Kamis, 04 November 2010

Nasib Sastra Lisan Dikalahkan Biduan

Sinar Harapan, Selasa 25 Mei 2004

Oleh Muhamad Nasir

”Alangke lemak nasib biduan, kalu nyanyi dapat saweran. Alangke sedih nasib senjang, kalu manggung katek yang nyawer,” (Alangkah bagus nasib biduan kalau bernyanyi dapat saweran (uang). Alangkah menyedihkan nasib pembawa sendang, kalau manggung tidak ada yang nyawer).

Demikian gambaran nasib pembawa sastra tutur (lisan) tergambar dalam salah satu bait sendang (sastra tutur, cerita yang dibawakan dengan bernyanyi dalam bahasa daerah) yang disampaikan Majenuh dari Sekayu, Musi Banyuasin (Muba) dalam Festival Sastra Tutur Pesirah (FSTP) di Auditorium Radio Republik Indonesia (RRI) Palembang, Sabtu (22/5).

Gambaran serupa disampaikan pembawa Nyanyi Panjang, sastra tutur dari Pedamaran Ogan Komering Ilir (OKI), Densi (70) yang mengaku sangat sedih dengan kondisi sastra tutur yang sangat tidak diminati lagi.

Kondisi sama terlihat saat pelaksanaan festival yang digagas Majelis Seniman Sumsel (MMS) bersama Komunitas Batanghari Sembilan (KObar 9) ini juga minim penonton. Termasuk para pejabat yang diundang. Beberapa instansi yang pejabatnya diundang untuk menghadiri festival tampak tak terlihat. ”Bersyukur, Kepala Dinas Pariwisata Pemerintah Provinsi Pemprov) Sumsel, Johnson, hadir dan berkenan meresmikan pembukaan festival,” ujar Ketua MMS, Nurhayat Arief Permana.

Yang disayangkan dari beberapa instansi yang diundang tampak tak hadir. Sehingga, apa yang ingin disampaikan melalui festival ini dirasakan menjadi seolah hambar. ”Meski demikian, paling tidak, respons beberapa pelajar cukup baik terlihat mereka cukup antusias menyaksikan didampingi gurunya,” ujar Arif Permana.

Memang, gedung yang berkapasitas 500 orang itu, seperempatnya terisi. Sebagiannya lagi, anak-anak usia sekolah lengkap dengan seragamnya. Setidaknya, ini menunjukkan bahwa ada komunikasi yang terputus sebenarnya sehingga sastra lisan di daerah Sumsel yang sesungguhnya cukup potensial dikembangkan menjadi semakin terpinggirkan.

”Padahal, sesungguhnya sastra lisan layak digali, dilestarikan dan dikembangkan karena merupakan budaya khas Sumsel. Karenanya, sastra lisan sesungguhnya layak dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah,” ujar Ketua Pelaksana Festival, Vebri Al Lantini.

Konsep itu sesungguhnya mungkin layak dipertanyakan mengingat kondisi penutur sastra lisan itu sendiri yang sudah terbatas. Usia mereka berkisar 50 hingga 70 tahun. Dan kini, kehidupan keduanya, sastra lisan dan penuturnya, ibarat kerakap tumbuh di batu.

”Banyak orang tak minat lagi dengan nyanyi panjang yang penyampaiannya bisa memakan waktu empat jam bahkan hingga tiga hari tiga malam, kalau diperlukan,” ujar Densi, salah seorang penutur Nyanyi Panjang.

Lakon Raden Bangsu yang menceritakan kehidupan sebelum adanya dunia sejarah, di mana saat itu kehidupan dalam dunia antah-berantah yang disampaikan Densi memang cukup menarik. Tepuk tangan menggema di Auditorium RRI setelah lelaki renta yang sudah ompong itu menyampaikan cerita tentang keberhasilan Raden Bangsu yang akhirnya berhasil menyunting Si Manis Raso dari Negeri Embun.

Didampingi tiga pendayung perahunya, Sos Pipi Tuli, Bujang Sanngam, dan Wak Kelunyang, Raden Bangsu memang berhasil menyingkirkan semua rintangan. Semua disampaikan dengan irama mendayu-dayu diiringi ayakan beras.

Nuansa magis menyertai Nyanyi Panjang. Sehingga tak dipungkiri memang ada nuansa lain ketika dulu masyarakat dalam upacara menyambut kelahiran ataupun perkawinan, masyarakat setempat dipastikan menanggap Nyanyi Panjang.

Tapi, kini suasana telah berubah. Organ tunggal, orkes dengan goyangan biduan lebih menjadi pilihan. Akibatnya, Densi yang kelahiran tahun 1925 dan mendapatkan kemampuan Nyanyi Panjang dari orang tuanya, Sanawar yang telah meninggal sejak sepuluh tahun terakhir tak lagi mendapat order. ”Apa yang bisa diharapkan. Paling-paling setahun sekali atau dua kali mendapat order. Bahkan terkadang tidak sama sekali,” keluh Densi.

Densi sendiri mengaku mendapat keterampilan Nyanyi Panjang karena memang diturunkan orang tuanya. Saat itu, sejak anak-anak, sambil mengurut, orang tuanya menyampaikan cerita-cerita yang nantinya juga disampaikan kepada masyarakat. Lalu, saat orang tuanya meninggal, itu pun disambutnya (dialihkan) dengan menyatukan mulutnya dengan mulut almarhum.

”Karenanya, dulu kalau sudah mentas mesti ada syukuran. Harus ada beras hitam, ayam hitam, dan ada acara ritual,”aku Densi.

Kini, sudah lama dia tak melaksanakan lagi. Namun, kemampuannya masih tak berubah. Krena memang kemampuan itu seolah sudah menyatu dengan darah dan dagingnya.

Kini, orang yang menguasai sastra tutur sudah nyaris berkurang. Selaina karena dimakan usia, juga karena tak ada yang meminati lagi. Makanya, sastra tutur ini bukan tidak mungkin akan musnah kalau tak ada upaya serius.

Bukan hanya Densi yang merasakan itu. Tapi juga Manan yang fasih menyampaikan Jelihiman, atau Arman yang ahli menyampaikan geguritan. Termasuk Majenuh, sang pembawa senjang.

Banyak faktor memang yang membuat persoalan ini menjadi seperti sekarang ini. Menurut Anwar Putra Bayu, seorang seniman yang juga peneliti sastra lisan di Sumsel, tak ubahnya dongeng, sastra tutur di Sumsel memang mengalami ancaman serupa. Bakal tenggelam. Tradisi bercerita sudah tak mentradisi lagi. Orang tua sudah tak pandai dan tak mau bercerita. Media elektronik menjadi alternatif yang semakin menjauhkan sastra tutur dari kehidupan masyarakat. Anak-anak sudah sibuk oleh pelajaran. Penurunan kemampuan juga sudah tak menarik minat karena memang menerjuni lakon sebagai penutur apakah itu Nyanyi panjang, senjang, geguritan, atau jelihiman memang sudah tak prospektif lagi.

”Harus ada orang yang memberi perhatian. Siapa pun itu, kalau mau memberikan perhatian, entah eksekutif, atau para seniman sendiri, diharapkan bisa menghidupkan dan melestarikan kesenian yang tak dilirik lagi itu. Atau maungkin, justru sastra tutur itu diintegrasikan saja melalui media elektronik. Tapi apa ada yang mau?” tutur Anwar Putra Bayu.

Kini, memang pilihan masyarakat untuk lebih mengundang biduan pada setiap acara keramaian entah itu syukuran dapat anak, khitanan, atau perkawinan, tak bisa disalahkan begitu saja sebagai penyebab terancamnya sastra tutur. Karena bagaimanapun masyarakat punya alasan. Yang harus dicari sekarang ini adalah bagaimana caranya menghidupkan kesenian itu lagi.

Siapa yang bisa dan mau menjadi fasilitator maupun mediator untuk itu. Yang jelas, melalui festival seni tutur, diharapkan bisa memancing semangat untuk itu. Antusias sendiri sudah terlihat, paling tidak digambarkan Eka, siswa kelas II SMAN 9 Palembang dan Alen siswa kelas II SMA Tridarma Palembang yang merasa tertarik dengan penyajian pesastra tutur.

Penelitian pun setidaknya bisa dirahkan terhadap kehidupan sastra tutur. Apalagi, masih minim penelitian yang bisa dijadikan dasar pengambil keputusan. Apakah memang layak, misalnya kesenian tutur itu masuk kurikulum sekolah.

Tidak ada komentar: