hanya saja sistem packeging nya yang perlu dibenahi. Di sisi lain pembenahan infratsruktur merupakan bagian yang penting yang perlu dibenahi untuk menunjang suksesnya Visit Indonesia Year 2008. (sir)

Wisata Musi, Rumah Kapitan

Kampung Kapitan, Bukan Sekadar Perkampungan Cina










Kampung Kapitan memang salah satu bentuk bangunan peninggalan China. Namun, bukan cirri khas Cina yang melekat di sana melainkan perpaduan perpaduan antara budaya Palembang, Cina dan Belanda, terasa kental di kawaan yang terletak di pinggir Sungai Musi ini.



Menurut budayawan dan sejarawan Palembang, Djohan Hanafiah, munculnya Kampung Kapitan berkaitan dengan runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad XI dan munculnya Dinasti Ming di Cina pada abad XIV. Saat itu, Dinasti Ming membatasi jumlah pedagang Cina yang akan berdagang ke arah selatan (Kepulauan Nusantara), dengan membentuk semacam lembaga dagang negara.

Lembaga dagang itu menjadikan Palembang sebagai salah satu basis dagang yang besar. Sebagai kota perniagaan, banyak orang Cina yang datang dan menetap di Palembang.

Sebagian dari mereka berinteraksi dan menikah dengan gadis Palembang yang beragama Islam. Salah satu kepala kantor dagang Cina yang terkenal saat itu, kata Djohan, yakni Liang Taow Ming. Liang mampu mengikat persatuan yang kuat antar masyarakat Cina sehingga mereka menjadi komunitas yang kuat dan cukup diperhitungkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Ketika di masa itu, kekuasaan kolonial menjadi lebih kuat atas Kesultanan Palembang Darussalam, Belanda mulai mengangkat perwira Cina untuk mengatur wilayah 7 Ulu dan sekitarnya. Perwira tersebut semula bertugas mengatur komunitas Cina saja. Akan tetapi, seiring makin kuatnya Belanda, perwira Cina juga mulai memegang kendali atas masyarakat pribumi.

Menurut Tjoa Kok Lim alias Kohar (72), cucu kapitan terakhir, Tjoa Ham Hin, dua perwira Cina pertama berpangkat mayor. Mereka dikenal sebagai Mayor Tumenggung dan Mayor Putih. Nama asli keduanya sulit untuk dilacak kembali, tetapi mereka berasal dari marga Tjoa.



Sejak zaman Sriwijaya, dan hingga kini, Sungai Musi telah menjadi urat nadi jalur transfortasi air yang berfungsi sebagai salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi di Kota Palembang sekitarnya.

Aktivitas di Sungai Musi cukup padat, alur mudik jenis kapal perahu, getek, tongkang, tag boat maupun speed boat yang membawa hasil bumi pun dapat terlihat. Namun dibalik padatnya aktivitas di Sungai yang membela Kota Palembang menjadi dua, yakni Seberang Ulu dan Ilir ini, ada hal yang lebih menarik perhatian dan berpotensi untuk menarik minat wisata mancanegara maupun domestik.









Kampung Kapitan merupakan kelompok 15 bangunan rumah panggung ala Cina yang terletak di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1, Palembang. Kampung itu, pada awalnya, merupakan tempat tinggal seorang perwira keturunan Cina berpangkat kapitan (sekarang disebut kapten) yang bekerja untuk Pemerintah Kolonial Belanda.


Adopsi Rumah Tradisional

Peruntukkan lahan di Seberang Ulu ini memang ditujukan bagi pendatang dari luar Palembang. Uniknya bahwa bentuk rumah mengadopsi bentuk rumah limas–rumah tradisional Palembang– yang memang diperuntukkan untuk para bangsawan Palembang.

Tipologi tampang rumah Kapitan adalah tipologi tampang rumah limas. Namun pada
denah rumah tersebut masih mengadopsi tipologi rumah masyarakat China dengan courtyard pada bagian tengah rumah, yang berguna bagi penghawaan dan masuknya cahaya.

Mereka juga tidak meninggalkan tradisi, dan nampak pada interior rumah yang dilengkapi dengan meja altar pemujaan bagi leluhur. Perpaduan ini dapat dipahami sebab pada masa akhir pemerintahan Kesultanan Palembang masyarakat Tionghoa mulai membaur dengan masyarakat asli Palembang melalui perkawinan atau memeluk agama Islam. Pembauran tersebut juga mereka wujud nyatakan dalam bentuk rumah tinggal mereka.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Tionghoa mengalami perubahan dari masyarakat yang diawasi menjadi masyarakat yang mempunyai kedudukan istimewa. merupakan bukti hubungan yang dibangun oleh masyarakat Tionghoa– dalam hal ini pemimpin mereka–terhadap pemerintah Kolonial Belanda.











Kolom penyangga pada bagian teras depan yang pada rumah pertama berbahan kayu berganti menjadi sebuah kolom bata dengan style klasik Eropa, walau dengan proporsi yang disesuaikan dengan tampang bangunan. Kebudayaan Eropa tidak hanya terungkap dalam elemen arsitektur berupa kolom, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari pun mereka – Kapitan -mencoba berinteraksi secara aktif terhadap penjajah Belanda, yaitu dengan penggunaan jas, yang merupakan pakaian masyarakat Eropa.

Penggunaan baju bergaya Eropa dimaksudkan sebagai identitas bahwa mereka mempunyai relasi yang cukup dekat dengan pemerintah Belanda.

Pada masa itu, seorang kapitan bertugas untuk memungut pajak dari masyarakat Cina dan masyarakat pribumi yang berada di Wilayah Seberang Ulu Palembang. Kapitan juga bertugas untuk menjaga keamanan wilayah dan mengatur tata niaga candu di wilayah terbatas.

Bangunan inti di Kampung Kapitan terdiri atas tiga rumah, merupakan bangunan yang paling besar dan menghadap ke arah Sungai Musi. Rumah di tengah merupakan rumah yang lebih sering difungsikan untuk menyelenggarakan pesta dan pertemuan-pertemuan dengan banyak orang. Sementara kedua rumah di sisi timur dan barat lebih banyak difungsikan sebagai rumah tinggal.

Dari arah darat hanya ada satu jalan masuk ke Kampung Kapitan, yang berjarak sekitar 800 meter dari bawah Jembatan Ampera. Di jalan masuk terdapat dua gerbang yang daun pintunya hilang.


Muhammad Saleh alias Ujang (74), Ketua di Kampung Kapitan, menuturkan, interaksi antara masyarakat keturunan Cina dan masyarakat pribumi berlangsung dengan baik. Banyak warga keturunan Cina, terutama dari keluarga besar kapitan, yang menikah dengan pribumi.

Dalam melaksanakan tugasnya untuk menarik pajak dan menjaga keamanan, kapitan juga bekerja sama dengan para demang (setingkat lurah) yang merupakan penduduk pribumi. Mayoritas pegawai kapitan juga berasal dari masyarakat pribumi dan mereka membangun rumah kecil yang menempel di sisi rumah utama.

Meskipun hubungan kapitan dan pegawainya adalah atasan dan bawahan, kata Ujang, Kapitan Tjoa Ham Hin sering berlaku seperti tetangga kepada para pegawainya. Mereka saling membantu. Kerukunan antara masyarakat pribumi dan keluarga kapitan terlihat dalam berbagai upacara hari besar keagamaan.

Kini, keanggunan Kampung Kapitan sudah nyaris hilang. Hanya bangunan-bangunan kuno yang masih tegak berdiri, meskipun banyak kerusakan kecil di berbagai sudut.

Selain itu, bagian bangunan yang terbuat dari kayu juga tampak kusam dimakan usia. Namun, dinding kayu tidak rusak karena terbuat dari kayu unglen yang mampu bertahan selama ratusan tahun.

Di dalam rumah, meja abu dan altar sembahyang yang dihiasi patung beberapa dewa, juga terlihat berdebu dan dikotori sarang laba-laba. Hampir tidak ada lagi meja kursi atau lemari yang dapat menggambarkan situasi masa lalu. Hanya ada beberapa foto kapitan masih terpampang di ruang tamu rumah sebelah timur.

Taman bagian tengah kampung juga sudah berubah menjadi tanah lapang yang tidak terurus. Dua patung singa, lambang rumah perwira Cina, yang dulu pernah menghiasi bagian depan rumah inti juga hilang.

Menurut Tjoa Kok Lim, Kampung Kapitan menjadi tidak terurus dengan baik setelah ditinggalkan para keturunan kapitan. Tjoa Kok Lim menjaga rumah itu karena keempat saudara perempuannya mengikuti suami mereka ke luar Palembang.

Pudarnya ketenaran Kampung Kapitan juga membuat anak-anak Tjoa Kok Lim memilih bekerja di Jakarta dan Lampung. Ia kini hanya ditemani seorang anak perempuan untuk menjaga kedua rumah inti, setelah rumah ketiga dijual kepada orang lain. Rumah-rumah kecil di Kampung Kapitan juga sudah dikuasai para penghuninya, dan tidak lagi dalam kepemilikan keluarga kapitan Tjoa Ham Hin. (sh/muhamad nasir)

wisata kuliner, maksubah











Lebaran Tak Lengkap Tanpa Maksubah


Palembang:

Sudah mahfum, makanan khas Palembang adalah pempek dan kemplang plus makanan turunan lainnya, seperti tekwan, model, dan lenggang. Makanan gurih yang berbahan dasar ikan ini pun disukai orang-orang di luar Palembang.

Jika Anda menyempatkan diri berkunjung ke Palembang saat lebaran, ternyata bukan cuma pempek dan beragam turunannya yang menjadi sajian khas. Ada sajian yang khusus dibuat pada waktu-waktu tertentu, seperti lebaran atau untuk menunjukkan tanda bakti anak-menantu kepada orangtua dan mertua, sekaligus suguhan penghormatan kepada tamu.

Makanan itu diberi nama kue maksubah. Ketika Anda disuguhi kue maksubah, itu pertanda tuan rumah menghormati Anda dan menganggap Anda sebagai tamu kehormatan.

Kue ini memang tergolong rumit pembuatannya. Bahannya memang tak macam-macam, cukup telur bebek, susu, gula dan mentega. Hanya saja, kelezatannya bisa membuat lidah ingin terus mencicipinya.

Diakui Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) III, Rms Syafei Diraja, kue maksubah memang tergolong penganan yang disajikan pada acara–acara khusus. ”Umumnya disajikan untuk menghormati tamu,” ujar Syafei Diraja.

Maksubah juga dikenal sebagai kue tanda bakti pengantin baru kepada orang tua dan mertua. "Apalagi bagi pengantin baru, ada semacam keharusan memberi antaran ke mertua saat lebaran. Yang paling bagus, ya, maksubah itulah. Kalau dulu biasanya bikinan sendiri. Tapi, sekarang, bisa juga dipesan kepada pembuat kue,” terang Wiriantini (35), seorang pembuat kue tradisional di Palembang.
Ibu tiga anak itu kini hanya memproduksi maksubah saat menjelang Lebaran. Menjelang Lebaran, dia bisa menerima pesanan sekitar 20 hingga 30 loyang kue maksubah untuk konsumsi keluarga maupun pesanan pelanggannya.
Begitu juga diungkapkan Halimah Yunus, seorang pembuat kue tradisional yang saat lebaran menerima pesanan tak kurang dari seratus loyang khusus untuk kue maksubah saja. Belum termasuk kue jenis lainnya.
"Kalau mau cari yang enak betul memang harus pesan ke pembuat maksuba yang tulen. Dijamin lemak nian buatannya (dijamin enak sekali rasanya, red) ," ujar Ny Siti Romlah, ibu rumah tangga di Palembang.
Tetapi yang harus dijaga, kue maksubah, selain lemak nian, tergolong makanan yang berkadar kolesterol tinggi. Karenanya, yang berpenyakit darah tinggi mesti hati-hati mencicipinya.

Telaten
Meskipun bahan-bahan yang diperlukan tidak beragam, harga maksubah tergolong mahal. Ini wajar karena proses pembuatan maksuba memang memerlukan ketelatenan. Di situlah keistimewaan yang membuat maksuba menjadi "makanan kehormatan".
Maksuba biasanya dicetak dalam sebuah loyang segi empat berukuran 21 x 21 x 7 cm. Untuk setiap loyang maksuba itu, disiapkanlah adonan 28 butir telur bebek, satu kaleng susu kental manis, seperempat kg mentega, dan sekitar delapan ons gula pasir.

Tahap pertama, telur, gula, dan mentega yang dicairkan dikocok hingga bercampur tanpa perlu mengembang. Setelah itu dicampurkan pula susu. Aroma kue dapat ditambahkan jika ingin mengurangi aroma telur dan susu yang sangat kuat. Berbeda dengan bahan adonan yang terkesan sederhana, pemanggangan kue ini memang lebih rumit. Pemanggang yang digunakan biasanya panggangan tradisional. Semacam oven terbuat dari tanah dengan pengapian di bagian bawah dan atas yang dinyalakan secara manual.

Harus terus dijaga agarnya arangnya tetap membara selama proses pemanggangan.
Adonan maksuba dimasukkan dan dipanggang sedikit demi sedikit sehingga kue yang dihasilkan berlapis-lapis. Untuk setiap lapisan, dituangkan sekitar 250 ml adonan ke dalam loyang. Setelah lapisan yang dipanggang matang, adonan dituangkan kembali di atas lapisan maksubah untuk membuat lapisan berikutnya.

Dengan komposisi bahan yang cukup mahal dan rumitnya pengerjaan, tak heran harga satu loyang maksubah pun mencapai Rp100 ribu hingga Rp150 ribu.
Namun demikian, soal harga ini sebenarnya cukup bervariasi. Untuk pemesanan di kampung-kampung, tarif pembuatan maksubah ini ada juga yang berkisar Rp45 ribu hingga Rp60 ribu saja. Sementara untuk upah pembuatannya saja, berkisar Rp20 ribu hingga Rp 35 ribu. Maksudnya, bahan dari pemesan, pembuat hanya memasaknya saja. Tinggal pilih, sesuai ”dalamnya” kantong.

Sebenarnya masih ada beberapa kue tradisional di Palembang yang hampir menyamai "kelas" maksuba, yakni kue delapan jam, engkak ketan, dan bolu lapis. Komposisi bahan kue delapan jam sama seperti maksubah. Namun, seluruh adonan kue ini dikukus sekaligus selama delapan hingga sepuluh jam.

Untuk mengimbangi rasa manisnya yang lekat, maksubah biasa disajikan bersama pempek, tekwan, atau model yang menonjolkan rasa gurih.

Pempek, tekwan, maupun model yang sama-sama dibuat dari paduan adonan terigu dan ikan.
Bedanya, kalau pempek digoreng dan disantap dengan cuko, kuah pedas terbuat dari asam dan cabai, sementara kalau tekwan, adonan sebesar ibu jari yang dimasukkan ke dalam kuah khusus terbuat dari bumbu kepala udang. Dan model, kuah sama dengan tekwan, bedanya kalau model bentuknya lebih besar dan biasanya diisi tahu lalu dipotong-potong saat akan menyantapnya. Kuahnya bisa lebih nikmat kalau ditambah irisan bangkuang dan jamur.
Usai menyantap pempek, tekwan, atau model yang pedas, tak salah memang kalau diimbangi dengan sajian kue maksubah yang manisnya lekat di lidah.

Istana

Memang tak ada catatan tertulis mengenai sejarah maksubah. Meski demikian, tetap diyakini kalau maksubah ini sesungguhnya merupakan sajian istana kesultanan. Paling tidak, kalau Anda bertamu dan menerima sajian maksubah, itu artinya Anda menjadi tamu kehormatan.
”Tak ada sejarah tertulis mengenai kue maksubah ini. Namun, kue ini merupakan makanan khas layaknya pempek, kemplang, model ataupun tekwan,” ujar Syafei Diraja. Hal sanada diungkapkan budayawan Palembang, Djohan Hanafiah. Menurutnya, tradisi Palembang memang terus lestari. Hanya bedanya, kalau dulu sajian istana ini hanya ada di lingkungan kesultanan, sekarang justru sudah menyebar ke masyarakat. Dulu, menu maksubah ini hanya menjadi rahasia juru masak istana. Kini, siapa pun bisa mencicipinya. Anda mau, silakan datang ke Palembang saat lebaran nanti. (sh/muhamad nasir)

Musi Wisata, Visit Musi 2008

Wisata

Musi Menunggu Wisatawan



Oleh
Muhamad Nasir

PALEMBANG - Sungai Musi bagi warga Palembang merupakan salah satu land-mark. Keindahan dan objek yang tersedia alami dan membawa pengunjungnya ke wisata nature, kembali ke alam.

Julukan Palembang dengan “Sungai Musi, Venesia dari Timur” pun sudah tak asing lagi.
Keindahan Musi juga dijadikan inspirasi lagu berjudul “Sebiduk di Sungai Musi”. Lagu ini menggambarkan pesona sungai yang membelah Kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) ini.
Atau bacalah kembali novel Dian Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisyahbana, di sana ada juga kisah tentang keelokan sungai ini.
Sungai dengan panjang 460 kilometer dan lebar rata-rata 300 meter itu, memang menjanjikan nuansa tersendiri. Makanya tak salah kalau dijadikan salah satu alternatif untuk dikunjungi wisatawan.
Menikmati suasana Sungai Musi bisa dengan berbagai cara. Pertama, lewat darat atau kedua, langsung “mencebur” ke Sungai Musi menggunakan perahu ketek atau kapal pesiar. Yang pertama, bisa lewat Jembatan Ampera.
Dari atas Jembatan Ampera yang dibangun dengan biaya pampasan perang Jepang, rumah rakit, dan aktivitas keseharian warga Palembang di Sungai Musi bisa dinikmati dengan gratis.
Akan lebih eksotik kalau malam hari. Sungai Musi yang bertabur lampu dari rumah rakit yang berjajar di sepanjang tepi sungai yang tak berpantai, memberikan ketenangan tersendiri. Begitu pun terangnya lampu di Jembatan Ampera.
Orang-orang memancing ikan juaro dari Jembatan Ampera juga menjadi pemandangan tersendiri. Atau, kita pun bisa ikut memancing dari jembatan itu. Hingga pukul 23.00 WIB, suasana malam hari di Jembatan Ampera masih bisa dinikmati.
Bisa pula kita menikmati keindahan Jembatan Ampera dari kawasan Benteng Kuto Besak (BKB). Kawasan ini berupa lapangan terbuka dengan dermaga bagi kapal maupun perahu. Kalau siang hari, bisa dijadikan tempat menikmati suasana lalu lintas dan kesibukan warga Palembang di atas air Musi. Pun malam hari, bersama pengunjung lainnya, bisa memandang Jembatan Ampera.
Restoran Terapung
Kalau perut sudah lapar, kita juga bisa menikmati deburan ombak Sungai Musi dari atas warung makan. Namanya, Warung Legenda.
Kalau dulu berada di seberang ulu dekat eks terminal 7 Ulu, kini sudah dialihkan ke sebelah ilir (di bawah Jembatan Ampera dekat dermaga), dengan menu masakan khas Palembang, seperti pindang patin, berengkes ikan, atau udang bakar. Setidaknya ada lima pondok terapung.
Usai mengisi perut, di seputar Ampera ada empat objek wisata yang bisa dikunjungi, yakni Benteng Kuto Besak yang dulu jadi benteng pertahanan Kesultanan Palembang Darusalam yang menurut cerita dibangun menggunakan putih telur.
Dan kini di dalamnya ada Rumah Sakit AK Gani, pahlawan Palembang yang tahun ini dinobatkan menjadi pahlawan nasional. Ada pula museum peninggalan Kesultanan Palembang Darusalam, yang dulunya Istana Sultan Mahmud Badaruddin (SMB).
Dan di belakangnya, ada Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera). Bagi umat Muslim, objek wisata religius juga tersedia, yakni Mesjid Agung yang dibangun zaman Kesultanan Palembang Darusalam. Oleh mantan Presiden Megawati Soekarnoputri ditetapkan sebagai Masjid Nasional.
Cara kedua adalah lewat Sungai Musi dengan perahu ketek, perahu yang dilengkapi mesin. Suaranya memang ketek-ketek sehingga disebut perahu ketek.
Bisa juga dengan menumpang kapal wisata. Ada dua kapal wisata berukuran besar, yakni Sigentar Alam dan Putri Kembang Dadar. Selain itu, masih ada perahu jukung yang cukup besar.
Kalau memakai perahu ketek, dengan uang Rp 50.000 sudah bisa menikmati satu kali jalan wisata Musi untuk 2-4 orang. Sementara dengan kapal wisata atau kapal jukung, tarifnya Rp 50.000 hingga Rp 70.000 per orang, dengan fasilitas karaoke dan makan siang atau makan malam plus kudapan.
Objek yang dilintasi biasanya memakan waktu sekitar dua jam di atas Musi. Dengan melihat objek-objek dari atas kapal, seperti Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS), di sepanjang perjalanan rumah-rumah rakit terlihat, plus pabrik-parik karet.
Lalu memutar dan menuju ke arah Pulau Kemaro. Selain rumah rakit, akan ada perumahan kapitan, tempat permukiman pecinan yang kini sedang direhab.
Tak jauh dari Jembatan Ampera ada Dermaga Boombaru, pabrik Pupuk Sriwijaya, dan terakhir Pulau Kemaro. Di pulau ini terdapat Kelenteng Hok Ceng Bio yang selalu ramai saat peringatan Cap Gomeh, puncak perayaan Tahun Baru Imlek.
Nuansa Musi sesungguhnya barulah sebagian objek wisata yang bisa dikunjungi di Sumsel karena masih ada rangkaian objek lainnya.
Untuk meginap, hotel berbintang dan melati juga tidak menjadi masalah. Hanya saja, jumlah pemandu wisata masih terbatas. Saat ini, menurut Ketua Perhimpuan Hotel dan Restoran Susmel (PHRI) Iwan Setiawan, baru ada sekitar 80 orang.
Idealnya, padahal 250 orang. Terlebih menyambut “Visit Musi 2008 mendatang”, tentunya harus ada perhatian khusus untuk menyediakan pemandu yang memadai. n

Sinar Harapan edisi, Kamis, 15 November 2007

visit musi 2008

”Visit Musi” Tak Sekadar Wisata Sungai

Oleh Muhamad Nasir Palembang -

“Visit Musi 2008” dibuka Sabtu (5/1/2008) ini. Meski tak dihadiri Presiden Yudhoyono, gaung peluncuran ajang wisata yang menjual ikon Sungai Musi yang memang sudah terkenal akan keindahannya itu, tak berkurang meriahnya. Apalagi, tiga menteri ditunjuk langsung oleh Presiden Yudhoyono untuk hadir, yakni Menteri Koordinator Perekonomian Budiono, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Jero Watjik, dan Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa. Jembatan Ampera yang merupakan land mark Kota Palembang bersolek demikian rupa, di Benteng Kuto Besak, hamparan luas di sisi jembatan yang dibangun dengan biaya pampasan perang Jepang itu bakal menyedot perhatian warga Palembang. Selain itu, tentunya wisatawan nusantara (wisnu) maupun wisatawan mancanegara (wisman). Keseriusan menggarap “Visit Musi 2008” memang tidak sebatas peluncuran yang memakan dana mencapai lebih dari Rp 2 miliar. Lebih dari itu, berbagai acara dipersiapkan sepanjang tahun sehingga diharapkan bisa memancing animo wisawatan berkunjung ke daerah ini. Fasilitas hotel berbintang hingga melati juga dijamin takkan mengecewakan. Hotel berbintang lima pun ada di Palembang. Belum lagi, hotel dan penginapan serta wisma, sehingga wisatawan tinggal memilih sesuai dengan kemampuan kantongnya. Kalaupun ikon yang dipilih, “Visit Musi 2008”, menurut Gubernur Sumsel H Syahrial Oesman bukan berarti yang dijual hanya sepanjang Musi itu. “Itu hanya mewakili saja. Karena sesungguhnya paket wisata yang bisa dikunjungi tersebar di wilayah Sumsel. Sebut saja, Gunung Dempo di Pagar Alam yang tak kalah dengan suasana Puncak di Jawa Barat. Lalu, ada Danau Ranau di Ogan Komering Ulu (OKU), atau Danau Teluk Gelam di Ogan Komering (OKI),” ujarnya. Selain itu, wisata sejarah berupa tempat-tempat sejarah, terutama berkaitan dengan Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Palembang, bahkan perkampungan religius tempat awal tumbuhnya Islam juga melengkapi objek wisata yang bisa dikunjungi. Guna menunjang program wisata ini, menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Sumsel Rachman Zeth, peran serta masyarakat juga terlihat, dengan terbentuknya Musi Tourism Board (MTB) yang bakal mendukung agar sepanjang tahun Sumsel tak sepi dari berbagai kegiatan. Berbagai stakeholder dilibatkan dalam organisasi ini. “Harus diyakini pula, memang Palembang telah menjadi alternatif untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat nasional, apakah itu simposium, rapat kerja, dan kegiatan lainnya dari pemerintahan, BUMN, ataupun perusahaan swasta yang biasanya memiliki waktu tinggal lebih dari dua hari. Secara tidak langsung, memberikan angin segar bagi pertumbuhan ekonomi, baik itu di bidang rumah makan, hotel, bahkan cendera mata, baik berupa pernik-pernik maupun makanan khas,” ujar Ketua Musi Tourism Board Ahmad Rizal. Perlu Pembenahan Potensi dan peluang yang ada memang menjanjikan bisa menunjang pertumbuhan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Sumsel. Tetapi, objek yang ada tentu juga perlu dibenahi. Bagaimana misalnya kondisi objek Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TKPS) yang diharapkan bisa menjadi sumber informasi sejarah Kerajaan Sriwijaya di Gandus bisa membuat pengunjung ingin kembali. Atau, kondisi kampung kapitan, bekas perkampungan ornag-orang China di zaman Belanda bisa membuat pengunjung bercerita kepada teman-temannya di tempat asalnya untuk juga mengunjungi tempat monumental itu. Begitu juga, objek-objek seperti Pulau Kemaro, bisa menambah alternatif objek yang bisa dihampiri selama di Palembang. Bagaimana kondisi objek-objek tersebut, mudah tidaknya akses ke sana. Bagaimana perlakuan tukang becak, pengemudi taksi, pedagang makanan khas, penjual cendera mata tentu juga bisa mempengaruhi keinginan wisatawan untuk kembali lagi. Jumlah pemandu wisata dan kualitas pemandu yang selama ini menjadi persoalan bagi dunia pariwisata juga harus mendapat perhatian. “Selama ini, profesi pemandu wisata hanya menjadi alternatif karena tak ada pekerjaan lain. Ini membuat pemandu kurang memenuhi standar,” ujar Ketua PHRI Sumsel, Iwan Setiawan. Jalur masuk ke Sumsel sendiri bisa melalui udara yang disambut dengan Bandara Internasional atau lewat darat dengan mobil dan kereta api. Atau lewat laut, melalui Sungai Musi. Ini tentu merupakan peluang dan potensi yang mestinya ditindaklanjuti dengan kesiapan objek-objek yang tidak membuat wisatawan kecewa. n Copyright © Sinar Harapan 2003. dimuat di Sinar Harapan. halaman Nusantara, edisi Sabtu (5 Januari 2008)

Midang Kayuagung





“Midang”, Ritual Remaja Seusai Lebaran


Oleh Muhamad Nasir Kayuagung - Diiringi musik tanjidor, ratusan pasang pengantin remaja melakukan tradisi ritual seusai Lebaran di Kayuagung, Ibu Kota Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), dengan berjalan sejauh 15 kilometer. Tradisi itu disebut midang, morge siwe. Selain menyusuri jalan di sepanjang Sungai Komering yang membelah kota yang terletak sekitar 120 km dari Palembang, Ibu Kota Sumatera Selatan, barisan pengantin remaja itu juga menyeberangi Sungai Komering dengan perahu ketek. Ini memberikan gambaran betapa mulianya ritual perkawinan yang merupakan pertanda berakhirnya masa bujang dan gadis. Tradisi ini sudah digelar turun-temurun oleh masyarakat Kayuagung yang terdiri dari sembilan marga. Hanya saja, ritual itu kini dilakukan untuk melestarikan tradisi. Sebab, masyarakat yang menggelar pesta perkawinan tak mungkin lagi bisa menyelenggarakan upacara sebesar itu. Dalam tradisi midang ini, spontanitas warga kota yang berpenduduk sekitar 150.000 keluarga ini memadati sepanjang jalan yang mereka lalui. Oleh karena banyaknya pasangan pengantin remaja yang ikut meramaikan ritual midang, kini ritual itu digelar selama dua hari, yakni pada Senin (15/10) dan Selasa (16/10). Puncaknya pada hari kedua, karena tahun ini bersamaan dengan peringatan HUT ke-62 Kabupaten Ogan Komering Ilir. Dalam ritual itu digambarkan bagaimana perkawinan itu dimulai dari perkenalan antara bujang dan gadis, lalu ada acara melamar, atau bahkan kawin lari dan diakhiri dengan perkawinan yang diwarnai arak-arakan sepasang pengantin keliling kota untuk memberi tahu warga bahwa sepasang remaja itu kini sudah berubah status. Pada ritual itu, setiap marga diwakili satu pasang pengantin inti yang berpakaian lengkap pengantin khas Kayuagung, diiringi puluhan bahkan ratusan pengantin remaja sebagai pengiring. Oleh karenanya, dari sembilan marga saja, pegantin pengiring bisa mencapai 900 orang, belum termasuk pemain musik tanjidor. Kalau ditambah arak-arakan dari kecamatan di Ogan Komering Ilir, iring-iringan pengantin ini bisa berjumlah sedikitnya dua ribu orang. Bisa dibayangkan arak-arakan ini berjajar sepanjang dua kilometer. Banyaknya jumlah pengiring ini, menurut Ketua Pemuka Adat Kayuagung Rahman Ahmad, bergantung pada besar kecilnya keluarga. Semakin besar keluarga, semakin banyak pengantin pengiring. Arak-arakan ini juga diiringi musik tanjidor yang membawakan lagu daerah. Berselendang Handuk Pengantin inti lelaki dan pengantin pengiring mengenakan handuk sebagai selendang. Sebagai pertanda bahwa seusai arak-arakan, mereka akan mandi di Sungai Komering. Saat mandi itu mereka tidak mengenakan apa-apa, kecuali handuk yang dilepas begitu tubuh masuk ke air. Mereka mesti melewati pendopoan, karena waktu zaman penjajahan, pemerintah Belanda mengharuskan para pengantin melewati pendopoan yang kini ditempati bupati. "Itu sebagai bagian dari pengontrolan pemerintah Hindia Belanda," ujar Rahman Ahmad. Tapi tahun ini, iring-iringan ini melewati panggung hiburan di lapangan sepakbola.






Zaman dahulu, dalam arak-arakan juga dibawa bong (tempat mandi dari kayu yang mengapung) yang biasanya ditempatkan di sungai. "Itu pertanda ada keluarga baru, ada bong baru. Tetapi karena sekarang sulit mendapatkan kayu besar yang mengapung, bong itu ditiadakan," papar Rahman Ahmad. Selain itu, arak-arakan juga diramaikan juli, yakni gerobak yang dihiasi berbagai bentuk yang kemudian ditandu. Pengantin inti ini pun dinaikkan di atas juli saat melewati pendopoan. Kini, meski midang tanpa bong, ritual tahun ini disemarakkan juga dengan dua juli. Pasangan Gubernur Syahrial Oesman bersama istri dan Bupati OKI Ishak Meki dan istri dipandu sejauh 15 km di atas juli berbentuk naga raksasa. Sementara satu pasang pengantin remaja lainnya diangkut juli berbentuk burung. Menurut Bupati Ogan Komering Ilir Ishak Meki, pesan yang ingin disampaikan adalah tradisi arak-arakan ini tetap harus dilestarikan. "Apalagi, kalau menunggu ada perkawinan mabang handak (bawang putih) yang mampu menggelar midang, rasanya cukup sulit karena membutuhkan dana sangat besar. Oleh karenanya, sejak puluhan tahun lalu, tradisi yang dikenal sejak kesultanan Palembang tahun 1800 Masehi lalu, digelar seusai Lebaran," ujarnya di sela-sela midang. Masyarakat Kayuagung yang menetap di kota itu ataupun para perantau yang mudik saat Lebaran kini memang dapat menikmati midang tanpa perlu menggelar perkawinan. Dengan biaya swadaya masyarakat, seusai Lebaran, Kota Kayuagung akan selalu ramai. Mereka tumpah di sepanjang jalan yang dilewati peserta midang. Gubernur Sumsel Syharial Oesman bersam Bupati Ogan Komering Ilir Ishak Meki, menggantikan peran pemerintah kolonial, memberikan sambutan di pendopo didampingi para pejabat dan anggota DPRD. Barisan midang pun berlalu untuk kembali lagi tahun depan. Tradisi ini, oleh Gubernur Sumsel Syahrial Oesman dimasukkan dalam paket wisata Visit Musi 2008. n

Dimuat di Sinar Harapan, Jumat 19 Oktober 2007 Copyright © Sinar Harapan 2003