Kamis, 04 November 2010

Penghargaan untuk 27 Maestro Seni Tradisi

Sinar Harapan, Rabu, 02 Januari 2008



Jakarta - Suaranya masih saja tinggi di usianya yang ke-83 tahun ini. Sambil bernyanyi, tangannya tidak henti bergoyang, diikuti gerak tubuh yang tidak lagi terlalu lincah. Giginya yang nyaris habis membuat syair lagu yang keluar dari mulutnya tidak jelas lagi. Namun, Encim Masnah, penyanyi gambang kromong itu, masih memiliki semangat tinggi untuk meneruskan seni tradisi warisan nenek moyangnya.
Di kelompok orkes gambang kromongnya, hanya ada dua penyanyi, Encim Masnah dan Yuliana yang usianya jauh lebih muda. “Kagak ada (penyanyi lain), cuma bedua, yang tadi itu anak buah saya,” kata Encim Masnah dengan logat Betawi yang kental, ketika berpentas dalam konferensi pers pemberian penghargaan kepada maestro seni tradisi di Hotel Millenium, Jakarta, Jumat (28/12).
Seperti Encim Hasnah, usia pewaris seni tradisi kita memang tidak lagi muda. “Kita betul-betul berpacu dengan waktu,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Nilai Budaya, Seni, dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang hadir dalam konferensi pers itu.
Itu sebabnya, bekerja sama dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) yang diketuai oleh Pudentia MPSS, mulai tahun ini Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata memberikan penghargaan kepada para pewaris tradisi tersebut, termasuk Encim Hasnah yang kini tinggal di Tangerang, Banten.
Selain Encim Hasnah, ada 26 maestro seni tradisi lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia, mereka adalah Abdullah Abdul Rahman (maestro tari, Nangroe Aceh Darussalam), Ismail Saroeng (serunai, Nangroe Aceh Darussalam), Alistar Nainggolan (musik tradisi Batak, Sumatera Utara), Zulkaidah Boru Harahap (opera Batak, Sumatera Utara), Ibrahim Ahmad (wayang bangsawan, Kepulauan Riau), M Ali Ahmad (pantun, Kepulauan Riau), Sawir St Sati (syair dan musik, Sumatera Barat), Islamidar (sampelong, Sumatera Barat), Sahilin (pemantun gitar, Sumatera Selatan), Saidi Kamaludin (dulmuluk, Sumatera Selatan), Bodong (topeng Betawi, Jakarta), Surya Bonang (topeng Betawi, Jakarta), Dalang Taham (wayang Cirebon, Jawa Barat), Mimi Rasina (tari topeng, Jawa Barat), Tan Deseng (kecapi suling, Jawa Barat), Euik Muhtar (sinden dan rebab, Jawa Barat).
Ki Sugito Adiwarsito (wayang topeng pedalangan, Yogyakarta), Kandar (wayang krucil, Jawa Timur), Karimun (topeng Malang, Jawa Timur), I Made Sija (wayang arja, Bali), Amaq Raya (tari dan musik, Nusa Tenggara Barat), Jeremiah A Paah (sasando, Nusa Tenggara Timur), Bakhtiar Sanderta (wayang gung mamanda, Kalimantan Selatan), Serang Dakko (gendang, Sulawesi Selatan), Mak Coppang (tari pakkarena, Sulawesi Selatan), dan Sermalina Maniburi (tradisi munaba, Papua).
Para maestro itu berusia minimal 50 tahun dengan masa berkarya lebih dari 20 tahun di bidangnya masing-masing.

Pewarisan Tradisi
Penghargaan ini diberikan berupa uang sejumlah Rp 1 juta, dimulai pada Januari 2008 sampai dengan masa produktif untuk mewariskan tradisi ini habis. “Kita berharap dengan penghargaan ini, tahun demi tahun maestro yang kita miliki di daerah-daerah itu bisa mewariskan sedikit ilmunya kepada generasi muda,” kata Maukhlis lagi.
Menurut Pudentia, pewarisan itu dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan jalur formal dan informal. “Formalnya seperti Islamidar dan Sawir St Sati yang masuk ke dalam kurikulum STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Padang Panjang.” Jalur informal dicontohkan oleh Ismail Saroeng dengan serunainya yang berpindah dari satu kedai ke kedai lain atau dari kampung ke kampung. “Di situlah terjadi transfer pengetahuan, ada yang tertarik, mencoba-coba, ternyata berbakat, kemudian tumbuhlah tradisi itu,” kata Pudentia melanjutkan.
Seni tradisi Indonesia berkaitan erat dengan personal. Seni itu ada di dalam jiwa masing-masing maestro yang jika mereka meninggal dunia, “meninggal” pulalah seni itu. Itu terjadi misalnya pada Sermalina Maniburi yang bertugas melakukan upacara kematian (munaba) bagi masyarakat Waropen, Papua.
Selain Sermalina, tidak ada lagi orang yang menguasai tradisi itu. “Kalau maestro itu hilang, khazanah tradisi itu juga hilang karena tradisi itu ada di dalam dirinya,” kata Pudentia menegaskan. Dan kita tidak ingin tradisi itu hilang, bukan? (mila novita)

Tidak ada komentar: